Di era pasca kebenaran, memproduksi kebohongan adalah jalan tempuh yang kerap digunakan untuk memenangkan kontestasi politik. Kemungkinan itu nyatanya turut mewarnai kondisi politik Indonesia saat ini.
Pinterpolitik.com
“Seseorang yang sekali berbohong, akan terus memproduksi kebohongan untuk menutupi kebohongannya.”
:: Pepatah lama ::
[dropcap]P[/dropcap]erpolitikan Indonesia memasuki babak baru. Berpijak pada kasus Ratna Sarumpaet, setelah sebelumnya meminta maaf kepada publik karena dirinya telah berbohong, kini banyak yang menduga bahwa hal itu hanyalah sebuah strategi kampanye belaka.
Dalam waktu yang sangat singkat, pemberitaan soal Ratna ini mendapat perhatian luas dari media nasional. Bahkan eksposur berita Ratna Sarumpaet ini menandingi berita bencana alam di Palu dan Lombok.
Pembohongan Ratna menjadi masif karena dibarengi oleh reaksi keras dari junjungannya, Prabowo Subianto. Pabrikasi hoaks tersebut cepat menyebar bak wabah karena diamplifikasi oleh para pendukungnya. Konferensi pers segera dilakukan oleh Prabowo dengan memberikan perhatian khusus kepada Ratna yang kasusnya ia sebut sebagai “pelanggaran HAM berat”.
Namun, seperti yang publik ketahui, dalam waktu yang sangat singkat, Ratna mengklarifikasi kondisi dirinya, meminta maaf bahwa berita dirinya telah dipukuli adalah bohong belaka. Ia mengaku telah melakukan operasi plastik dan sedot lemak di wajahnya.
Kebohongan Ratna ini membuat kubu Prabowo turut meminta maaf ke publik. Namun, permintaan maaf ini tetap dibumbui sindiran kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – yang menjadi lawan politik Prabowo dalam Pilpres – misalnya dengan menyebut bahwa Jokowi sendiri sering memproduksi kebohongan.
Banyak pihak yang menyebut kasus Ratna adalah bagian dari strategi kampanye Prabowo saja. Pihak oposisi ini disebut tengah menggunakan metode yang sama dengan yang dilakukan oleh Donald Trump pada saat Pilpres di Amerika Serikat (AS) tahun 2016 lalu. Teknik itu dinamakan firehose of falsehood atau “selang pemadam kebakaran untuk kekeliruan”.
Teknik ini yang kemudian mengantarkan Trump menjadi presiden ke-45 AS. Lantas bagaimana signifikansi teknik firehose of falsehood ini, serta apakah kasus Ratna Sarumpaet adalah bagian dari teknik yang sama dengan yang digunakan Trump?
Firehose of Falsehood, Runyamnya Kebenaran
Adalah Rand Corporation yang pertama kali menerbitkan sebuah analisa penelitian terkait terpilihnya Donald Trump dengan kemiripan metode yang digunakan oleh Vladimir Putin saat menganeksasi Crimea (2014) dan Georgia (2008).
Dalam publikasi tersebut, Christoper Paul dan Miriam Matthews menjelaskan bahwa Rusia mengunakan teknik kebohongan yang diproduksi secara masif dan simultan melalui media-media pemberitaan yang mereka miliki. Kemudian teknik ini diadopsi oleh Donald Trump pada saat Pilpres AS.
Pada dasarnya, teknik ini menggunakan obvious lies atau kebohongan tersurat yang direncanakan untuk membangun ketakutan. Sebagai propaganda, cara ini dinilai sangat efektif sebab memengaruhi bagian otak yang disebut amygdala – bagian otak yang bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa takut dan mempersiapkan diri pada kondisi darurat.
Sementara itu, untuk bekerja secara efektif, obvious lies memiliki empat karakter kunci. Yang pertama adalah diproduksi secara masif dan disebarkan melalui berbagai media pemberitaan. Artinya, informasi fiktif diproduksi dengan kuantitas tinggi dan disiarkan melalui banyak media berupa teks, audio dan video.
