Negosiasi divestasi saham Freeport masih terus berlangsung, namun ada ketakutan kalau negosiasi ini akan terhambat terkait tahun politik.
PinterPolitik.com
“Penilaian sebenarnya dari seorang pemimpin atau manajer bisnis yang baik adalah dari performanya.” ~ Brian Tracy
[dropcap]J[/dropcap]ohn McBeth, penulis Asia Times yang sempat membuat heboh Netizen karena menyerang Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) melalui tulisannya “Widodo’s smoke and mirrors hide hard truths”, meramalkan kalau negosiasi Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak akan tercapai sesuai target pemerintah.
Menurutnya, walau Jokowi bersikukuh negosiasi harus selesai pada bulan Juni, namun baik Pemerintah maupun PTFI, hingga kini masih terus bertahan dengan penawaran harga masing-masing. McBeth melihat, kekukuhan Jokowi menguasai saham Freeport secepatnya, bisa jadi karena ingin dijadikan “dagangan” kampanyenya di 2019 nanti.
Walau Chief Executive Officer (CEO) Richard Adkerson sudah menandatangani persetujuan pengambilalihan (divestasi) 51 persen saham PTFI oleh Pemerintah, namun kedua pihak masih belum menemukan kesepakatan harga. Fakta ini dibenarkan oleh Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) Budi Gunadi Sadikin.
Sebagai perusahaan yang menjadi induk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor tambang, PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau PT Inalum, merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pengambilalihan saham Freeport tersebut. Hingga kini, proses negosiasi baru tahap valuasi harga saham Freeport.
Tawar menawar ini, menurut Budi, bertujuan untuk mengonversi hak partisipasi Rio Tinto menjadi saham Freeport Indonesia sebesar 40 persen. Hanya saja, ia tidak bisa memastikan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan negosiasi tersebut. Padahal, perpanjangan izin ekspor PTFI hanya diberikan hingga Maret.
Belum adanya kepastian ini pula yang menjadi perhatian McBeth. Menurutnya, bisa jadi negosiasi ini akan berlarut-larut hingga tahun depan. Tapi ia beranggapan, Jokowi tak mau hal itu terjadi dan ingin agar negosiasi dapat diselesaikan sebelum pertengahan September tahun ini, saat proses Pilpres dimulai.
Mungkinkah Freeport akan menjadi salah satu keberhasilan bagi Pemerintahan Jokowi?
Nasionalisme Versus Bisnis
“Nasionalisme adalah penyakit kekanakan. Itu semacam cacar yang menular bagi umat manusia.” ~ Albert Einstein
Sebagai perusahaan tambang terbesar pertama di negeri ini, keberadaan tambang emas Freeport di Papua memang ibarat buah simalakama. Bagi pemerintah, terutama di era Orde Baru, tambang Freeport bagaikan “hujan uang”. Bukan hanya bagi pembangunan nasional, tapi juga bagi para pejabat pemerintahan.
Namun di mata masyarakat dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) – terutama organisasi lingkungan, keberadaan tambang milik AS itu menjadi sebuah ironi. Walau emas yang terkandung ada di dalam tanah wilayah Indonesia, namun hasilnya lebih banyak dinikmati oleh negara adidaya tersebut.
Bila Paman Sam mendapatkan hasil bersih emas tanpa terkotori lingkungannya, Indonesia harus menerima pembagian sedikit laba, namun dengan konsekuensi kerusakan alam yang maha dahsyat. Itulah mengapa, saat reformasi bergulir, warga dan LSM yang peduli dengan lingkungan gigih meminta tambang mineral itu untuk segera dihentikan.
Keberadaan PTFI, juga terbukti tidak terlalu banyak membantu Papua secara keseluruhan. Meski sudah berupaya menarik tenaga kerja lokal, namun hasil keuntungan yang hanya dinikmati pemerintah pusat, menyebabkan terjadinya kericuhan akibat ketidakpuasan warga lokal dan bentrokan dengan pihak keamanan.
Meski Indonesia hanya memiliki saham sebesar 9,36 persen, namun pemasukan tersebut diakui sangat membantu pendapatan nasional. Buktinya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kontrak karya (KK) PTFI diperpanjang hingga 2041, dari seharusnya berakhir pada 2021. Persetujuan ini bahkan diberikan pada 2014, lima tahun sebelum kontrak tersebut benar-benar berakhir, yaitu pada 2019.
Padahal, masa Pemerintahan SBY selama dua periode sudah hampir berakhir, bahkan penggantinya pun sudah terpilih, yaitu Jokowi. Menurut Pengamat pertambangan dan energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmi Radhi, bisa jadi SBY saat itu takut dengan ancaman dari Freeport bila kontrak tidak segera diperpanjang.
Sebenarnya, menurut UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, PTFI harus membangun smelter dan melakukan divestasi saham 51 persen untuk Indonesia. Namun PTFI enggan mengikuti peraturan baru tersebut dan mengancam akan melakukan PHK besar-besaran, serta membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional.
