Site icon PinterPolitik.com

Dukung Jokowi, Flip-flop TGB?

Dukung Jokowi, Flip-flop TGB?

Tuan Guru Bajang (TGB) mengejutkan banyak orang melalui dukungannya pada Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto: Istimewa)

“Menurut saya sangat pantas dan fair kita beri kesempatan Presiden Jokowi untuk terus melanjutkan dua periode dan menyelesaikan apa yang selama empat tahun ini sudah dimulai,” Tuan Guru Bajang


PinterPolitik.com

[dropcap]M[/dropcap]uhammad Zainul Majdi atau kerap disapa sebagai Tuan Guru Bajang (TGB) adalah salah satu rising star dalam politik tanah air. Selama menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), namanya melesat seiring dengan prestasinya  saat memimpin provinsi tersebut. Tidak hanya itu, TGB juga menjadi wajah dari politikus Islam yang diidam-idamkan beberapa orang.

Dengan pencapaian mentereng seperti itu wajar jika salah satu kader Nahdlatul Wathan (NW) tersebut dianggap memiliki pengaruh politik besar untuk gelaran sekelas Pilpres 2019. Banyak orang berharap ia bisa maju menjadi salah satu kontestan. Di luar itu, dukungan atau endorsement sosoknya pada salah satu calon juga dianggap sangat penting.

Saat pendaftaran Pilpres 2019 tinggal menyisakan hari, TGB mengeluarkan pernyataan yang menggemparkan. Gubernur NTB tersebut menyatakan dukungannya kepada Joko Widodo (Jokowi) agar bisa melanjutkan periode kepemimpinannya.

Pernyataan dukungan tersebut sangat menghebohkan terutama bagi kalangan pengguna politik identitas. Terlihat bahwa dukungan TGB ini seperti menjadi kerugian besar bagi kelompok tersebut. Lantas, apa yang menyebabkan TGB mau berubah haluan dan mendukung sosok Jokowi?

Berubah Haluan

Tidak dapat dipungkiri TGB adalah gambaran sempurna bagi pemimpin dari kalangan Islam. Secara kepemimpinan, ia adalah sosok yang teruji. Dua periode sudah ia memimpin sebuah provinsi di bagian tengah Indonesia. Tidak hanya sekadar memimpin selama dua periode, sejumlah prestasi juga ia hadirkan ke provinsi kepulauan tersebut.

Tidak hanya moncer dari segi kepemimpinan, dari segi agama, sosoknya juga tergolong memiliki CV mentereng. Ia lahir dan besar di lingkungan NW, ormas Islam paling terkemuka di NTB. Tidak hanya itu, ia juga mewarisi darah keluarga ulama terkemuka. Seolah belum cukup, ia juga adalah seorang hafidz atau penghapal Alquran.

TGB juga adalah alumnus salah satu perguruan tinggi agama terkemuka di dunia, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Tidak hanya sekadar alumnus, ia adalah Ketua Alumni Al Azhar Cabang Indonesia. Pengaruhnya di mata umat Islam tanah air kemudian menjadi berlipat ganda.

Kondisi-kondisi tersebut membuat masyarakat Islam terutama di dunia maya begitu mencintainya. Begitu lama mereka merindukan sosok pemimpin yang tidak hanya mumpuni mengatur pemerintahan, tetapi juga memenuhi standar kesalehan secara agama menurut versi mereka.

Tidak hanya dicintai, kelompok-kelompok Islam juga menggadang-gadangan dirinya menjadi salah satu capres ideal bagi bangsa ini. Secara spesifik, kelompok Islam paling dibicarakan belakangan ini, Persaudaraan Alumni 212 (PA 212), mendapuknya menjadi salah satu capres andalan mereka.

Sayangnya, bulan madu TGB dengan kelompok Islam tiba-tiba berakhir. Hal ini terjadi setelah TGB menyatakan dukungannya kepada Jokowi. Kader Demokrat itu menyatakan bahwa ia mendukung kepemimpinan Jokowi agar berlanjut ke periode kedua.

Dukungan tersebut membuat semua pemahaman agama TGB seolah tiba-tiba hilang di mata PA 212 dan kelompok oposisi. Ia seperti tidak lagi dianggap sebagai keturunan kiai terkemuka di negeri ini. Di mata kelompok tersebut, ijazah Al Azhar TGB seperti hilang terbawa banjir. Hapalan Alqurannya pun kini seperti dianggap tidak ada artinya lagi.

Flip-flop Ala TGB

TGB seperti memilih jalan yang berbeda 180 derajat dengan pilihannya di Pilpres 2014. Kala itu, ia tidak ragu memberikan dukungannya kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Tidak hanya sekadar mendukung, ia juga disebut-sebut terlibat dalam pemenangan pasangan tersebut di NTB.

Dalam politik, perubahan sikap ini kerapkali disebut sebagai flip-flop. Istliah ini kerapkali digunakan untuk menggambarkan perubahan kebijakan atau sikap yang tiba-tiba dari seorang pejabat publik. Terkadang, hal tersebut disertai klaim bahwa kedua posisi yang diambil konsisten antara satu sama lain.