Yang kedua adalah, bergerak dengan cepat, terus menerus dan berulang. Artinya, pemberitaan ini harus diberitakan dengan masif, terus menerus dan berulang. Kemudian yang ketiga, tidak adanya komitmen pada realita atau fakta. Artinya pemroduksi propaganda ini acuh kepada komitmen. Kendatipun kebohongan itu mudah dibongkar, mereka akan cuek dan melenggang kangkung.
Dan yang terakhir, karakter ini tidak memiliki komitmen pada konsistensi. Artinya, konsistensi pada berita bohong yang diproduksi adalah persoalan belakangan, bisa saja dalam sekejap berita itu diklarifikasi dengan pernyataan berbeda, namun kebenaran berita tersebut juga belum bisa dibuktikan. Yang terpenting adalah berita pertama sudah tersebar dan didistribusikan dengan metode seperti pada karakter pertama dan kedua.
Pertautan empat karakter tersebut penting dan akan efektif memainkan isu yang beredar. Perpaduan antara prinsip iklan dan kelonggaran dalam konsistensi ini menimbulkan perpaduan yang aneh, namun efektif untuk menciptakan kebimbangan dan rasa takut pada masyarakat.
Tentu saja, dua karakter terakhir menjadi menarik untuk memainkan peran dalam membentuk propaganda. Jika merujuk pada penelitian Standford History Education Group, masyarakat cenderung mudah menerima berita bohong atau hoaks karena adanya keputusan dari dalam diri untuk membiarkan hal-hal yang sebenarnya keliru mengambil alih pikiran.
Ada kecenderungan alami manusia untuk mengedapankan emosi ketimbang rasional, sehingga biasanya seseorang akan mencari jawaban yang paling mudah atau yang paling sesuai dengan preferensi dirinya, misalnya tentang keyakinan politik.
Hal ini sejalan dengan cara kerja keempat karakter yang disebutkan sebelumnya sebab secara psikologis, obvious lies akan menyerang amygdala dalam struktur otak, sehingga mudah untuk membangun sebuah ketakutan.
Di AS sendiri, Trump menggunakan fake news kala itu, seperti misalnya pernyataan tentang sertifikat lahir Barrack Obama palsu dan Obama atau Hillary Clinton adalah pendiri ISIS, yang mana informasi ini tidak jelas kebenarannya. Di lain kesempatan, Trump menuduh moderator debat presiden saat itu, Laster Holt, sebagai orang Partai Demokrat, sehingga tidak fair.
Padahal, ternyata Holt bukan orang Demokrat. Namun, Kellyanne, asisten Trump, meyakinkan bahwa Trump tidak berbohong. Menurutnya, pendapat Trump yang mengaku tidak mengetahui pilihan politik Holt adalah bukan sebuah kebohongan, melainkan kebenaran alternatif atau alternative fact.
Trump nyatanya dengan mudah membuat kebohongan dengan kuantitas terhitung banyak. Lalu, ia seolah tidak berpegang teguh pada berita bohong yang telah dibuatnya dan dengan mudah beralasan dengan pernyataan-pernyataan yang belum tentu bisa diukur tingkat kebenarannya. Alih-alih menyadari bahwa informasi yang disampaikan dalah sebuah kebohongan, ia malah berdalih dengan alternative facts.
Melalui sejumlah penelitian di AS, perilaku Trump tersebut membuat masyarakat bimbang dan pada akhirnya mempercayai pemberitaan yang beredar. Bahkan, ketika sudah dilakukan fact checking, hal tersebut tidak mengubah opini dari konstituen.
Sementara jurnalis Amerika-Rusia, Masha Gessen menyebut bahwa pertalian antara firehosing dengan fact checking tidak selalu berkaitan dengan persuasi kepada publik, namun juga terkait dengan power, yakni kekuataan yang digunakan oleh seseorang untuk mempermainkan kebenaran. Misalnya adalah kebohongan tersurat yang dilakukan oleh Trump terkait dengan Holt yang bisa disebut sebagai alternative fact.
Mungkinkah Melalui Ratna Sarumpaet?
Permintaan maaf Ratna Sarumpaet dan Prabowo tidak lantas menghentikan isu ini dalam ranah politik Indonesia. Alih-alih berhenti, persoalan ini semakin meruncing pada dugaan adanya rekayasa dari kasus tersebut.
