Langkah Jokowi menaikkan gaji perangkat desa bisa dimaknai dalam dua hal: pertama karena itu amanat UU dan kedua secara momentum bisa memberikan efek elektoral kepada Jokowi.
PinterPolitik.com
“A good plan, violently executed now, is better than a perfect plan next week.”
:: Gen. George S. Patton ::
[dropcap]P[/dropcap]emberitaan tentang pidato kebangsaan Prabowo Subianto memang mendapatkan tempat yang cukup besar di media massa dalam dua hari terakhir. Seolah tidak ada yang peduli bahwa di waktu yang tidak jauh berbeda, capres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan di Istora Senayan – yang hanya beberapa langkah dari tempat Prabowo menyampaikan Pidato Kebangsaan di JCC.
Seperti diberitakan, Jokowi mengadakan pertemuan dengan ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI). Dalam pertemuan itu Jokowi berjanji akan menaikkan gaji para perangkat desa agar setara dengan PNS Golongan II A. Padahal, semula PPDI berencana akan melakukan unjuk rasa di Istana jika Jokowi tidak menerima kehadiran mereka.
Tentu saja Jokowi tidak ingin ambil pusing. Dia tidak ingin pencapresannya kali ini dilumuri dengan demonstrasi yang menentang dirinya. Apalagi jumlah PPDI yang hadir saat itu mencapai ribuan orang.
Oleh karenanya, mudah saja menebak – dan itu sah – ada muatan politis dari pertemuan tersebut. Namun, perlu dikaji lebih jauh apakah ada signifikansi peningkatan gaji para perangkat desa tersebut, atau pertemuan ini hanya sekedar pencitraan politik jelang pemungutan suara. Adakah makna lain di balik aksi Jokowi tersebut?
Politik Mengelola Anggaran
Wilayah Indonesia masih didominasi oleh pedesaan. Hal itu dibuktikan dengan jumlah desa yang terbilang cukup besar. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Nomor 66 Tahun 2016 tentang Kode dan Wilayah Kerja Statistik disebutkan bahwa jumlah desa atau kelurahan di Indonesia adalah 82.038.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa jumlah desa dan kelurahan di Indonesia adalah 83.184, dengan rincian 74.754 untuk desa dan 8.430 kelurahan.
Sementara, pengangkatan perangkat desa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa dilihat dalam konteks tata kelola negara dan tujuan politik.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa, setidaknya ada tiga jabatan yang dianggap sebagai perangkat desa, yakni sekretariat desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis. Perangkat desa ini bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
Selain itu, desa juga memiliki Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang memiliki fungsi pengawasan dan menyerap aspirasi dari masyarakat – BPD ini sifatnya seperti DPR di tingkat nasional.
Dalam konteks peningkatan tata kelola negara yang berhubungan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), amanat untuk mengangkat perangkat desa untuk menjadi ASN sudah lama terjadi, yakni ketika UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dipecah menjadi tiga, yakni menjadi UU Pemerintah Daerah, UU Kepala Daerah dan UU Desa.
Pada proses itu, terdapat aturan mengenai pengangkatan sekretaris desa menjadi ASN. Hal itu diatur dalam rangka untuk mengawal pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBN.
Hal ini senada dengan pendapat Direktur Riset Populi Center, Usep S. Ahyar yang menyebut pada mulanya sekretaris desa diangkat menjadi ASN karena mereka mengelola uang negara (APBN). Sementara, ada perangkat desa yang setara dengan sekretaris desa dan mereka bukanlah ASN.
Dari kebijakan tersebut, timbul kecemburuan horizontal di tingkat perangkat desa antara yang menjadi PNS dan yang tidak. Oleh karenanya, perangkat desa merasa tidak mendapat haknya meski memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengelola APBN.
Perlu diketahui, perangkat desa bukan PNS tidak mempunyai standar minimum penghasilan tetap tiap bulannya. Bahkan ada yang hanya mendapatkan sekitar Rp 300 ribu per bulan, bergantung pada kemampuan APBD di daerahdan Anggaran Pendapatan Belanja Desa.
Terlebih, urgensi pengangkatan ini terkait dengan besarnya anggaran negara yang dikucurkan ke desa. Perangkat desa tidak akan bisa bekerja dengan optimal jika tidak mendapat peningkatan kapasitas dan kesejahteraan. Tahun ini, Jokowi mengalokasikan dana desa sebesar Rp 73 triliun atau naik dari tahun lalu yang hanya Rp 60 triliun.
