Site icon PinterPolitik.com

Gagal Nyapres, Anies Hanya Dimanfaatkan NasDem?

Gagal Nyapres, Anies Hanya Dimanfaatkan NasDem?

Foto: ANTARA/Reno Esnir

Berbagai pihak menilai Anies Baswedan belum pasti menjadi capres di Pilpres 2024. Bahkan terdapat dugaan bahwa Partai NasDem bisa saja melepas dukungan kepada Anies di penghujung waktu. Mungkinkah Anies hanya dimanfaatkan NasDem selama ini?


PinterPolitik.com

“Everybody in politics lies.” – David Geffen

Salah satu pendiri Partai NasDem yang sekarang sudah keluar, Zulfan Lindan, memiliki pandangan menarik soal pencapresan Anies Baswedan. “Sampai sekarang, konsisten tidak yakin bahwa piagam itu (Koalisi Perubahan) secara sungguh-sungguh untuk mencapreskan Anies,” ungkap Zulfan pada 17 April 2023.

Pandangan Zulfan ini sama dengan Pendiri Cyrus Network Hasan Nasbi yang bahkan berani bertaruh bahwa Anies akan kandas sebagai kandidat. Hasan bertaruh mobil Alphard dengan eks politisi PSI yang sekarang menjadi pendukung Anies, Sunny Tanuwidjaja.

Terkait pernyataan Zulfan dan Hasan, mungkin ada yang menyebut keduanya bias. Zulfan terlibat ketegangan dengan NasDem. Sementara Hasan diketahui cukup berseberangan dengan Anies.

Namun, komentar Amien Rais sekiranya menjadi pembeda. Sosok yang dekat dengan Anies itu justru menilai terdapat kemungkinan Anies akan kandas sebagai kandidat. “Kalau tinggal Pak Prabowo dan Pak Ganjar, otomatis kita dukung Pak Prabowo. Sudah tahulah kelemahan dan kelebihannya,” ungkap Amien beberapa waktu yang lalu.

Sebagaimana dipertegas oleh Waketum Partai Ummat Buni Yani, pernyataan Amien tersebut merupakan perandaian jika Anies nantinya gagal nyapres. Dukungan Partai Ummat akan diarahkan ke Prabowo Subianto jika eks Gubernur DKI itu kandas di tengah jalan.

Konteks potensi gagalnya Anies maju di Pilpres 2024 sangatlah menarik. Diskursus itu membawa kita untuk melihat serius Partai NasDem sebagai partai pertama yang mendukung Anies sebagai capres. Lantas, jika Anies benar-benar gagal maju, apakah selama ini NasDem hanya memanfaatkan Anies?

Tangga Kecurigaan

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Langkah Anies Dihambat Surya Paloh?, telah dijabarkan bahwa Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh justru merupakan hambatan Anies untuk menguatkan personal branding-nya.

Untuk menjadi kandidat yang begitu kuat menjelang Pilpres 2024, Anies harus membangun personal branding yang tidak hanya menampilkan dirinya sebagai sosok yang berbeda, melainkan juga sebagai harapan. Untuk kepentingan itu, Anies perlu menampilkan dirinya sebagai sosok baru, penuh inovatif, dan dapat melakukan sesuatu yang belum dilakukan pemerintahan sebelumnya.

Singkatnya, Anies perlu menampilkan dirinya sebagai pembeda dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Anies juga dapat mengambil ceruk suara dari mereka yang kurang puas dengan pemerintahan Jokowi.

Menariknya, kepentingan untuk menciptakan personal branding itu sepertinya terhambat oleh Surya Paloh. Ketum NasDem tersebut perlu mendorong dan memfasilitasi Anies untuk membangun personal branding sebagai sosok pembeda.

Namun, sebagaimana yang terlihat, Paloh justru terlihat sangat menghindari ketegangan dengan pemerintah. Tidak hanya berusaha meyakinkan bahwa NasDem mendukung pemerintah, melainkan juga tidak menghadiri deklarasi rekan koalisi, yakni PKS dan Demokrat, ketika mendeklarasikan dukungan terhadap Anies.

Kemudian, setelah NasDem terancam reshuffle, Anies seolah terlihat “diam”. Ia tidak lagi vokal di depan publik seperti sebelumnya. Fenomena itu telah dibahas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Gertak Reshuffle, Cara Jokowi “Bungkam” Anies?.

Berbagai variabel mencurigakan tersebut melahirkan sebuah kesimpulan deduktif yang menarik. Mungkinkah NasDem tidak benar-benar serius mencalonkan Anies sebagai capres di Pilpres 2024?

