Gedung Balai Kota DKI Jakarta disambangi oleh massa aksi buruh yang bertujuan membatalkan UMP 2022, yang dinilai belum sesuai ekspektasi buruh. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menemui para pendemo dan ikut duduk bersama membahas permasalahan buruh. Banyak yang menilai sikap Anies sebagai praktik populisme. Jika benar, bagaimana penjelasan populisme alaAnies ini?
Bukan untuk yang pertama, aksi unjuk rasa yang digelar oleh serikat buruh dilakukan di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta. Aksi yang dilakukan hari Senin 29 November 2021, meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membatalkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI 2022. Satu peristiwa yang menarik perhatian terlihat di tengah massa aksi buruh, pendemo tampak membawa sejumlah atribut, seperti spanduk dan replika keranda mayat. Para buruh tampak berbaris dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mereka kemudian secara kompak menyanyikan yel-yel menolak UMP 2022.
Tidak lama, setelah buruh mulai menarik perhatian akibat dari lempar-lempar botol, Anies akhirnya memilih untuk bertemu dengan perwakilan dari massa aksi buruh, hal ini kemudian membuat massa aksi mulai meredam kemarahannya.
Audiensi dilakukan Anies dan sejumlah perwakilan buruh, kemudian Anies keluar menemui massa aksi yang masih menunggu di depan Balai Kota. Terlihat Anies masuk kerumunan dan kemudian duduk bersama massa buruh. Anies mengaku kenaikan UMP yang baru saja ditetapkan di Jakarta masih sangatlah kecil.
Sikap Anies ini menjadi atensi banyak pemberitaan. Dengan mampu ikut duduk bersama buruh saat aksi, memperlihatkan Anies mampu merangkul massa aksi yang biasanya dihindari oleh pejabat-pejabat lainnya.
Nining Elitos, juru bicara buruh, mengatakan Anies bisa menjadi pelopor pimpinan daerah lainnya untuk turut mendukung para buruh dengan menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut Omnibus law UU Cipta Kerja.
Sikap yang mengakomodir para buruh yang berdemo dengan cara berdialog dinilai memperlihatkan Anies melihat buruh sebagai sebuah kekuatan politik yang penting. Jika benar demikian, muncul pertanyaan, seperti apa kekuatan politik buruh?
Kekuatan Politik Buruh
Jika ingin memahami kekuatan politik buruh, terlebih dahulu kita perlu mengintip realitas gerakan para buruh. Benny Hari Juliawan, dalam tulisannya Penelusuran Kekuatan Buruh di Indonesia, menggambarkan bahwa aksi buruh dalam melakukan protes-protesnya melahirkan setidaknya dua kekuatan yang identik dengan gerakan buruh, yaitu, pertama, ciri protes buruh berbentuk protes jalanan; kedua, dalam setiap protes buruh memperlihatkan signinfikansi aksi massa yang konkret.
Kekuatan buruh dilihat dari bentuk protes mereka di jalan pada fenomena longmarch, berdemonstrasi, melakukan mogok kerja, yang kesemuanya mereka sebut aksi turun ke jalan. Di kota-kota besar Indonesia, kita dapat menjumpai bukan hanya satu, melainkan beberapa kelompok masyarakat yang melakukan aksi di jalan pada hari yang sama.
Aksi di jalan dan khususnya pendudukan gedung pemerintahan dalam waktu yang lama, mensyaratkan koordinasi tingkat tinggi, militansi dan perencanaan logistik yang matang, dan tentu saja pendanaan yang tidak sedikit.
Sedangkan, serikat buruh di Indonesia memang tidak dikenal sebagai organisasi yang disiplin, dengan jumlah kas iuran anggota yang minim, dan administrasi harian yang lemah, namun mereka telah berhasil beradaptasi dengan tuntutan strategi mobilisasi massa yang kemudian membuat mereka terampil dalam mengorganisir aksi-aksi besar.
Aksi-aksi ini memaksa otoritas untuk melihat para buruh sebagai satu kelompok dan mengakui kekuatan kolektif yang mereka miliki. Para buruh juga berhasil membujuk publik secara umum untuk memperhatikan penderitaan-penderitaan yang selama ini mereka lalui.
Kesimpulannya, serikat buruh telah menjadi kendaraan untuk melakukan protes publik. Komunitas buruh yang mengikat diri pada serikat buruh, mempunyai arti politik penting pada konteks politik elektoral. Memperjuangkan posisi buruh bagi serikat buruh, dapat dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam politik, mereka percaya keputusan politik mampu membuat kualitas hidup buruh lebih baik.
Mungkin kekuatan politik buruh seperti itu yang dilihat oleh Anies, sehingga sebagai pejabat publik, sang gubernur harus mengakomodir mereka dan ikut bermediasi menyelesaikan permasalahan buruh. Ataukah ada kalkulasi politik lain yang membuat Gubernur DKI mau ikut bergabung di tengah massa aksi buruh.
