Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz, mengangkat anaknya, Muhammed bin Salman, menjadi putera mahkota beberapa waktu lalu. Pengangkatan ini, membuat Muhammad bin Nayef tersingkir, sekaligus melawan tradisi garis keturunan yang ada. Apa sebabnya?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]I[/dropcap]a duduk tenang diapit oleh kolega dan kerabat kerajaan, menanti peresmian dirinya menjadi putera mahkota Arab Saudi. Pria berusia 31 tahun tersebut, resmi berada di garis selanjutnya untuk memimpin negara penghasil minyak terbesar di dunia, dan menggeser posisi Muhammed bin Nayef, sepupunya, sebagai putera mahkota sebelumnya.
Prince Mohammed bin Naif pledges allegiance to Prince Mohammed bin Salman as the Crown Prince at Al-Safa Palace in Makkah.#SPAGOV pic.twitter.com/cmzGxjwKRh
— SPAENG (@Spa_Eng) June 21, 2017
Muhammad bin Nayef sendiri, ditunjuk pada tahun 2015 lalu oleh Salman dengan melangkahi tradisi. Seharusnya, posisi Nayef saat itu diisi oleh Muqrin bin Abdulaziz, adik Raja Salman, yang diangkat menjadi putra mahkota oleh Raja Abdullah. Namun pergantian bisa terjadi, karena konon Muqrin-lah yang memutuskan untuk melepaskan jabatan sebagai putera mahkota. “Kami memutuskan untuk menanggapi untuk menanggapi permintaan yang mulia dan apa yang telah diungkapkannya tentang keinginannya untuk dibebaskan dari posisi pangeran mahkota,” jelas Istana Kerajaan Saudi.
Namun kini, sebelum melenggang sebagai Raja Arab Saudi, posisi Nayef sudah kembali digantikan oleh anak Raja Salman yang masih sangat muda dan kerap dinilai emosional. Paertanyaan menyeruak, mengapa pergeseran tersebut terjadi?
Keputusan yang Mengejutkan?
Raja Salman awalnya sempat dikabarkan mulai merasa khawatir dan ketar-ketir, pasalnya seiring menua dirinya, banyak pula penyakit mendatangi raja ini. Salah satu yang kerap disebut adalah dementia atau gangguan ingatan. “Raja Salman ini sebenarnya sudah kehilangan kemampuan untuk memerintah karena dia menderita dementia, penyakit hilang ingatan dalam jangka pendek. Penyakitnya ini dan ambisinya untuk menegakkan keluarga dia untuk memerintah Arab Saudi, telah membuatnya kehilangan kepekaan,” Jelas pihak istana.
Namun, hal itu langsung ditangkis oleh Dina Y. Sulaeman direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES). Dina memandang, bukanlah dementia yang menyebabkan Salman buru-buru menempatkan anak-anaknya dalam berbagai posisi penting atas alasan keberlangsungan dan penguatan status ekonomi dan politik, “Saya pikir lebih karena dipengaruhi anaknya. Beliau sudah tua dan kelihatannya sudah mengalami insecure, sudah mengalami rasa tidak aman. Apalagi konflik jug sangat banyak. Saya kira tidak (karena dementia),” jelasnya.
Akhirnya, atas dasar tersebut, Salman mulai menempatkan anak-anak lelaki favoritnya memegang posisi penting di pemerintahan. Tak hanya, Muhammed bin Salman, sang raja juga menempatkan Khaled bin Salman sebagai duta besar Saudi untuk Amerika Serikat. Hal ini diamini oleh Smith Al Hadar, pengamat Timur Tengah, “Raja Salman ini sedang berusaha menciptakan dinasti baru melalu garis keturunan Salman ini, yang akan memerintah Saudi Arabia ke depan. Mengingat Muhammed bin Salman masih muda, tentu dia akan berkuasa lama menjadi raja Saudi,” terangnya. Atas pertimbangan itu, pola menggeser Nayef seakan dinilai lebih mendatangkan keuntungan kepada garis keturunan Salman, jika dirinya mengangkat anaknya sendiri.
Muhammed bin Salman, dengan ini resmi menggantikan Salman bin Abdulaziz jika dirinya lengser atau meninggal. Selain itu, ia resmi memegang jabatan penting lainnya, yakni sebagai Menteri Pertahanan Arab Saudi, Wakil Perdana Menteri, serta Ketua Dewan Ekonomi dan Pembangunan yang membawa banyak pengaruh melalui konsep Vision 2030. Muhammed bin Salman, mampu meneropong, mengolah kebijakan, dan membawa wacana mengurangi ketergantungan minyak dengan Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia milik Arab Saudi.
