Lama tak muncul, eks Juru Bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengumumkan pengunduran dirinya dari lembaga antikorupsi. Kemunduran Febri ini tak lama berselang setelah Ketua KPK, Firli Bahuri melantik sejumlah perwira Polri untuk menduduki jabatan struktural. Adakah korelasi antara dua kejadian ini?
Sebagian kalangan, seperti pegiat antikorupsi, wartawan, atau sekadar pemerhati berita, mungkin tak asing dengan sosok Febri Diansyah. Sebagai mantan juru bicara (jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), wajah Febri memang kerap muncul di media massa kala komisi antirasuah itu tengah jadi pusat pemberitaan.
Namun sejak pergantian tampuk kepemimpinan KPK pada akhir tahun lalu, Febri praktis sudah tak lagi mengemban peran sebagai jubir. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai Kepala Biro Humas KPK, sementara peran jubir digantikan oleh pelaksana tugas, Ali Fikri.
Lama tak terdengar kabarnya, Febri mendadak kembali menjadi pusat perhatian kemarin. Bukan karena mengabarkan soal pengungkapan kasus korupsi, melainkan Ia mengumumkan pengunduran dirinya dari lembaga yang telah menaunginya sejak 2016 silam.
Febri menyebut keputusan pengunduran diri ini diambilnya atas inisiatif pribadi tanpa ada paksaan dari siapapun. Namun begitu, dia tidak menampik bahwa kepergiannya dari KPK disebabkan oleh kondisi lembaga itu sudah tak lagi sama, sejak kurang lebih sebelas bulan terakhir.
Febri memang tak secara gamblang menjelaskan perubahan kondisi seperti apa yang dimaksud. Namun kuat dugaan Ia mengacu pada revisi Undang-undang (UU) KPK yang memang disahkan setahun lalu.
Namun terlepas apapun alasannya, kemunduran Febri ini seolah kembali mengingatkan publik terhadap polemik revisi UU KPK yang sempat menjadi salah satu pemantik demonstrasi mahasiswa besar-besaran kala itu.
Apalagi pengumuman mundurnya Febri ini juga tak terlalu lama berselang setelah Ketua KPK, Firli Bahuri melantik 12 pejabat struktural, yang enam di antaranya diisi oleh perwira tinggi dan menengah Polri.
Pelantikan tersebut nyatanya menambah daftar panjang perwira polisi yang mengisi jabatan strategis di KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejauh ini sudah ada sembilan perwira tinggi-menengah Polri yang mengampu sejumlah jabatan seperti posisi Ketua, Deputi, Direktur, hingga Koordinator Wilayah.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago bahkan menganggap pengangkatan perwira-perwira tersebut merupakan upaya Polri untuk menguasai KPK. Ia kemudian mempertanyakan apakah ke depannya KPK masih bisa diharapkan dalam proses penindakan korupsi terutama yang melibatkan institusi Polri.
Mundurnya Febri di tengah-tengah kritik tersebut, tak bisa dipungkiri, menimbulkan sederet pertanyaan. Mungkinkah kedua hal tersebut saling berkaitan?
Apakah ini artinya Firli tengah berusaha membersihkan KPK dari unsur-unsur yang tak sejalan dengannya, mengingat Febri merupakan mantan peneliti ICW, LSM yang selama ini keras mengkritik kepemimpinannya di KPK?
Paradoksalitas Trias Politica
Banyak pihak yang menganggap terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK akhir tahun lalu merupakan pertanda kemenangan Polri dalam drama panjang Cicak versus Buaya. Drama tersebut merujuk pada serangkaian konflik antara Polri dan KPK yang pertama kali mencuat di tahun 2009 silam.
Polemik ini cukup menghebohkan publik lantaran dua pimpinan KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah sempat menjadi sasaran kriminalisasi di tengah upaya pengusutan kasus korupsi yang melibatkan mantan Kabareskrim, Susno Duadji kala itu.
Konflik antar lembaga penegak hukum, seperti yang terjadi pada KPK dan Polri, sebenarnya tak bisa dilepaskan dari perkembangan dialektika hubungan kausalitas antara hukum dan politik.
Mahfud MD dalam bukunya, Politik Hukum di Indonesia telah memetakan tiga pandangan terkait hubungan antara politik dan hukum. Pertama, hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa segala kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang berada pada posisi dengan derajat determinan.
Poin kedua Mahfud yang menyebut bahwa politik determinan atas hukum sebenarnya dapat dilihat dari adanya proses politik dalam setiap langkah penegakan hukum. Mulai dari pengangkatan pejabat hukum, penyusunan produk hukum, hingga proses pelaksanaan penegakan hukum memang kerap melibatkan tiga cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Dalam kesimpulannya, Mahfud menyebutkan bahwa produk hukum di Indonesia sebenarnya mencerminkan poin kedua, karena kerap kali produk hukum di Indonesia adalah konsekuensi dari konfigurasi politik yang tengah terjadi. Ia pun memberikan berbagai contoh bagaimana suatu aturan berubah seiring dengan berpindahnya tampu kekuasaan.
