Bulan September saja tercatat ada 4 sampai 5 kegaduhan dalam kabinet Jokowi. Kegaduhan itu terjadi di antara menteri dan pimpinan lembaga, maupun gaduh dengan partai politik yang punya jabatan menteri di kabinet.
PinterPolitik
[dropcap size=big]T[/dropcap]inggal beberapa bulan lagi dan kita akan memasuki tahun politik: 2018. Namun, tensi politik itu tampaknya sudah mulai meninggi sejak saat ini. Bahkan, kegaduhan itu mulai menjalar dari lapisan bawah di masyarakat, hingga ke dalam kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal inilah yang membuat Jokowi memerintahkan semua jajaran menteri dan pejabat tinggi negara untuk tidak menimbulkan kegaduhan politik di masyarakat. Jokowi berharap jika ada masalah yang terjadi di antara kementerian dan lembaga, semuanya dapat diselesaikan dengan kondusif.
Dua kali surat rahasia @KemenkeuRI bocor: utang PLN dan penolakan Freeport. Pasti bukan tidak disengaja. https://t.co/imWtOBLZFV
— Kang Bari (@Zumpio) October 1, 2017
Namun, pernyataan ini secara tidak langsung membenarkan fakta bahwa kabinet Jokowi memang selalu penuh riak-riak persinggungan kepentingan. Bahkan, di bulan September ini kegaduhan itu sangat terasa. Ditambah lagi, isu PKI dan polemik film penumpasannya menjadi hiasan di tengah bising saling tuduh terkait 5.000 senjata ilegal, dan entah mengapa, September menjadi bulan yang penuh dengan ‘kebocoran dokumen’.
Sejak pertama kali memimpin, Jokowi selalu dihadapkan dengan masalah gaduh-gaduh di kabinetnya. Padahal, idealnya, pemerintahan yang baik sudah selayaknya kompak dan kondusif dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Jika sering gaduh, maka akan mengganggu perjalanan pemerintahan itu sendiri.
Publik tentu bertanya-tanya, mengapa kabinet Jokowi terlihat sering gaduh? Mengapa pada pemerintahan sebelumnya, misalnya pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlihat tidak ada kegaduhan yang berarti?
Jokowi dan Pemerintahan Penuh Kegaduhan
Entah mengapa, dua bulan terakhir adalah bulan-bulan penuh kegaduhan. Mungkin karena momentumnya bertepatan dengan peringatan Gerakan 30 September 1965, sehingga semua tokoh politik berusaha memanfaatkan hal ini dengan sebaik mungkin. Apalagi, Jokowi sering diserang dengan menggunakan isu PKI.
Jika dirunut, publik awalnya disuguhi oleh kegaduhan akibat kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy yang mencuri perhatian dengan program ambisius full day school. Program ini melahirkan ketegangan politik yang melibatkan organisasi Islam NU dan Muhammadiyah.
Kritik saat itu datang dari Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin yang menganggap program tersebut mengancam keberadaan madrasah. Sementara, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa menyebut kebijakan tersebut sulit berlaku di semua sekolah.
Kemudian, ribut-ribut bertambah setelah Partai Amanat Nasional (PAN) dituduh bermain ‘dua kaki’ – tidak jelas antara mendukung atau bertentangan dengan pemerintah – dalam polemik presidential threshold UU Pemilu. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) yang berasal dari PAN disebut-sebut akan didepak dari kabinet karena persoalan tersebut.
September ‘berdarah’ dimulai dengan pernyataan Jaksa Agung, M. Prasetyo yang mengkritik kebijakan supervisi KPK dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus Hak Angket KPK. Pernyataan tersebut seolah-olah ingin melemahkan kewenangan KPK. Kritik datang dari Sekretaris Kabinet, Pramono Anung yang menyebut pernyataan Jaksa Agung bertentangan dengan keinginan Presiden Jokowi yang ingin memperkuat KPK.
Lalu, setelah ribut-ribut tentang PKI memanas, Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo mengeluarkan pernyataan bahwa ada institusi non-militer yang memesan 5.000 senjata canggih. Pernyataan Gatot ini mendatangkan sedikit ribut-ribut dengan Menkopolhukam, Wiranto yang secara tegas membantah. Persoalan ini juga menyeret Badan Intelijen Negara (BIN), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang disebut-sebut sebagai pihak yang memesan senjata tersebut.
Menjelang akhir September, ribut-ribut bertambah dengan bocornya dua surat penting. Surat pertama yang bocor berasal dari Menteri Keuangan (Menkeu) kepada Menteri BUMN dan Menteri ESDM terkait kondisi keuangan Perusahan Listrik Negara (PLN) yang sedang dililit utang dalam jumlah yang cukup besar.
Dalam surat tersebut, Menkeu menyebut PLN sedang dalam kondisi yang memprihatinkan dan bahkan bisa bangkrut jika tidak ditangani dengan baik. Namun, hal tersebut dibantah oleh Menteri ESDM yang menyebut kondisi keuangan PLN dalam keadaan yang stabil dan baik-baik saja.
Surat kedua yang bocor adalah surat CEO Freeport, Richard Adkerson kepada Menkeu. Freeport disebut kecewa dengan proposal pemerintah melalui Menteri ESDM yang dinilai tidak sesuai dengan kerangka kesepakatan antara Freeport yang diwakili Adkerson, Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan Menkeu, Sri Mulyani Indrawati, beberapa waktu lalu.