Terlepas dari semua itu, terlihat ada sebuah drama yang ditampilkan oleh Anies. Sebuah drama pemimpin yang populis, Anies seolah mempromosikan kepentingan warga negara biasa dengan cara ikut menuntut kesejahteraan para buruh.
Well, jika benar terdapat semacam drama populisme seperti yang disinggung di atas, maka muncul pertanyaan yang ingin menggali lebih dalam, seperti apa strategi populisme yang ditampilkan oleh Anies?
Populisme Antara Nyata dan Semu
Jika kita memperhatikan pemberitaan media massa, sudah banyak tulisan maupun pembicaraan virtual yang menyebutkan Anies merupakan tipikal pemimpin yang populer, dikarenakan kerap mendapatkan respons dengan nada positif dari warganet. Begitu pula, pada fenomena yang disinggung di atas, yaitu Anies ikut bergabung di tengah massa aksi buruh yang menuntut kenaikan UMP 2022.
Wahyu Budi Nugroho, sosiolog Universitas Udayana, dalam analisanya tentang fenomena Anies di atas, mengatakan, praktik-praktik populisme memang selalu berhasil menarik simpati masyarakat, tetapi di era serba keterbukaan ini, tidak sulit untuk membedakan, mana populisme nyata dan mana populisme yang semu.
Meski dapat menimbulkan banyak tafsir tentang komentar Wahyu di atas, penulis mempunyai tafsir tersendiri untuk menerjemahkan istilah populisme nyata dan semu. Dalam tafsiran penulis, istilah populisme nyata mungkin bermaksud untuk mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Anies merupakan sikap yang bersandar pada idealisme, di mana Anies dengan kemampuan retorikanya mampu membuat ruang diskursif dengan para massa aksi dan ikut memperjuangkan kepentingan mereka.
Dalam kajian literasi politik, sikap seperti ini masuk kategori sebuah pendekatan populisme ideasional/diskursif, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada ide-ide atau gagasan yang disampaikan oleh aktor populis. Aktor semacam ini juga dianggap mampu membuat ruang diskursif.
Noam Gidron dan Bart Bonikowski, dalam tulisannya Varieties of Populism: Literature Review and Research Agenda, dengan merujuk salah satu sarjana, yaitu De la Torre, menganalisis fenomena populis di Amerika Latin dan mendefenisikan populisme sebagai sebuah “retorika” yang menafsirkan politik sebagai moral dan etika perjuangan antara rakyat melawan oligarki.
Masih dalam Gidron dan Bart, mengatakan bahwa retorika adalah bahasa yang digunakan untuk mengklaim bahwa ia mewakili suara mayoritas sehingga secara jelas dalam populisme selalau mendikotomikan antara we (kita) dan they (mereka).
Aktor populis biasanya selalu berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana yang dapat dipahami oleh orang biasa. Komunikasi aktor populis dengan rakyat selalu menggunakan komunikasi langsung.
Populisme muncul sebagai sumber perubahan dengan menggunakan retorika untuk menarik rakyat. Bentuk yang diskursif tersebut menuntut kebijakan programatik, dan juga memiliki simbol atau isu-isu yang kuat dan sensitif, misalnya saja mengenai isu buruh, agama, etnis, dan sebagainya.
Tafsiran kedua, yaitu melihat populisme yang diperlihatkan oleh Anies, sebenarnya merupakan bentuk populisme yang semu, dalam artian tidak terdapat nilai autentik dalam sikap dan tindakannya. Tentunya tafsir ini ingin menegaskan bahwa sikap Anies hanya bersandar pada pragmatisme, yaitu populisme ditafsirkan sebagai strategi politik seorang aktor. Berbeda dengan pendekatan ideasional yang diskursif, para ilmuan mempromosikan pemahaman populisme sebagai strategi politik.
Jika demikian, maka populisme yang lahir dari tafsir sebagai strategi politik, akan menampilkan sebuah gambaran bahwa aktor populis, yaitu Anies hanya mendemonstrasikan sikap yang tidak murni memperjuangkan kepentingan buruh. Tapi ada kepentingan tersembunyi di baliknya, di mana kepentingan itu dapat menjadi poin tambah elektoral baginya.
Sebagai penutup, mengutip Andre Munro dalam tulisannya Populisme Program atau Gerakan Politik, populisme sering digunakan secara merendahkan untuk mengkritik seorang politisi karena memanjakan ketakutan dan antusiasme rakyat. Terkadang aktor politik untuk mendapatkan popularitas, tidak memperhatikan konsekuensi bagi negara, seperti inflasi dan utang. (I76)