HomeNalar PolitikFirli dan Narasi Warga Baik

Firli dan Narasi Warga Baik

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut bahwa yang tertangkap KPK karena korupsi tak lebih dari 1.550 dan ada 262 juta warga Indonesia yang baik. Pernyataan ini bisa saja ditangkap publik untuk melihat korupsi dari sisi optimis.


Pinterpolitik.com

Rasanya, mendengar berita korupsi di negeri ini sudah sangat membosankan. Tentu, bukan dalam artian berita itu tak penting lagi. Namun, konteks yang dimaksud dalam hal ini adalah mungkin publik sudah terlalu marah dengan berita negatif itu yang muncul terus-menerus.

Lalu, bagaimana jika korupsi ini dilihat dari sisi positif? Di atas kertas, hal tersebut sama sekali tidak mungkin terjadi. Meski demikian, layaknya di seminar-seminar motivasi, kita selalu bisa berpikir positif, kan?

Contoh yang bisa ditangkap publik terkait hal tersebut adalah pernyataan dari Ketua KPK Firli Bahuri. Memang, perlu diakui kalau Firli sama sekali tidak memberi cap positif atau bagus dari korupsi. Meski begitu, ia memiliki cara pandang yang berbeda saat berbicara tentang ribuan kasus korupsi.

Dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Stranas PK 2021-2022, ia menyebut kalau yang tertangkap KPK karena korupsi itu tak lebih dari 1.550. Ia menyebut artinya ada 262 juta warga Indonesia yang baik.

Pernyataan tersebut tentu bisa diartikan macam-macam oleh masyarakat, terutama oleh netizen dan jempol ajaib mereka.

Baca Juga: Menguak Ajang Throwback ala Prabowo

Terlepas dari sikap masyarakat, pernyataan dari Firli tersebut boleh jadi bisa ditelaah lebih jauh. Terlebih, dalam beberapa waktu terakhir, ada kasus korupsi yang bisa direfleksikan dengan narasi “orang baik”.

Memandang dari Sisi Lain

Seperti disebutkan sebelumnya, mencari sisi positif dari kabar tentang korupsi memang tidak mudah bahkan mungkin hampir tidak mungkin. Bagaimana tidak, tindakan tersebut membuat jengkel karena bisa merugikan hingga beberapa generasi.

Meski demikian, pernyataan Firli di atas bisa saja ditangkap masyarakat sebagai sisi positif dari kabar tentang korupsi. Memang, jika dilihat dari segi kuantitatif, angka 1.550 tak sebanding dengan 262 juta. Dari situ, jika memang ingin mencari silver lining, memang bisa saja melihat bahwa ada 262 juta orang yang tak korupsi.

Meski begitu, bagaimana jika publik kemudian bertanya soal kerugian yang ditimbulkan oleh 1.550 kasus kepada 262 juta orang lainnya? Apakah publik masih bisa tak ribut dengan perkara korupsi yang melanda negeri?

Secara konsep, dalam menyikapi kabar dan pemberitaan ini memang bisa berbeda antara pemerintah dan masyarakat terutama mungkin oposisi. Hal itu disebut misalnya oleh Gunnar Thessen dari University of Stavanger.

Ia menggambarkan kalau pemerintah memang akan bereaksi pada berita yang baik untuk menggambarkan kesuksesan. Selain itu, pemerintah juga akan bereaksi jika ada berita yang mengancam citra mereka.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dari kondisi tersebut, wajar jika pemerintah boleh jadi cenderung lebih suka jika kabar tentang mereka memiliki nada yang positif. Hal ini bisa saja berlaku untuk kasus-kasus kurang mengenakkan seperti korupsi.

Merujuk pada kondisi tersebut, boleh jadi ada yang menganggap wajar jika Firli menyebut jangan sampai orang kena OTT saja ramai, sementara masih banyak ribuan bahkan jutaan orang yang baik.

Mengubah Persepsi?

Memang, kalau mau dicari, sebenarnya bisa saja ada nada positif tentang kabar korupsi. Misalnya, ada sistem baru yang bisa mencegah orang bertindak korup tentu jadi kabar baik.

Lebih jauh, publik mungkin berharap kabar baik semacam itu berupa revisi UU KPK yang lebih merugikan koruptor. Bisa pula ada masyarakat yang mengharapkan berita baik soal korupsi dari sisi proses pemilihan pimpinan KPK yang lebih transparan dan pro kepentingan publik.

Lalu, apakah masyarakat bisa menerima begitu saja pernyataan soal yang tertangkap korupsi tak lebih dari 1.550 dan ada 262 juta warga negara yang baik?

Sejauh ini, mungkin bisa bersikap kritis pada pernyataan tersebut. Namun, kondisi tersebut belum tentu akan sama persis jika isu korupsi harus melulu dilihat dari sisi yang lebih positif atau menggambarkan optimisme.