Naiknya Muhammad bin Salman juga dianggap sebagai angin segar bagi kaum muda yang mendambakan dinamisme dalam struktur pemerintahan Arab yang sangat patriarkal dan konservatif.
Pangeran yang Hilang dan Disingkirkan
Namun begitu, bukan berarti Muhammad bin Nayef tak memiliki ‘nilai lebih’ apapun. Nayef sempat dielukan oleh pemerintahan Amerika dengan sikap frontal menentang Al-Qaeda dan ISIS. Ia bahkan sempat menyandang julukan ‘Pangeran Kontra Terorisme’. Dibandingkan dengan Muhammed bin Salman, Nayef lebih banyak berkutat dalam bidang intelijen dan keamanan.
Ini dipengaruhi oleh riwayat pendidikannya yang sempat dihabiskan di Federal Bereau of Investigation (FBI) di tahun 1980, setelah lulus dari Lewis & Clark College di Portland, Oregon. Ia juga menempuh sekolah ‘Anti-Terorime’ di Scotland Yard Unit. Setelah lulus, ia memegang jabatan Menteri Dalam Negeri di Arab Saudi.
Dengan pencopotan status sebagai putera mahkota, Nayef juga harus mundur dari jabatan perdana menteri dan kepala keamanan dalam negeri. Namun begitu dirinya menyatakan kesukarelaannya melepas posisi sebagai putera mahkota. “Saya bahagia. Saya akan beristirahat sekarang, semoga Allah senantiasa menolongmu” ujarnya kepada Muhammad bin Salman.
Naiknya Pangeran Muhammed mengartikan jika dirinya berhasil meredam dan memutus Nayef, sekaligus membawa friksi keluarga dalam tahapan yang lebih jauh. Nayef pernah merasa sangat dikecewakan akibat tidak dilibatkan dalam pembentukan aliansi militer negara-negara Islam untuk memerangi terorisme di bawah Operation North Thunder. Padahal, jika menilik rekam jejak pendidikan Nayef, ia adalah seorang ahli dalam bidang kontra terorisme.
Analis Timur Tengah sekaligus analis CIA, Bruce Riedel mengatakan, upaya menggerogoti karier Nayef memang sudah diusahakan sejak lama. Cara lain Muhammad bin Salman adalah dengan memilih posisi sebagai Menteri Pertahanan untuk mengikis kekuatan militer Nayef di lingkungan militer. Ditambah, setelah adanya perang Yaman, nama Muhammed bin Salman menjadi populer. “Jika Mohammed bin Nayef ingin dipandang sebagai pendukung besar Perang Yaman, dia bisa melakukannya satu setengah tahun lalu, “ kata Riedel.
Nayef sendiri sejak awal memang tidak pernah diberikan peran lebih ketika masih berstatus putera mahkota. Bahkan Riedel menyebut Bayef sebagai ‘Pangeran yang hilang’ karena jarang muncul di depan publik. “Nayef lebih banyak tinggal di Saudi, dia hanya terlihat muncul berkunjung ke Camp David. Sebagai gantinya, Muhammed bin Salman yang mengunjungi Rusia, perancis, Mesir, Yordania, Amerika Serikat, dan terakhir mengunjungi markas besar NATO di Brussels.” Katanya. Selain itu, putra kesayangan Salman jugalah yang membuat kesepakatan antara kerajaan dengan negara lain, termasuk ketika menghadapi perang di Yaman.
Bahkan ketika keadaan sedang memanas, yakni pada kisaran Oktober 2016, Nayef lebih banyak mengasingkan diri ke Aljazair dan sulit dihubungi. Ia menolak pesan dari pejabat Saudi dan rekan dekat di Washington, bahkan direktur CIA, John O. Brennan yang telah lama dikenalnya selama beberapa dekade.
Ketidakhadiran Nayef dalam gejolak tersebut, dibareng pula oleh harga minyak yang rendah, gejolak Timur Tengah dan Perang Yaman, yang menyebabkan beberapa pejabat Amerika menyebut Nayef melarikan diri dan bersitegang dengan sepupunya, Muhammed bin Salman.
Kini, di atas kontroversi melangkahi tradisi yang dilakukan Salman, yakni menggeser Nayef dengan anaknya, maka sama sekali tak berlebihan jika usahanya dianggap sebagai sebuah ‘kudeta halus’ yang berhasil. (Berbagai Sumber/A27)