Pertama, kita perlu melihat data. Pada Pemilu 2019 NasDem merupakan partai dengan persentase memilih caleg ketimbang partai terbesar. Dengan kata lain, NasDem tidak memiliki identitas partai yang kuat dan sangat bergantung pada kekuatan personal caleg.

Sumber: Stratagem Research and Consulting (SRC)

NasDem bahkan disebut terlibat ketegangan dengan PDIP karena manuver politiknya yang “membeli” kader partai banteng. Di pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR pada 1 Oktober 2019, Megawati Soekarnoputri terlihat tidak menyalami Surya Paloh. Itu jelas merupakan sinyal politik tertentu.

Anies adalah Puzzle Penting

Well, NasDem sekiranya sangat paham bahwa mereka membutuhkan kekuatan elektoral individu. Tidak hanya dengan merekrut caleg-caleg potensial, melainkan juga dengan mendukung capres yang memiliki tingkat kesukaan yang tinggi.

Pada Pileg 2019 ternyata bukan PDIP yang mendapatkan efek ekor jas tertinggi, melainkan adalah NasDem. Pada Pileg 2014 NasDem mendapatkan 8.402.812 atau 6,72 persen suara. Pada Pileg 2019 suara NasDem melejit menjadi 12.661.792 atau 9,05 persen suara.

Meskipun mengalami kenaikan, suara PDIP tidak mengalami kenaikan signifikan seperti NasDem. Pada Pileg 2014 suara PDIP sebesar 23.681.471 atau 18,95 persen suara. Sedangkan pada Pileg 2019 suara PDIP menjadi 27.053.961 atau 19,33 persen suara.

Bertolak pada pengalaman pada Pemilu 2019, NasDem tentu ingin mengulang kesuksesan dengan mendukung capres yang berpotensi memberikan efek ekor jas yang besar. Singkat cerita, kalkulasi sosok itu jatuh pada Anies Baswedan.

Sejauh ini kalkulasi itu sepertinya tepat. Berbagai elite NasDem mengkonfirmasi bahwa dukungan terhadap Anies membuat masyarakat antusias untuk bergabung dengan NasDem. “Saya meyakini jumlah masyarakat yang akan menjadi kader NasDem akan terus bertambah,” ungkap Wasekjen NasDem Hermawi Taslim pada 4 Oktober 2022.

Psikolog dari Cornell University, Mark Travers dalam tulisannya How Valuable Are Endorsements In Politics? 3 Lessons From Political Psychology, menggunakan konsep laziness dalam psikologi untuk menjelaskan bagaimana political endorsement dapat bekerja.

Laziness adalah kecenderungan psikologis, di mana seseorang enggan untuk mengerahkan tenaga atau kemampuannya meskipun ia mampu. Terlebih lagi, dengan kapasitas kognitif yang terbatas dan berbeda-beda, berbagai pihak tidak ingin membuang-buang energinya untuk memikirkan politik secara serius, seperti “bagaimana menentukan partai yang tepat?”.

Ini membuat banyak pihak mengambil jalan pintas dengan melihat sosok berpengaruh yang berada di suatu partai. Dukungan tidak diberikan karena identitas atau program partai, melainkan apakah terdapat idola mereka di partai tersebut.

Mainkan Politik Teraniaya?

Sekarang kita berada pada pembahasan pamungkas. Jika benar NasDem hanya memanfaatkan Anies untuk mendapatkan efek ekor jas di Pileg 2024, bukankah seharusnya NasDem harus habis-habisan memastikan Anies maju sebagai capres?

Sayangnya, itu tidak harus dilakukan. NasDem dapat memainkan “politik teraniaya”. NasDem misalnya dapat membangun narasi bahwa mereka sudah berusaha keras mengusung Anies, namun dijegal oleh kekuatan besar yang tidak ingin Anies menjadi capres.

Sreenivasa Reddy dalam tulisannya Playing victim is a deceptive political game, menyebutkan bahwa “politik teraniaya” adalah permainan politik favorit di era saat ini, dimana politisi populis mendapatkan penerimaan yang luas.

Menurut Reddy, berbagai politisi berpura-pura menjadi korban dan menegaskan bahwa mereka telah secara sistematis menjadi sasaran komplotan elite rahasia yang mengakar kuat. Mereka mengarang atau membesar-besarkan statusnya sebagai korban. Kemudian membangun argumen politik melawan musuh yang seringkali merupakan sosok tak berwajah alias entitas abstrak, misalnya oligarki atau kekuatan besar.

Well, kita lihat saja bagaimana kelanjutan perjalanan Anies menuju Pilpres 2024. Apakah benar akan kandas atau tidak hanya waktu yang dapat menjawabnya. Hal yang sama juga berlaku pada NasDem. Kita lihat saja apakah benar mereka akan menggunakan “politik teraniaya” nantinya. (R53)

Exit mobile version