Dua Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Rahayu Saraswati dan Fadli Zon beda pendapat terkait keputusan pemerintah membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI). Rahayu menegaskan partainya mendukung keputusan tersebut sementara Fadli berkata sebaliknya. Akankah perselisihan ini menjadi titik awal terbelahnya partai besutan Prabowo Subianto tersebut?
Sejak bergabung ke pemerintahan Jokowi, sikap resmi Partai Gerindra bisa dibilang memang konsisten menjaga jarak dengan kekuatan politik yang selama ini menjadi rekannya di kubu oposisi, termasuk Front Pembela Islam (FPI). Meski begitu, sejumlah kader Gerindra nyatanya tetap kerap memberi dukungan kepada kelompok tersebut, misalnya saja Wakil Ketua Umum, Fadli Zon.
Pun dalam polemik pembubaran FPI oleh pemerintahan Jokowi baru-baru ini, Fadli sekali lagi membuktikan kesetiaannya kepada kelompok tersebut. Ia mengkritik keras kebijakan pemerintah yang dinilainya telah membubarkan ormas tanpa melewati proses peradilan.
Sikap Fadli ini berbeda 180 derajat dengan pernyataan Wakil Ketua Umum lainnya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Keponakan dari Prabowo Subianto itu beberapa waktu lalu menegaskan bahwa partainya mendukung segala kebijakan Pemerintah untuk menertibkan ormas yang dinilai intoleran.
Di sisi lain, sikap Fadli ternyata mendapat dukungan dari rekannya Arief Poyuono. Arief menilai sikap Fadli tersebut merupakan bentuk komitmen dan kesadaran politik yang punya warna jelas.
Silang pendapat antar dua Waketum Gerindra ini pun mendapat sorotan publik. Ketua Cyber Indonesia Husin Alwi Shihab menantikan ketegasan Prabowo selaku ketua umum untuk menengahi perbedaan pendapat antar kadernya ini. Ia berpendapat jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat partai tersebut akan terpecah sehingga lahir Partai Gerindra Perjuangan, sebagaimana PDI Perjuangan sempat terpecah dari PDI.
Lantas pertanyaannya, akankah perbedaan pendapat antar dua petinggi Gerindra ini menjadi titik awal terpecahnya partai tersebut. Mungkinkah pada akhirnya Fadli Zon yang selama ini konsisten membela kubu oposisi bakal berdiri menentang garis politik Prabowo Subianto?
Politik Dua Kaki Gerindra
Sejak Partai Gerindra bergabung ke gerbong koalisi Jokowi, Fadli Zon tak serta merta menumpulkan daya kritiknya terhadap pemerintah. Dalam sejumlah kebijakan, Fadli bahkan terang-terangan berbeda sikap dengan partainya sendiri, misalnya dalam pengesahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) Oktober lalu.
Kendati demikian, Fadli sempat menegaskan bahwa sikap politiknya tersebut tak mendapat tentangan dari Prabowo yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) Jokowi.
Dia mengklaim Prabowo membebaskan dirinya untuk tetap melemparkan kritik kepada pemerintah sepanjang memiliki dasar yang kuat. Hal ini pun membuat kecurigaan publik bahwa Gerindra tengah memainkan politik dua kaki semakin mendapatkan afirmasinya.
Pengakuan bahwa Gerindra tengah menjalankan politik dua kaki nyatanya juga diamini oleh kader lainnya Arief Poyuono. Dalam wawancaranya dengan Pinterpolitik beberapa waktu lalu, Arief menyebut bahwa politik dua kaki memang merupakan taktik yang tengah dimainkan Gerindra.
Kendati begitu, Arief tak menjabarkan secara gamblang apa tujuan Gerindra menjalankan strategi ini. Sebaliknya, Ia malah balik mengkritisi sikap Prabowo yang dinilai membiarkan kader-kadernya ‘mendelegitimasi’ pemerintahan Jokowi meski Ia sendiri tergabung dalam kabinet.
Matthew Soberg Shugart dan John M. Carey dalam bukunya yang berjudul Presidents and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamics mengatakan bahwa sistem multi-partai yang diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensial memberi kesempatan untuk terciptanya kondisi politik yang cenderung pragmatis.
Dengan kondisi demikian, partai politik di satu sisi memainkan peran dalam mendukung atau menghambat program pemerintah, sementara di sisi lain juga dituntut beradaptasi dengan tawar menawar politik yang memberinya keuntungan.
Kendati demikian, sejumlah analis menilai strategi politik yang lebih bersifat pragmatis semacam itu cenderung rentan terhadap perpecahan. M Faishal Aminuddin dan Mohammad Fajar Shodiq dalam studi mereka pada tahun 2015 menyimpulkan bahwa partai yang lebih menekankan pada strategi pragmatis mempunyai peluang besar untuk berperan sebagai pembentuk opini tandingan.
Namun sifat reaktif yang terlalu dominan tersebut membuat pernyataan resmi partai menjadi lebih mudah berpindah haluan dalam waktu relatif cepat. Apalagi, beberapa faksi di dalam partai tidak mempunyai persamaan visi sehingga rentan terjadi silang pendapat internal yang berujung kepada perpecahan.
Lantas apakah politik dua kaki yang dimainkan Partai Gerindra ini juga dapat berujung pada perpecahan sebagaimana dikhawatirkan Husin Alwi Shihab?
Prabowo Masih Berpengaruh?