Padahal, dalam konferensi pers yang digelar pada waktu itu, Menteri ESDM secara terbuka mengatakan bahwa kesapakatan antara Freeport dan pemerintah sudah terjadi. Freeport juga disebut-sebut ‘marah’ terhadap Jonan karena dalam surat yang dikirimkan ke Menkeu tersebut tidak ada tembusan kepada Menteri ESDM.
Kabinet Ribut, Negara Ruwet
Kegaduhan kabinet ini berimbas pada situasi politik nasional selama bulan September. Polemik tentang senjata misalnya melahirkan perdebatan tentang hubungan militer dan sipil, termasuk melahirkan kritik atas sikap politik Panglima TNI. Perdebatan tentang pretorianisme – atau militer aktif berpolitik juga kembali mengemuka.
Bahkan, pada saat peringatan ulang tahun TNI, Jokowi sampai harus berpidato meminta TNI untuk setia pada pemerintahan yang sah. Permintaan ini tentu sangat memprihatinkan, apalagi dikeluarkan oleh seorang kepala negara sah yang adalah panglima militer tertinggi kepada bawahannya. Hal ini berarti masih banyak pihak – khususnya dari kubu militer – yang mempertanyakan legitimasi pemerintahan Jokowi – seorang sipil yang tidak punya partai politik.
Kegigihan Jonan belum berhasil dalam mengatasi Freeport. Simak beritanya di https://t.co/ZUTKWkb009 | @jonan_ignasius @KementerianESDM pic.twitter.com/7eSMj4n4zh
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) October 8, 2017
Ribut-ribut ini juga berdampak secara ekonomi. Dampak yang paling terlihat adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada Juli 2017 lalu sempat menyentuh angka Rp 13.200-an. Kini, nilainya melemah di level Rp 13.600-an.
Walaupun BI menyebut kondisi ini bersifat sementara, namun Bank Dunia pernah mengeluarkan peringatan dampak fluktuasi nilai tukar rupiah, apalagi Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed dipercaya akan menaikan suku bunga.
Beberapa pihak juga menyebutkan bahwa kegaduhan politik di kabinet ini menyebabkan muncul keraguan dan menurunkan kepercayaan investor. Persoalan yang terjadi pada Freeport juga akan mendatangkan dampak terhadap iklim investasi di Indonesia.
Kabinet kok Gaduh?
Jika berkaca pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, sangat jarang terjadi kegaduhan yang sangat besar dalam kabinet pemerintahan. Selama dua periode pemerintahan Presiden SBY, tidak ada kegaduhan berarti, apalagi yang menyebabkan terjadinya pertentangan di antara menteri atau pejabat tinggi negara.
Lalu, mengapa pemerintahan Jokowi menjadi rawan kegaduhan?
Alasan yang paling mendasar adalah fakta bahwa pada pemerintahan SBY, kekuatan politik dalam kabinet bersifat tunggal, yakni ada pada sosok SBY itu sendiri. Politik SBY yang berupaya merangkul semua pihak, membuatnya punya kekuatan politik yang besar.
Selain itu, SBY adalah Ketua Partai Demokrat. Ia juga pensiunan militer. Dua faktor itu saja sudah memperkuat posisi politiknya dan membuat kondusif keadaan kabinet.
Jokowi? Selain bukan ketua partai, Jokowi juga bukan berasal dari kelompok militer. Dengan demikian, sangat bisa dipastikan kekuatan politik dalam kabinet Jokowi tidak bersifat tunggal. Jika politik itu diibaratkan dengan seorang koki yang mengaduk adonan roti, pemerintahan SBY hanya punya satu koki.
Sementara, pemerintahan Jokowi punya banyak koki yang saling tunggang menunggang mengaduk roti. Bahkan, ada yang merasa diri paling berhak mengaduk roti. Jokowi terlihat lemah mengahadapi tekanan-tekanan tersebut. Ia ingin mengelak, namun terikat pada kepentingan patron yang lain.
Jika ditelusuri lebih dalam, kabinet Jokowi adalah win-win solution dari semua partai pendukung dengan basis kepentingan politik, bukan ketokohan. Akibatnya, adonan roti pemerintahan Jokowi tidak mengembang dengan bagus karena terlalu banyak yang mengerecoki. Hal ini sebetulnya sudah diprediksi jauh sebelum Jokowi memenangkan Pilpres 2014 lalu.
Kubu-kubu politik yang menempatkan wakilnya dalam kabinet Jokowi punya kepentingan yang berbeda-beda. Sebagai presiden, Jokowi tidak mampu mengendalikan patron politik dalam kabinetnya tersebut. Hal ini membuat kabinet Jokowi terlihat punya beberapa kutub. Jokowi memang menjadi penghuni Istana Kepresidenan, namun ia terlihat kesulitan mengontrol para pembantunya sendiri.
Jangankan dengan menteri, dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saja misalnya, Jokowi masih sering berbeda pendapat. Jangankan dengan partai koalisi, dengan partai utama pendukungnya sendiri pun Jokowi masih sering berbeda pendapat.
Artinya, hingga sisa masa jabatannya berakhir, Jokowi masih akan dihantui oleh persoalan yang sama: kegaduhan di kabinet kerjanya sendiri. Kegaduhan ini pun masih akan terus terjadi hingga 2019 karena persoalan tentang PLN, Freeport, atau Jenderal Gatot yang berpolitik, hingga presidential threshold masih akan menjadi konsumsi politik hingga 2019 nanti.
Persoalannya tinggal bagaimana Jokowi secara cerdas memainkan instrumen politik yang dimilikinya sebagai presiden untuk mengendalikan patron-patron politik yang mempengaruhi kabinetnya. Apakah akan berhasil? Menarik untuk ditunggu. (S13)