Seri pemikiran Fareed Zakaria #31
Penyerbuan Gedung Capitol oleh demonstran pro Trump disebut sebagai serangan terhadap demokrasi di era modern AS. Lantas, mengapa hal tergolong sebagai vigilantisme itu bisa terjadi? Adakah korelasinya dengan situasi tertentu di Indonesia saat ini?
Kerusuhan yang dilakukan sejumlah pendukung Presiden petahana Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 6 Januari lalu di Gedung Capitol, Washington DC, AS masih terus menimbulkan beragam reaksi.
Sejumlah pemimpin negara pun turut memberikan tanggapannya. Mulai dari Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg, PM Kanada Justin Trudeau, hingga Presiden Iran Hassan Rouhani.
Hampir serupa, sederet pemimpin itu menyebut dan menyiratkan bahwa peristiwa tersebut sebagai preseden mundurnya kualitas demokrasi AS, yang selama ini dianggap menjadi kiblat dunia.
Presiden terpilih AS, Joe Biden pun menyatakan bahwa penyerbuan Gedung Capitol sebagai aksi fatal yang mencoreng demokrasi dan tak pernah terjadi di era modern AS.
Hal ini diamini oleh pakar politik terkemuka AS, Fareed Zakaria yang menyoroti perilaku vigilantisme – atau sederhananya perilaku main hakim sendiri – yang cukup jelas terpampang dari aksi mencengangkan para loyalis Trump itu.
Zakaria menyebut bahwa AS memiliki sejarah panjang tentang vigilantisme kulit putih di masa lalu yang tak terselesaikan dengan baik. Meskipun baru kembali terulang pada tragedi 6 Januari lalu.
Vigilantisme, Opsi Pamungkas Trump?
Zakaria mengutip kolom tulisan Jamelle Bouie di The New York Times. Di dalamnya, dijabarkan sejarah vigilantisme kulit putih di AS dalam ranah politik, yang mempunyai karakteristik hampir serupa dengan kejadian di Washington DC pekan kemarin.
Pada masa Rekonstruksi pasca Civil War, atau tepatnya pada 14 September 1874, lebih dari 3.500 anggota White League – termasuk Ku Klux Klan di dalamnya – menguasai state house negara bagian Louisiana di New Orleans.
Mereka bertujuan untuk menggulingkan Gubernur William Pitt Kellogg, seorang Republikan, dan melantik lawan Demokratnya dari pemilihan sebelumnya pada tahun 1872.
Baca juga: Trump-Rusia Uji Nyali Biden?
Upaya tersebut nyaris berhasil. Namun, dalam beberapa hari berita tersebut sampai ke Washington, di mana Presiden Ulysses Grant yang marah memerintahkan pasukan dikerahkan ke New Orleans untuk kemudian membuat White League menyerah.
Namun pada akhirnya, tidak ada penegakan hukum yang jelas kepada orang-orang yang terlibat kekacauan tersebut. Atas preseden itulah, setelah pemilu tahun 1876, White League kembali beraksi di New Orleans, sekaligus mengakhiri Rekonstruksi di negara bagian Lousiana.
Vigilantisme dengan tujuan serupa kemudian terjadi pula di South Carolina hingga Missisipi di tahun yang berdekatan saat itu. Sebelum kemudian terdapat era yang panjang ketika vigilantisme semacam itu tak lagi terjadi, hingga aksi penyerbuan simpatisan Trump ke Gedung Capitol 6 Januari lalu terjadi.
Lalu pertanyaanya, mengapa vigilantisme semacam itu bisa kembali terjadi di AS setelah sekian lama, plus dengan skala yang jamak dikatakan jauh lebih serius?
Patogen Cancel Culture dan Teori Konspirasi?
Yang berbeda dari Pilpres AS 2020 dibandingkan edisi sebelumnya ialah, derasnya “pertempuran” dan arus informasi yang terkait dengan keyakinan teori konspirasi yang selama ini ada dan turut menyelimuti kontestasi elektoral empat tahunan negeri Paman Sam.
Salah satu pangkalnya kemungkinan ialah cancel culture yang menjadi kian dikenal pada tahun 2020 lalu. Hugh Breakey seorang peneliti di Institute for Ethics, Governance & Law Griffith University dalam tulisannya di The Conversation menjelaskan bahaya yang dapat dipicu oleh cancel culture dalam aspek politik.
Merebaknya tren cancel culture disebut menghadirkan tiga tantangan terhadap sebuah legitimasi politik, yakni menutup peluang dialog inklusif, gagasan klaim kebenaran tunggal, hingga menyebarnya paham konspiratif. Ketiganya lantas sangat berpeluang menjadi ancaman yang lebih serius terhadap validitas proses politik maupun pemerintahan.
Spesial bagi ranah konspirasi, Breakey menyebut mustahil untuk menemukan titik temu atau kesepakatan ketika konspirasi skala besar menimbulkan begitu banyak pertanyaan.
Baca juga: Trump Di Ambang Menerapkan Martial Law?
Kecenderungan itulah yang agaknya menjadi salah satu pemantik signifikan dan diejawantahkan dengan pergerakan agresif massa demonstran pro Trump saat merangsek ke Gedung Capitol sebagai situs simbol demokrasi AS.
Narasi saklek supremasi kulit putih, hingga klaim kecurangan Pemilu yang sistematis walau tanpa bukti memadai, seolah menjadi bahan bakar bagi aksi vigilantisme yang tampak tak mempedulikan segala konsekuensi minor yang ditimbulkan setelahnya.