Langkah flip-flop seringkali digunakan oleh politikus di masa-masa mendekati atau saat Pemilu. Perubahan sikap ini dilakukan untuk memaksimalkan popularitas dari suatu kandidat.

Salah satu peneliti yang menggunakan istilah flip-flop adalah Michael Lempert. Akademisi dari Georgetown University ini menggunakan istilah tersebut untuk melihat perubahan sikap yang terjadi pada John Kerry semasa melaju sebagai capres AS di tahun 2004.

Dalam kadar tertentu, istilah flip-flop dalam politik kerapkali digunakan secara peyoratif. Hal ini terutama jika perubahan sikap atau kebijakan ini berkaitan dengan pengingkaran janji kampanye. Meski begitu, belakangan istilah tersebut mengalami ameliorasi atau pembaikan makna. Perubahan sikap tiba-tiba oleh politisi kemudian tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang teramat buruk. Apalagi, jika perubahan sikap atau kebijakan itu lahir sebagai respons terhadap perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Berbagai kondisi yang menyertai langkah flip-flop dari politisi dapat menjadi faktor krusial dari perubahan sikap seorang politisi. Politisi bisa saja meraup untung dari perubahan ini, tetapi juga bisa saja justru mengalami kerugian akibat inkonsistensinya.

Bikin Jokowi Pede?

Banyak orang yang mengaitkan perubahan sikap politik TGB dengan kondisi politik tertentu. Salah satu pertanyaan paling lazim ditanyakan adalah soal transaksi politik apa yang dilakukan antara Jokowi dan Gubernur NTB tersebut.

Sangat rasional jika perubahan sikap mantan Ketua DPD Demokrat NTB tersebut terkait dengan jabatan. Meski demikian, TGB telah menampik adanya tukar-menukar jabatan tertentu dari sikap politiknya tersebut.

Beberapa orang juga mengaitkan dengan urusan hukum yang tengah dialami oleh TGB. Belakangan diketahui bahwa mantan kader PBB ini tengah dilaporkan ke KPK terkait sebuah kasus di NTB. Bagi sebagian orang, dukungan TGB ini bisa saja terkait dengan laporan tersebut. TGB lagi-lagi menampik anggapan seperti ini.

Sebagai seorang politisi, TGB idealnya tentu sudah menghitung konsekuensi dari pernyataan publiknya tersebut. Terlalu riskan baginya mengambil langkah flip-flop yang membuatnya dihujat dan dipertanyakan dengan menyatakan dukungan kepada Jokowi secara publik. Apalagi, ia juga adalah kader Demokrat yang belum resmi memberi dukungan kepada kubu manapun. Oleh karena itu, cukup aman untuk mengatakan bahwa TGB sudah memperhitungkan untung-rugi dari langkah flip-flop tersebut.

Terlepas dari apapun, dukungan TGB ini bisa dikatakan menguntungkan Jokowi. Sebagaimana diketahui, Jokowi selama ini dianggap sebagai presiden yang anti-Islam. Dengan hadirnya sosok TGB di kubu Jokowi, sentimen anti-Islam tersebut dapat dikikis secara perlahan.

Memang, saat ini TGB justru  terkena getah berupa serangan dari orang-orang yang dulu menggilainya. Meski begitu, merapatnya sosok cucu pahlawan nasional TGKH Zainudin Abdul Madjid ini setidaknya bisa memecah suara kaum Islam agar bisa sedikit mendekat ke Jokowi.

Jika diperhatikan, suara kaum Muslim tergolong masih belum terfokus pada salah satu kandidat. Kelompok-kelompok yang bersimpati pada TGB bisa saja kini mulai berpikir untuk mendukung Jokowi. Pengaruh kader Demokrat ini bisa saja menggeser opini sebagian masyarakat Muslim kepada Jokowi.

Merapatnya sosok TGB ini bisa menetralisir sedikit serangan tentang hal-hal berbau agama kepada Jokowi. Tidak hanya itu, sosoknya juga bisa menjadi semacam perekat kubu Islam dan kubu lain yang ada di kubu Jokowi yang selama ini terlihat berseberangan.

Selain itu, merapatnya kader NW ini juga bisa menjadi langkah awal untuk mendaratkan Partai Demokrat ke kubu Jokowi. Meski bukan sikap resmi partai, mendaratnya TGB bisa saja menjadi pemulus langkah Jokowi untuk merayu Demokrat.

Hal ini menunjukkan bahwa flip-flop TGB ini memiliki potensi keuntungan secara  elektoral kepada Jokowi. Sebagaimana disebut sebelumnya, flip-flop jelang Pemilu memang ditujukan untuk memaksimalkan popularitas kandidat. Meski begitu, hal ini hanya berlaku untuk Jokowi, lalu untung elektoral apa yang didapat TGB?

Terlalu awal untuk menduga-duga. Akan tetapi, hingga saat ini kursi cawapres Jokowi masih kosong. Apakah TGB mendapatkan kursi tersebut? Atauhkah ia mendapat keuntungan lain?  Berikan pendapatmu. (H33)

Exit mobile version