Baca Juga: Menerka Jokowi-Prabowo di Pernikahan Atta-Aurel

Hal ini terutama perlu dipikirkan jika kemudian berita kesuksesan yang digambarkan Thessen di atas yang mendominasi. Terkait dengan hal itu, ada penelitian cukup menarik yang dilakukan oleh Jiangnan Zhu dan kawan-kawan dalam When Grapevine News Meets Mass Media: Different Information Sources and Popular Perceptions of Government Corruption in Mainland China.

Mereka menggambarkan kalau peliputan yang dilakukan pemerintah menurunkan persepsi masyarakat terhadap korupsi. Hal tersebut dapat menjadi gambaran potensi yang bisa terjadi jika pemerintah dan narasi optimis tentang korupsi menjadi sesuatu yang dominan.

Persepsi masyarakat di Indonesia bisa saja tak lagi tinggi pada kasus korupsi di Indonesia. Dalam kadar tertentu, bisa saja kemudian masyarakat merasa korupsi adalah hal yang biasa saja. Toh, jika menggunakan kuantitas, selalu ada ratusan juta warga yang tak korup.

Normalisasi Korupsi?

Dalam kadar tertentu, perubahan persepsi saat memandang korupsi itu mungkin bisa membuat sejumlah orang khawatir. Salah satu kekhawatiran tersebut adalah anggapan bahwa korupsi adalah hal yang lazim dan normal.

Tentu, tak ada yang menuduh kalau Firli atau pejabat mana pun tengah melakukan tersebut. Meski demikian, sesuai uraian di atas, memandang korupsi dari sisi positif dan optimis relatif rentan memunculkan normalisasi.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Perkara normalisasi korupsi ini diungkapkan misalnya oleh Blake E. Ashfort dan Vikas Anand dalam The Normalization of Corruption in Organizations. Mereka mengungkap bahwa ada tiga proses yang memunculkan normalisasi.

Pertama, institusionalisasi, di mana tindakan korup tertanam dan di dalam struktur dan fungsi sehingga menjadi sesuatu yang dianggap rutin. Kedua, rasionalisasi, di mana muncul keyakinan diri untuk menjustifikasi tindakan korup. Ketiga, sosialisasi, di mana pendatang baru yang naif menilai korupsi adalah hal yang sah-sah saja.

Baca Juga: Jepang, “Pelindung” Baru Prabowo?

Jika masyarakat sudah menanggap biasa dan memandang korupsi dari sisi yang optimis, bukan tidak mungkin ketiga proses itu terjadi. Secara bertahap, institusionalisasi, rasionalisasi, dan sosialisasi korupsi di dalam sebuah institusi bahkan negara bisa terjadi.

Dalam kadar tertentu, beberapa orang bahkan bisa berargumen kalau ketiga proses tersebut sebenarnya sudah terjadi. Perubahan pandangan yang lebih positif kepada korupsi bisa saja membuat proses itu semakin berlanjut, seiring dengan mata masyarakat yang mulai teralih.

Dari pandangan Ashfort dan Anand sendiri ada temuan yang cukup menarik. Model yang mereka gunakan dapat menemukan bagaimana orang yang dianggap secara moral jujur dapat terlibat dalam tindakan korup tanpa mengalami konflik.

Nah, dari situ kemudian publik bisa saja mengaitkannya dengan ungkapan bahwa ada 262 juta warga baik yang tak korupsi. Jika korupsi sudah dianggap normal, proses sosialisasi bisa saja mengonversi orang yang tergolong baik itu menjadi korup.

Publik tentu masih ingat tentang kasus yang menimpa Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. Sebelumnya, Nurdin kerap digambarkan dengan citra yang baik dan berprestasi. Nyatanya, narasi orang baik yang mengemuka tak menghindarkan dirinya untuk berurusan dengan KPK.

Merujuk pada kondisi tersebut, melihat korupsi secara optimis dari 262 juta orang yang tidak tertangkap KPK bisa saja tidak berdampak terlalu positif. Persepsi masyarakat bisa saja teralih dan mungkin bisa berujung pada mewajarkan korupsi.

Kondisi ini kemudian membuka peluang kepada para pejabat untuk memanfaatkan korupsi yang mulai dianggap dari sisi optimis. Tak hanya itu, publik juga bisa saja bertanya-tanya, apakah kemudian demi sisi positif, angka penangkapan jadi diturunkan meski ada kasus penting.

Tentu, semua itu masih sekadar pertanyaan belaka. Terlepas dari itu, idealnya kabar positif tentang korupsi bukanlah tentang ada 262 juta orang warga tak korup, tetapi korupsi sudah tak ada lagi di negeri ini. (H33)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...