Sementara lebih dalam lagi, Ray Abrahams dalam buku Vigilant Citizens: Vigilantism and the State menyebut, vigilantisme merupakan fenomena kekerasan atau establishment violence, sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma tertentu yang diinstitusionalisasikan oleh individu maupun kelompok tertentu pula di masyarakat.
Tindakannya sebagian besar dianggap oleh para pelakunya ialah untuk mempertahankan tatanan yang ada dari beberapa bentuk serangan atau subversi.
Abrahams juga menjabarkan bahwa vigilantisme dapat dipicu dari bangkitnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum atau proses penegakan hukum itu sendiri.
Selain itu, karena bersifat sebagai establishment violence, menurut Jon Rosenbaum dan Peter Sederberg dalam Vigilantism: an analysis of establishment violence, vigilantisme jika dilihat dari dimensi tertentu sebenarnya masih sejalan dengan kepentingan negara.
Pada akhirnya fenomena itu sering bermanfaat dan dimanfaatkan negara atau dapat dikatakan “oknum” di pemerintahan untuk dapat menjadi perpanjangan tangan dalam mengontrol masyarakat atau tatanan sosio-politik.
Fenomena vigilantisme dalam aksi pendudukan pendukung Trump di Gedung Capitol juga dapat dikatakan disebabkan oleh kedua faktor tersebut. Pertama, sebagian pendukung Trump selama ini beranggapan bahwa terdapat kecurangan dalam pemilu. Dan mereka menganggap sistem peradilan AS tidak kompeten melihat dan merespons kecenderungan yang mereka yakini itu.
Kedua, kemungkinan besar pada case penyerbuan Capitol juga dipicu oleh semacam anggapan pemberian “lampu hijau” lewat berbagai narasi Trump sebagai simbol Presiden AS yang mewakili kepentingan negara.
Melansir BBC, kecenderungan ini disebutkan pula oleh Profesor Clifford Stott, spesialis ilmu kepolisian asal Inggris, yang menyebut bahwa ada tujuan yang sangat jelas atas aksi 6 Januari kemarin yang didorong oleh gagasan bahwa tindakan mereka sah.
Tentu yang berlandaskan persepsi mereka bahwa Presiden Trump – sebagai panglima tertinggi – telah memberi semacam persetujuan untuk itu dengan narasi yang dibangun berminggu-minggu sebelumnya.
Faktor itulah yang kemudian berbaur dalam presumsi lain atas lemahnya analisis risiko dari aparat keamanan di Gedung Capitol yang banyak dianggap pula sebagai kegagalan memalukan dari aparat.
Lalu dengan penjabaran tersebut, bagaimana relevansi fenomena vigilantisme dalam tataran lokal, khususnya konteks Front Pembela Islam (FPI) dengan track record-nya yang kental akan kecenderungan aksi main hakim sendiri di masa lalu, dan saat ini telah dibubarkan pemerintah?
Kultur Vigilantisme Berbasis Kepentingan?
Salah satu dari enam alasan yang dikemukakan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej dalam memperjelas SKB enam Menteri dan Lembaga atas pembubaran FPI itu ialah, kecenderungan vigilantisme lantaran kerap melakukan sweeping dan lain sebagainya.
Serupa dengan di AS, Kees van Dijk dalam The Privatization of the Public Order, Violence in Indonesia menyebut bahwa vigilantisme yang dilakukan masyarakat di akar rumput, maupun kelompok dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) di tanah air, sebagian besar terkait dengan identitas, baik nasionalisme, agama, hingga antargolongan.
Lalu, menurut kajian Abrahams, meski berusaha mempertahankan status-quo, kelompok vigilante tak selalu berada di dalam tujuan yang mereka klaim. Seiring waktu, sesungguhnya mereka dapat juga menikmati atau mengembangkan suatu agenda di luar tujuan semula.
Publik agaknya telah sedikit banyak memahami cikal bakal FPI sebagai Pam Swakarsa yang digunakan sebagai instrumen vigilantisme pemerintah untuk mempertahankan ritme politik dan kekuasaan saat peristiwa reformasi.
Seiring waktu, FPI kemudian bertransformasi menjadi ormas dengan agenda dan tujuan berbeda dibandingkan ketika awal mereka dibentuk. Selain aktivitas yang bertendensi vigilantisme, FPI tak jarang juga menunjukkan sikap politik dan peran sebagai oposan.
Oleh karena itu, pembubaran FPI mungkin dapat dibaca sebagai kulminasi akhir pemerintah, atas tidak dibutuhkannya lagi ormas besutan Habib Rizieq Shihab itu. Mengingat kondisi belakangan, mereka justru memberikan tekanan politik paling hebat kepada pemerintah sejak dilahirkannya pada 1998 silam.
Konsistensi sikap kerasnya secara politik seolah memberikan impresi deadlock bagi pemerintah atas eksistensi FPI sebagai salah satu instrumen establishment violence, yang hakikatnya pada situasi maupun momentum tertentu memiliki benefit tersendiri.
Meski begitu rangkaian postulat di atas masih sebatas analisa semata, dengan probabilitas lain yang mungkin juga terjadi. Kendati begitu, tindakan yang dilakukan kelompok tertentu dan acapkali beriringan dengan kekerasan dan aksi vigilantisme memang harus disikapi serius oleh pemerintahan manapun, bukan lantas dimanfaatkan.
Baik itu yang tak jarang mengganggu tatanan sosial, maupun aksi yang bahkan mampu merusak citra demokrasi negara seperti yang dilakukan demonstran pro Trump di Gedung Capitol pekan lalu. (J61)
Baca juga: Banser dan Paradoks Politik Identitas
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.