Begitu pun ketika Menteri ESDM di era Jokowi, Ignasius Jonan, menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berdasarkan UU Minerba dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 mengenai Operasi Produksi PTFI. Freeport tetap menolak dan mengancam hal yang sama, hanya saja Jokowi pun berkeras dan menarik izin ekspor konsentrat PTFI.
Walau sempat merumahkan ribuan pegawainya, Freeport McMoran – sebagai induk perusahaan PTFI, akhirnya bersedia mengikuti keinginan pemerintah, tapi tentu dengan negosiasi yang tak mudah pula. Namun negosiasi berlarut-larut ini sebenarnya bisa jadi akan merugikan PTFI sendiri. Mengapa?
Freeport, Ganjalan Atau Keberhasilan?
“Bukan rahasia lagi kalau para konglomerat maupun orang berkuasa kerap membelokkan kebijakan pemerintah demi kepentingan pribadi mereka.” ~ Andrew Jackson
Sikap Adkerson yang akhirnya setuju untuk mengganti kontrak pertambangan dengan Indonesia dari KK menjadi IUPK, memang menjadi momentum bersejarah bagi bangsa ini. Setelah puluhan tahun, akhirnya Indonesia mampu menekan penguasaan AS atas tambang emas terbesar di dunia yang ada di Grasberg tersebut.
Namun, bukan berarti Indonesia bisa begitu saja mengambilalih pertambangan tersebut. Tetap harus ada harga yang harus dibayar Pemerintah, bahkan hanya untuk mengambil hak partisipasi (participating interest) milik Perusahaan Tambang Australia di Freeport Indonesia, yaitu Rio Tinto, sebesar 40 persen di tahun 2021 nanti.
Begitu juga dengan 5 persen saham Freeport Indonesia dari PT Indocopper Investama, akan diakuisisi pihak nasional. Layaknya jual beli, baik Rio Tinto maupun Indocopper tentu ingin mendapatkan harga jual saham yang setinggi-tingginya, sebaliknya Pemerintah berusaha menekan harga serendah-rendahnya.
Sehingga keinginan Jokowi untuk segera menyelesaikan divestasi dua bulan ke depan, akan menjadi beban tersendiri bagi Direktur PT Inalum. Padahal, bila Pemerintah mau sedikit menahan diri hingga tahun depan, bisa jadi harga saham tersebut akan perlahan-lahan turun, seiring penurunan hasil tambang PTFI di tahun tersebut.
Berdasarkan analisa Deutsche Bank, mulai 2019 nanti, produksi tambang PTFI diprediksi akan turun hingga 60 ribu ton bijih tambang, dari sebelumnya mencapai 166 ribu ton per hari. Umumnya, penurunan produksi juga akan berefek pada nilai saham, namun begitu, menurut Jurubicara PTFI Riza Pratama, harga saham mereka tidak akan berubah.
Selain menetapkan harga berdasarkan analisa Deutsche Bank, Pemerintah juga sebenarnya bisa menekan PTFI melalui laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan kalau ada dua pelanggaran terkait lingkungan yang dilakukan PTFI dan mengakibatkan potensi kerugian negara mencapai Rp 455 triliun. Nilai kerugian yang nyaris sama dengan harga saham PTFI yang ditaksir sekitar 33 miliar dollar AS.
Dua alasan ini, sebenarnya bisa memberikan nilai tawar sendiri bagi Indonesia, apalagi hingga kini PTFI sendiri belum mengeluarkan pernyataan apapun mengenai laporan BPK tersebut. Langkah Pemerintah untuk segera mendivestasi saham ini sendiri, merupakan langkah satu-satunya yang bisa dilakukan agar PTFI bisa benar-benar diambil alih secara penuh setelah 2041, tanpa harus mengganti nilai investasi PTFI.
Hanya saja, bila negosiasi belum juga diselesaikan hingga tahun depan, kemungkinan divestasi yang diperjuangkan Jokowi juga bisa saja kandas di tengah jalan. Majunya Jokowi menjadi Petahana di Pilpres 2019, menyebabkan ia harus mendelegasi tugasnya pada Jusuf Kalla. Sementara antara Jokowi dan JK tentu memiliki kepentingan yang berbeda, terutama dari sektor bisnis.
Bisa saja, Jokowi berkeras untuk segera menyelesaikan permasalahan Freeport sebelum Pilpres, bukan hanya sebagai “dagangan” di kampanyenya kelak, tapi juga memastikan PTFI segera mematuhi UU Minerba. Sebab bila tidak, sangat mungkin upayanya akan sia-sia belaka, andai JK memiliki keputusan yang berbeda dengannya. Jadi, akankah negosiasi Freeport membawa keberhasilan, atau malah kegagalan bagi Jokowi? (R24)