Pada pelaksanaannya di beberapa wilayah, ada sekretaris desa yang sudah diangkat menjadi PNS – artinya sesuai dengan ketentuan dalam UU – namun ada juga yang belum. Artinya, jika mengacu pada UU Desa tersebutmaka setidaknya ada sebanyak 200 ribu lebih perangkat desa di Indonesia yang akan mengalami penyetaraan gaji tersebut. Secara politik, jumlah tersebut tentu punya kekuatan elektoral dan pengaruh yang tidak sedikit.
Perangkat desa memiliki peran penting dalam proses pemerintahan di desa. Oleh karena itu, kebijakan penyetaraan kesejahteraan ini bisa mendorong perkembangan desa. Sebab, selama ini perangkat desa mayoritas merupakan tenaga honorer, sehingga kerja mereka sering terkendala minimnya insentif.
Meskipun begitu, saat ini perihal tentang kenaikan gaji ini belum diatur dalam UU. Sehingga, dana itu belum ada di APBN 2019. Hal ini dikomentari oleh Wakil Ketua Komis II DPR RI, Mardani Ali Sera yang menyebut bahwa saat ini belum ada postur anggaran untuk kenaikan gaji perangkat desa tersebut.
Sementara, ekonom dari Center of Reform Economics (CORE), Piter Abdullah mengimbau agar Jokowi berhati-hati melihat dampak kebijakan tersebut terhadap APBN. Sebab, dengan naiknya gaji tersebut, maka beban terhadap APBN juga akan semakin tinggi.
Oleh karena itu, pemerintah kini sedang melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Inducement Jokowi
Kenaikan gaji perangkat desa memang memiliki dimensi politis jika dilihat dari waktu kebijakan ini dibuat. Politik elektoral memang mensyaratkan agar segala strategi digunakan untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dari sumber mana saja, baik itu lumbung sendiri maupun lumbung lawan.
Dalam hal ini, Jokowi melihat adanya kesempatan untuk meraih efek elektoral dari perangkat desa.
Janji kenaikkan gaji perangkat desa bukanlah hal yang baru. Pada tahun politik 2014 pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) pernah menjanjikannya menjelang Pilpres kala itu. Oleh karena itu, kesan pencitraan dalam kebijakan ini tidak terhindarkan sebab rencana ini direspon saat ajang Pilpres 2019 sudah di depan mata.
Pada titik ini, Jokowi juga melakukan inducement strategy atau strategi bujukan.
Asyiknya gaji perangkat desa dinaikan oleh Jokowi. Share on XStrategi ini menekankan pada aspek timbal balik (give and take) dari satu kondisi yang ada. Prinsipnya adalah dengan memberikan insentif – biasanya berupa uang atau jasa – kepada seseorang agar orang tersebut mau melakukan apa yang kita inginkan.
Menurut Miroslav Nincic dalam Getting What You Want: Positive Inducements in International Relations strategi ini bisa memberikan efek persuasif maupun soft coercion atau paksaan yang lembut. Cara ini bekerja biasanya tanpa disadari oleh orang yang mendapatkan bujukan (inducee).
Sebagai petahana, Jokowi memiliki keuntungan (incumbent advantage) untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan tujuan politiknya. Dengan menaikkan gaji perangkat desa, ia bisa jadi telah memberikan insentif demi kepentingan politiknya.
Hal ini penting untuk kepentingan pencapresannya. Pada titik ini, Jokowi terlihat seperti menggiring perangkat desa agar memilih dirinya.
Apalagi, semenjak masa pencapresan ini, Jokowi telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan populis yang berpihak secara langsung kepada rakyat kebanyakan, bukan pada elite atau pemerintahan.
Jokowi misalnya telah lebih dahulu menaikkan gaji Bintara Pembina Desa (Babinsa).
Dalam konteks perangkat desa, data yang ada memang menunjukkan bahwa upah mereka tergolong kecil dibanding dengan pekerjaan lainnya. Apalagi, pendapatan tersebut tidak menentu tiap bulannya. Artinya kebijakan yang dibuat Jokowi berpeluang akan menarik hati para perangkat desa tersebut.
Secara jumlah, angka perangkat desa cukup strategis apalagi jika diakumulasikan dengan jumlah keluarga mereka. Dalam hal ini, mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi, mempersuasi, bahkan mempropagandakan orang lain di lingkungan terdekatnya.
Pada titik ini, Jokowi memiliki kesempatan untuk mempersuasi dan bahkan “memaksa” kelompok besar dari masyarakat tanpa disadari – sebuah inducement.
Pertanyaannya adalah apakah dampaknya bisa signifikan di hari pencoblosan nanti? Tunggu saja nanti. (A37)