Jika memang kubu Prabowo menggunakan teknik yang sama dengan Trump, patut diduga bahwa kasus Ratna adalah salah satu bagian dari produksi propaganda politik demi memenangkan kontestasi Pilpres 2019.
Banyak pihak yang menyangsikan Ratna adalah pelaku tunggal dalam memproduksi berita bohong tersebut. Bukannya hanya sebagai korban, kubu Prabowo diduga ikut menjadi bagian dari produsen hoaks yang berperan sebagai penyebaran berita itu.
Melalui kasus Ratna, Prabowo cs dinilai “menggoreng” perstiwa itu dengan memanfaatkan peristiwa yang tidak bisa dicek kebenarannya. Penyebaran ini berfungsi untuk mengeksploitasi dan memanipulasi sifat emosional seseorang. Seperti stimulus pada amygdala, seseorang pada akhirnya tidak diberi kesempatan berpikir jernih dan rasional. Informasi yang disebarkan dikesankan sebagai ancaman.
Luar biasa sekali. Setelah menyebarkan kebohongan RS, kini mereka mau buang badan dan menyatakan bahwa RS adalah bagian dari Ahokers. Mau menciptakan teori konspirasi?
Aduh.. sedih kok Pemilu kita begini amat ya ???https://t.co/y60uFrd64e
— Tsamara Amany Alatas (@TsamaraDKI) October 8, 2018
Dengan narasi Ratna dipukuli, seolah ada pesan yang ingin disampaikan kepada publik bahwa dalam konteks politik, lawan Prabowo bersikap represif kepada perempuan paruh baya, dan hal itu bisa menimpa kepada siapa saja.
Kasus ratna ini tidak berdiri tunggal dalam konteks firehose of falsehood. Ada indikasi lain bahwa kubu Prabowo juga memproduksi berita serupa, yakni ketika mobil Neno Warisman diberitakan dibakar oleh seseorang dengan dugaan dilakukan oleh lawan politiknya – apalagi Neno adalah tokoh vokal dalam gerakan #2019GantiPresiden – namun klarifikasi dari pihak kepolisian menyebut bahwa mobil Neno terbakar karena adanya korsleting pada sistem kelistrikan mobilnya.
Kemudian hoaks soal rumah Mardani Ali Sera yang disebut dilempar bom Molotov, namun CCTV rumahnya tidak merekam kejadian tersebut.
Membentuk persepsi bahwa kubu Jokowi represif adalah salah satu tujuan dengan menggunakan teknik firehose of falsehood tersebut. Ratna dan sederet berita bohong lainnya patut diduga sebagai rangkaian dari framing kubu Prabowo.
Hati-Hati Jokowi!
Ditahannya Ratna Sarumpaet dan pemangilan Amien Rais oleh pihak kepolisian, menerbitkan narasi baru bahwa saat ini pemerintahan Jokowi tengah berlaku represif. Jokowi dianggap terlalu berlebihan dengan menggembosi kekuatan di kubu Prabowo.
Narasi semacam ini bisa jadi merupakan bagian dari upaya pembentukan persepsi dari kubu Prabowo untuk mengesankan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang represif – ciri-ciri yang entah mengapa selalu mereka identikan dengan komunisme.
Kegaduhan ini secara politik juga bisa merugikan Jokowi. Sebab publik saat ini terus menduga-duga aktor-aktor di balik Ratna, dan tidak menutup kemungkinan dugaan itu mengarah kepada pihaknya.
Apalagi pihak Prabowo sudah meminta maaf karena menjadi korban kebohongan Ratna. Maka pendulum pertanyaan itu akan mengarah kepada Jokowi.
Meski “bersih-bersih diri” kubu Prabowo masih menjadi perdebatan, tapi setidaknya hal itu adalah langkah yang jitu untuk memainkan bola panas Ratna Sarumpaet. Sebab pada dasarnya pesan paling penting dari teknik propaganda firehose of falsehood ini adalah kebohongan.
Semua orang terlibat dalam kebohongan. Kebenaran tidak menjadi hal penting. Yang paling penting adalah opini, dan opini merekalah yang paling layak untuk dipercaya. Karena mereka adalah kelompok yang memproduksi berita dengan memainkan peran sebagai korban. Maka, tak heran jika kata “korban” menjadi pelarian yang makin sering keluar dari kubu Prabowo. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A37)