Lanskap politik di tubuh NU diprediksikan akan terpecah di tahun politik ini. Meskipun keputusan menjadikan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi diyakini akan menjadi senjata ampuh untuk memaksimalkan suara, namun tidak ada jaminan bahwa warga nahdliyin akan seluruhnya memilih sosok sang kiai.
PinterPolitik.com
[dropcap]N[/dropcap]ahdlatul Ulama atau NU adalah salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Saking besarnya, beberapa lembaga survei merilis data bahwa NU dan organ pendukungnya memiliki 80 sampai 120 juta anggota – jumlah yang tidak sedikit untuk kekuatan politik elektoral.
Menjelang Pilpres 2019, perebutan suara NU ini masih menjadi perdebatan menarik bagi publik. Meskipun PKB – sebagai anak ideologis politik NU – menjadi partai pengusung sang petahana, Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun tidak menutup kemungkinan suara dari NU kultural dapat dimaksimalkan oleh kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Menariknya, lanskap politik di tubuh NU sendiri diprediksi juga akan mengalam friksi di tahun politik ini. Meskipun keputusan menjadikan Ma’ruf Amin – salah satu kiai berpengaruh di NU – sebagai cawapres Jokowi diyakini akan menjadi senjata ampuh untuk memaksimalkan suara, namun tidak ada jaminan bahwa warga nahdliyin akan seluruhnya memilih petahana. Mengapa demikian?
Klientilisme dalam Tubuh NU
Kaum nahdliyin – sebutan bagi warga NU – menjadi salah satu penentu suara di Pilpres 2019. Selain jumlahnya yang besar, suara nahdliyin dipercaya akan lebih mudah dimobilisasi, katakanlah melalui PKB maupun NU secara struktural – dalam hal ini Pengurus Besar. Namun benarkah demikian?
Lahir dari tradisionalisme, NU besar dengan basis massa di pesantren-pesantren. Ormas ini juga menjadikan kiai sebagai pemimpin yang terlegitimasi berdasarkan kharisma yang terbangun berdasarkan penguasaan ilmu agama.
Kaum nahdliyin - sebutan bagi warga NU - menjadi salah satu penentu suara di Pilpres 2019. Selain jumlahnya yang besar, suara nahdliyin dipercaya akan lebih mudah dimobilisasi. Share on XSebagai organisasi yang lahir dari tradisi pesantren, NU kerap kali digambarkan sebagai organisasi yang menganut relasi patron-klien dalam hubungan sosialnya. Rasa takzim – rasa hormat – kepada kiai seringkali memunculkan ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya ekonomi bahkan politik. Relasi inilah yang kemudian sering disebut sebagai hubungan patron klien.
Dalam konteks politik Indonesia, relasi patron klien tersebut berperan sangat signifikan terutama dalam momentum Pemilu. Tak heran jika menjelang Pilkada, Pileg, bahkan Pilpres, banyak calon pemimpin yang sowan ke kiai di daerah-daerah.
Meskipun tidak semua kiai dan pesantren terafiliasi dengan NU, nyatanya mayoritas kiai dan pesantren masih teridentifikasi memiliki latar belakang NU, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memiliki tradisi pesantren yang kuat.
Sehingga, dalam konteks Pemilu, adalah sebuah keharusan untuk menjaring dukungan kiai karena mereka memiliki pengaruh terhadap pilihan politik para pengikutnya.
Relasi patron klien yang menjadi ciri khas hubungan antara santri dan kiai tersebut digambarkan oleh Martin Van Bruinessen dalam bukunya NU, Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wahana Baru, sebagai sikap hormat atau takzim dan kepatuhan kepada kiai. Sikap tersebut adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri.
Dalam praktiknya, santri juga dididik untuk bersikap konservatif dan berpikiran statis karena alam bawah sadarnya telah terpatri pada ketergantungan terhadap para kiai. Konservatisme dan statisme tersebut yang kemudian menyebabkan seringkali segala keputusan hidup juga digantungkan pada para kiai, termasuk dalam hal keputusan politik.