Dalam wawancaranya dengan pakar hukum tata negara Refly Harun di channel YouTubenya pertengahan tahun lalu, Fadli Zon sempat membeberkan kedekatannya dengan Prabowo Subianto. Ia menyebut hubungan keduanya telah terjalin cukup lama bahkan sejak dirinya masih menjadi mahasiswa pada tahun 1990-an.
Fadli menyebut dirinya melihat Prabowo saat itu sebagai sosok tentara yang reformis. Ia menilai ada satu dasar demokratis dalam pemikiran mantan Danjen Kopassus tersebut.
Selain itu, Fadli juga mengklaim bahwa dirinya memiliki andil yang besar dalam pendirian Partai Gerindra. Menurutnya Ia lah yang sebenarnya merayu Prabowo untuk mendirikan partai yang kala itu sempat menolak karena masih menjabat di struktur kepengurusan Partai Golkar.
Dengan relasi yang memiliki sejarah cukup panjang, agaknya kecurigaan Alwi yang menyebut bahwa Fadli Zon bisa membuat partai tersebut terpecah akan sulit terjadi. Apalagi dominasi Prabowo sendiri di tubuh Partai Gerindra bisa dibilang masih kuat. Hal ini terbukti dari terpilih kembalinya Prabowo sebagai ketua umum untuk periode 2020-2024.
Nico Oktario Adytyas dalam risetnya mengenai Legitimasi Partai Politik Gerindra juga mengamini hal tersebut. Setelah melakukan serangkaian wawancara dengan kader-kader Gerindra di daerah, Nico sampai pada kesimpulan bahwa Prabowo masih menjadi modal utama partai berlogo kepala Garuda tersebut.
Menurutnya, Prabowo merupakan dominasi simbol Partai Gerindra. Ia kemudian mengaitkan dominasi simbol tersebut dengan teori yang disebut sensor panopticon .
Sensor panopticon sendiri menjelaskan mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol kekuasaan secara nyata (sumber). Kekuasaan Prabowo di Partai Gerindra juga dirasakan hadir di setiap daerah di Indonesia, meskipun sosoknya tidak hadir untuk memastikan kekuasaan itu.
Dengan memperhatikan hal tersebut, maka bisa dikatakan silang pendapat antara Rahayu dan Fadli Zon terkait pelarangan FPI sepertinya tak akan sampai membuat Partai Gerindra sampai terbelah. Namun sekarang pertanyaan yang belum terjawab adalah mengapa Prabowo tetap membiarkan hal ini terjadi?
Strategi Trial Balloon?
Setidaknya ada sejumlah alasan yang mungkin saja membuat Prabowo tak mere kader-kadernya saling silang pendapat dan meneruskan strategi dua kaki yang dilakukan partainya. Pertama, manuver ini bisa saja merupakan strategi trial balloon.
Bill Gindlesperger dalam tulisannya di Public Opinion mengatakan bahwa trial balloon merupakan strategi politik untuk memetakan reaksi publik terhadap gagasan tertentu. Jika tampak mendapat dukungan, politisi tersebut akan mengejar ide itu dan mengambil kredit penuh.
Strategi yang sama diduga kuat juga dimainkan oleh Partai Demokrat lewat salah satu kadernya Andi Arief. Sama seperti Fadli Zon, Andi juga kerap melemparkan pernyataan-pernyataan yang memantik kontroversi publik. Kendati begitu, petinggi Partai berlogo mercy itu, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak pernah sekalipun menegur manuver Andi.
Bagi partai yang belum menambatkan dukungan pada koalisi tertentu, strategi trial balloon memang wajar dilakukan. Manuver ini bisa menjadi salah satu cara untuk menjaring opini publik demi mengkalkulasikan kemana kira-kira dukungan partai sebaiknya diarahkan.
Dalam konteks Partai Gerindra, strategi trial balloon juga memiliki keuntungan tersendiri. Sebagai partai yang telah menjadi oposisi sejak tahun 2008, bukan tidak mungkin keputusan untuk akhirnya bergabung ke gerbong pemerintahan berpotensi menimbulkan riak-riak di akar rumput. Untuk itu, memetakan opini konstituen menjadi penting untuk dilakukan.
Namun dalam konteks yang lebih pragmatis, politik dua kaki ala Gerindra ini bisa jadi dilakukan demi meraih keuntungan elektoral sekaligus menjaga hubungan baik dengan mantan mitra oposisi.
Pascal Gautier dan Raphaël Soubeyran yang berjudul Political Cycles: The Opposition Advantage yang mengatakan bahwa Ketika parpol penguasa tengah berusaha menepati janji politiknya, di saat yang sama tercipta ruang bagi parpol oposisinya untuk menawarkan dan mengimplementasikan gagasan dan sikap politik yang terlihat lebih memuaskan dan mewakili aspirasi publik.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan strategi dua kaki yang dilakukan Gerindra ini bertujuan untuk meraup keuntungan elektoral dari kedua sisi, baik dalam posisinya di gerbong pemerintahan, maupun sebagai oposisi yang mengkritik pemerintahan lewat pernyataan-pernyataan Fadli Zon.
Kendati begitu, sekelumit ulasan ini merupakan analisis teoritis yang terbuka untuk diperdebatkan. Mengapa Prabowo membiarkan kadernya saling berselisih hanyalah pihak terkait sendiri yang tahu. Akankah nantinya Prabowo akan bersuara terkait polemik ini? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.