Singkatnya, sebagaimana diungkapkan Abdul Latif dan Hasbi Ali, penegakan hukum sebagai bagian dari proses hukum sebenarnya tidak dapat merdeka dari pengaruh politik.
Satjipto Rahardjo kemudian menyebut bahwa dalam struktur kenegaraan modern, tugas penegakan hukum tersebut dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi eksekutif. Dalam situasi seperti itu, Ia menilai penegakan hukum sesungguhnya berada dalam bayang-bayang kuasa eksekutif.
Ini artinya, pengaruh kekuatan pemerintah atau pelaksana kebijakan negara sangat besar teradap kekuatan hukum. Di sinilah problematika atau paradoksalitas Trias Politika yang selama ini terjadi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, di mana satu kekuasaan negara dapat bercampur dengan kekuasaan negara lainnya.
Begitu juga dalam konteks KPK. Meski lembaga tersebut kerap dituntut untuk menjadi badan yang independen dan terlepas dari pegaruh politik, namun secara teori keinginan itu sulit diwujudkan. Hal ini lantaran pembentukan UU yang menjadi dasar berdirinya KPK pada kenyataannya harus melalui proses politik antara eksekutif dan legislatif.
Belum lagi KPK merupakan lembaga yang terdiri atas unsur-unsur penegak hukum yang dekat dengan pemerintah, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini semakin membuat KPK sulit untuk dipisahkan dari campur tangan kekuasaan eksekutif.
Maka dapat dikatakan bahwa bercampurnya cabang-cabang kekuasaan negara dan juga institusi-institusi penegak hukum di tubuh KPK, membuat pihak-pihak yang berkepentingan tersebut akan berusaha mempengaruhi pelaksanaan kebijakan agar sejalan dengan kepentingan dan kekuatan sektoralnya masing-masing.
Hal tersebutlah yang kemudian memicu gesekan antar penegak hukum yang berpotensi bereskalasi menjadi konflik. Perspektif sama juga kiranya bisa menjadi penjelasan mengapa dalam tubuh KPK kerap diisukan muncul faksi-faksi yang saling berkonflik akibat bercampurnya kekuasaan-kekuasaan tersebut.
Berangkat dari sini, kiranya bisa dikatakan bahwa penunjukan sejumlah perwira Polri untuk menduduki jabatan strategis di KPK merupakan usaha Firli untuk membuat kebijakan lembaga antirasuah agar sejalan dengan kepentingan kekuatan sektoralnya, yakni Polri. Hal ini kemudian bisa saja menjadi pemicu Febri, yang selama ini kontra dengan revisi UU KPK, memutuskan untuk meninggalkan lembaga tersebut.
Kemudian jika memang pengaruh eksekutif sulit dipisahkan dari tubuh KPK, maka pertanyaan besarnya apa kira-kira kepentingan pemerintah terhadap KPK?
Alat Legitimasi Politik?
Dalam polemik revisi UU KPK yang mencuat sekitar satu tahun lalu, Istana sempat berdalih bahwa pembahasan belid tersebut merupakan ranah Parlemen.
Terkait dengan hal ini, Saldi Isra dalam bukunya Pergeseran Fungsi Legislasi mengatakan meski memang pembahasan dan persetujuan suatu produk UU merupakan wewenang lembaga legislatif, namun pada hakikatnya pemegang kekuasaan eksekutif dapat mengajukan keberatan atau menolak (dalam bentuk veto) rancangan UU yang disetujui legislatif.
Lalu karena pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi tidak menggunakan hak veto maupun menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagaimana diharapkan publik, maka tidak heran terdapat asumsi bahwa sang presiden memiliki kepentingan terhadap disahkannya revisi UU KPK.
Apalagi aturan-aturan dalam revisi tersebut jamak dinilai semakin menegaskan pengaruh pemerintah terhadap lembaga antirasuah. Misalnya dengan menyematkan status aparatur sipil negara (ASN) ke pegawai-pegawai KPK.
Tom Power dalam tulisannya Jokowi’s Authoritarian Turn sempat menyebut bahwa politisasi lembaga hukum dan penegakan hukum bukanlah fenomena baru di Indonesia. Dia bahkan mengatakan bahwa penggunaan lembaga hukum sebagai alat legitimasi politik jauh lebih terbuka dan sistematis di bawah pemerintahan Jokowi.
Dia menyoroti sejumlah kasus penegakan hukum yang agresif terhadap para oposan, namun terkesan berkompromi terhadap para pendukung pemerintah. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa lembaga penegak hukum, seperti KPK, memang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat legitimasi politik pemerintah.
Namun pada akhirnya, sekelumit analisis yang mengatakan Firli Bahuri tengah ‘bersih-bersih’ sehingga menyebabkan Febri Diansyah mundur dari KPK, serta kecurigaan terhadap pemerintah yang ingin menggunakan KPK untuk memperkuat legitimasi politiknya hanyalah asumsi teoritis semata. Namun yang jelas, pengangkatan banyak perwira Polri untuk menduduki jabatan-jabatan struktural di KPK, tak dapat dipungkiri, memicu sentimen minor dari publik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.