Berubahnya Peta Suara Kaum Nahdliyin
Walaupun demikian, besar kemungkinan suara NU di Pilpres 2019 tidak akan tergantung lagi pada relasi patron klien atau tidak bekerjanya citra NU dalam diri PKB sebagai partai penarik suara nahdliyin.
Faktanya, pola patron klien ini dianggap mulai terkikis beberapa waktu terakhir karena berbagai faktor. Greg Fealy, Professor dari Australian National University menyebut bahwa perubahan relasi kiai dengan santri dapat dilihat dalam ketundukan seorang santri yang mulai berkurang akibat bergesernya peran kiai di pesantren maupun masyarakat.
Dulu, sosok kiai disegani dan berpengaruh karena memiliki kharisma yang jarang dimiliki orang lain, mulai bergeser ketika mereka merambah ke wilayah politik dengan ikut berperan dalam kegiatan politik praktis.
Selaras dengan temuan Greg Fealy, terdapat kekecewaan dari politisi non-PKB dan kiai-kiai apolitis yang berpendapat bahwa NU kini menjadi organisasi partisan dan nasib NU terlalu erat terikat dengan PKB. Hal ini dianggap melanggar prinsip bahwa NU harus mewakili dan melayani semua anggotanya secara setara tanpa memandang afiliasi politik.
^Terlalu banyak yg mengambil ‘manfaat’ dr NU, rebutan suara warga Nahdhiyin demi jabatan (politik)??!!!
?Elitenya yg menikmati kekuasaan & makin kaya, sebagian warga Nahdhiyin berjibaku dg kemiskinan, petaninya tetap dikalahkan o/ importir aseng. ? pic.twitter.com/4TG8gYn7ug
— MA’ MAZIDA ??? (@mazida_mazda) September 26, 2018
Asumsi tersebut diperkuat dengan tidak solidnya suara NU dalam Pemilu. Temuan riset yang dilakukan Populi Center menyatakan bahwa kebanyakan ormas hingga ke akar rumput tidak begitu solid dalam menentukan sikap politik dan ada kecenderungan pemilih untuk mempertimbangkan banyak hal.
Faktor “terpecahnya” suara keluarga Gus Dur mungkin juga menjadi salah satu pemantik berubahnya lanskap peluang suara kaum nahdliyin di 2019. Disebut “terpecah” karena meskipun Yenny Wahid telah melabuhkan pilihanya pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, namun saudari-saudarinya masih melihat netralitas sebagai opsi politik yang lebih baik. Hal tersebut tersurat dari ucapan Anita Wahid yang menyatakan bahwa apa yang terjadi di bilik suara adalah urusan masing-masing.
Tentu efek politik perbedaan pernyataan ini akan cukup luas, mengingat keempat putri Gus Dur bergerak di bidang kemasyarakatan dalam berbagai koridor yang berbeda. Mereka juga memiliki basis massa yang mungkin saja akan mendukung pemikiran tersebut.
Yenny memang yang diamanahkan untuk meneruskan perjuangan ayah mereka di jalur politik praktis. Sementara Anita Wahid bergerak dalam bidang penguatan masyarakat sipil.
Kemudian ada Alissa Wahid yang bergerak di akar rumput menangani persoalan sosio-kultural bersama Gusdurian. Sedangkan anak terakhir Gus Dur, Inayah Wahid bergerak di bidang kepemudaan dan budaya.
Dengan melihat pergeseran tren, tentu hal ini menjadi peluang bagi pasangan Prabowo-Sandi untuk memaksimalkan suara melalui strategi kampanye yang lebih mengena di hati warga nahdliyin.
Selain itu, ada kekecewaan yang mendalam di warga NU yang masih terasa pasca Mahfud MD gagal menjadi cawapres Jokowi apalagi dengan segala intrik dan kisah yang melibatkan para pengurus NU. Hal ini tentu memiliki dampak signifikan terhadap psikologi pemilih. Terlebih, secara kultural, Mahfud adalah salah satu tokoh yang juga mendapat tempat di hati masyarakat.
Hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa ketokohan kiai – katakanlah dalam konteks Ma’ruf Amin – bisa jadi akan menjadi diskursus yang ketinggalan jaman di Pilpres 2019 mendatang. Seiring dengan demokratisasi di Indonesia dan kesempatan para santri mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, banyak komunitas santri yang mulai tercerahkan. Hal ini bisa dilihat dari cara berpikir mereka yang kritis, independen dan kreatif.
Belajar dari Pilkada Jatim 2018
Kegagalan PDIP dan PKB memenangi Pilgub Jatim 2018 menjadi pelajaran politik yang berharga. Seperti yang banyak orang tahu bahwa Jatim merupakan salah satu lumbung suara NU terbanyak. Kekalahan PKB dan PDIP tentu menimbulkan tanda tanya yang besar, apalagi yang diusung saat itu adalah Gus Ipul, tokoh yang punya jabatan penting di struktural PBNU.
Di DPRD Jatim saja, PKB memiliki 20 kursi yang adalah jumlah terbanyak. Selain itu, sebagai anak ideologis NU, PKB juga dikenal sebagai partai yang dekat dengan nahdliyin. Bahkan di Pemilu 2014, perolehan suara PKB berhasil menempati posisi dua besar di Jatim.
Menurut Initiative Institute, tidak selarasnya jumlah nahdliyin dengan perolehan suara Gus Ipul di Pilgub Jatim 2018 mengindikasikan dua hal. Pertama, warga NU sudah tidak sepenuhnya menganggap PKB sebagai saluran politik utama di Jatim. Kedua, karena dalam konteks pemilihan kepala daerah, faktor tokoh lebih menentukan ketimbang dukungan partai.
PKS ke Lirboyo. Anis Baswedan pakai sarung di Tebu Ireng. Prabowo Subianto sowan ke Kiai Said di PBNU. Begitu.
— Azis Anwar Fachrudin (@azis_af) December 23, 2013
Ketokohan Khofifah Indar Parawansa kala itu memang lebih menonjol dibanding Gus Ipul, tentu saja berkat jabatanya sebagai Menteri Sosial, sekalipun dalam hal meraih suara nahdliyin, kedua cagub saat itu merupakan representasi kelompok NU.
Di sisi lain, meskipun dalam hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Deny JA, Jokowi-Ma’ruf memperoleh elektabilitas sebesar 54,7 persen, sementara Prabowo-Sandi hanya memperoleh 27 persen suara dari basis pemilih NU, namun fakta mengejutkan juga terlihat dari hasil survei Indikator Politik yang menyebut pada Pileg 2014 suara nahdliyin ternyata tersebar hampir di semua partai.
Saat itu, dalam exit poll yang dilakukan Indikator Politik terlihat bahwa pilihan politik warga nahdliyin cenderung tersebar lebih merata di semua partai.
Realitas tersebut tentu menjadi peluang bagi Prabowo-Sandi untuk memaksimalkan kampanye politiknya. Terlebih sosok Sandi yang akhir-akhir ini mulai mencuri banyak perhatian. Sosoknya yang muda dan berkharisma, mungkin akan mendongkrak elektabilitas Prabowo. Konteks Sandi ini bisa jadi sama dengan Emil Dardak sebagai cawagub Khofifah yang berhasil mengerek elektabilitas keduanya.
Sementara, bagi kubu petahana, tentu hal ini menjadi ancaman serius mengingat Prabowo juga mendapatkan dukungan dari kelompok Islam lain, misalnya melalui alumni gerakan 212 dan Ijtima Ulama. Dengan memaksimalkan suara NU, ditambah suara dari kelompok Islam lain, tentu peluang kemenangan juga terbuka lebar untuk Prabowo.
Pertarungan merebut suara pemilih muslim di Pilpres 2019 tentu saja punya konteks yang bisa diperbandingkan dengan Pilkada Jatim 2018. Hal ini menunjukkan bahwa friksi juga tercipta dari dalam pemilih nahdliyin sendiri dan sangat berpeluang menguntungkan Prabowo-Sandi.
Semuanya bergantung pada strategi apa yang akan dilakukan Prabowo-Sandi untuk memaksimalkan dukungan politik warga nahdliyin.
Tentu pertanyaanya adalah apakah manuver politik ini akan berhasil mengulang sejarah Pilkada Jatim? Menarik untuk ditunggu. (M39)