HomeNalar PolitikFilosofi Xi Jinping Jadi Teladan PKS?

Filosofi Xi Jinping Jadi Teladan PKS?

Anies Baswedan, Sandiaga Uno, dan Rocky Gerung turut menghangatkan suasana nostalgia dalam peluncuran memoar politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera atas kemenangan sensasional koalisi PKS-Gerindra pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Lantas, adakah makna signifikan tertentu dari peluncuran memoar tersebut ketika bersentuhan dengan diskursus serta momentum politik yang tengah berkembang saat ini?


PinterPolitik.com

“Terlalu manis untuk dilupakan”. Kutipan lirik lagu berjudul “Terlalu Manis” milik Slank itu boleh jadi menjadi asumsi mendasar dari Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera saat menyusun dan meluncurkan sebuah memoar kemenangan koalisi partainya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 silam.

Mardani tampak menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan memoarnya yang memuat kilas balik perjuangan idealisme koalisi pemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Pilkada yang disebut-sebut sebagai pertarungan politik level daerah yang berlangsung sangat sengit itu.

Berlangsung secara virtual, peluncuran tersebut turut dihadiri Anies Baswedan, Sandiaga Uno, serta pengamat politik Rocky Gerung. Dan Mardani, sebagai representasi PKS, membawa konsep atmosfer nostalgia menyenangkan atas perjuangan sebuah pencapaian kemenangan yang terasa sangat manis.

Dan hal itu dirasa tak berlebihan memang. Bagaimana tidak, kala itu duet koalisi PKS bersama Partai Gerindra secara dramatis berhasil keluar menjadi pemenang, saat harus melawan dua kandidat lain dengan koalisi partai politik (parpol) yang lebih unggul secara kuantitas. Terlebih berlangsung dalam dua putaran yang menguras banyak energi.

Senada dengan analis politik lainnya, Kanupriya Kapoor dan Fergus Jensen dalam Indonesia Opposition-Backed Candidate May be Dark Horse in Jakarta Poll hanya melabeli duet Anies-Sandi sebagai kuda hitam karena harus melawan koalisi pemegang kekuasaan dengan tingkat survei elektabilitas yang tak pernah sekalipun terkalahkan sebelumnya.

Sosok Mardani, yang kala itu menjadi Ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi, beserta PKS secara umum kemudian menjadi subjek menarik untuk disoroti ketika mengangkat romansa kejayaan masa lalu di tengah momentum perguliran berbagai isu politik saat ini, termasuk yang mengarah pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Apalagi di belahan bumi lainnya, salah satu latar belakang kesukseksan progresivitas Tiongkok saat ini jamak dikatakan berasal dari glorifikasi atas kejayaan negeri itu masa lalu yang dinarasikan sedemikian rupa oleh Presiden Xi Jinping.

Lalu, apakah esensi serta signifikansi sesungguhnya di balik peluncuran memoar kemenangan Pilkada DKI Jakarta 2017 tersebut ketika disandingkan dengan momentum dan isu politik yang berkembang saat ini? Dan apakah manuver Mardani tersebut juga terinspirasi oleh Xi Jinping?

The Power of “Ruang Nostalgia”

Kader Gerindra Sandiaga Uno serta pengamat politik Rocky Gerung menyebut bahwa publikasi bertajuk “Memoar Pilkada DKI 2017: Memenangkan Anies-Sandi” itu merupakan bagian penting dari sejarah, baik dalam proses demokrasi maupun gambaran sebuah perjuangan idealisme yang berharga.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Dan pada titik ini, Mardani cukup jeli mengaktualisasikan nilai dominan dari konsep dokumentasi yang dibalut nuansa nostalgia kejayaan berbentuk memoar yang dapat menjadi deposit impresi positif, khususnya bagi PKS secara politik. Oleh karenanya pada dimensi berbeda, peluncuran memoar Mardani tersebut juga dapat dikatakan merupakan bagian dari “manuver” spesifik PKS.

Esensi di balik nostalgia itulah yang kiranya menjadi poin paling menarik. Edoardo Campanella dan Marta Dassù dalam buku mereka yang berjudul Anglo Nostalgia: The Politics of Emotion in a Fractured West menjelaskan konsep collective nostalgia atau nostalgia kolektif yang digunakan sebagai emotional weapon atau bisa dikatakan senjata yang menyerang aspek “emosional”.

Campanella dan Dassù juga menyebut bahwa collective nostalgia di ranah politik merupakan kekuatan konsolidatif signifikan yang acapkali menjadi strategi politik andalan yang bahkan juga digunakan oleh sederet pemimpin dunia.

Salah satu sampel yang disebutkan Campanella dan Dassù ialah Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Beriringan dengan kebangkitan dan ekspansi multi aspek Tiongkok di level global, terdapat faktor signifikan dari collective nostalgia yang ditanamkan oleh Xi Jinping.

Ya, Jinping menanamkan fundamental filosofis berupa nostalgia kejayaan Tiongkok sebagai bangsa besar berusia ribuan tahun dengan torehan kekuatan dan kejayaan historisnya.

Collective nostalgia itu terus dipenetrasikan melalui berbagai bentuk narasi hingga kebijakan, tak terkecuali melalui berbagai memoar terkait romansa nostalgia kejayaan, terutama dua kekaisaran terbesar Tiongkok di masa lalu yakni dinasti Ming dan Qing, sebagai inspirasi semangat persatuan bagi kemajuan kolektif rakyat Tiongkok di masa kini.

Kekuatan psikologis di balik sebuah nostalgia nyatanya memang tak bisa disepelekan jika berhasil diimplementasikan dengan paripurna. Seorang profesor psikologi Georgia Gwinnet College, David Ludden dalam The Psychology of Nostalgia menyebutkan bahwa pemaknaan atas nostalgia dapat membawa emosi positif kolektif yang menggugah seperti hadirnya kembali kepercayaan dan solidaritas kolektif serta optimisme.

Dan pada spektrum berbeda, memoar kemenangan Pilkada DKI 2017 yang digubah oleh Mardani Ali Sera juga dinilai kental dengan esensi dan upaya utilisasi kekuatan collective nostalgia seperti yang dilakukan Xi Jinping.

Lalu ketika berbicara mengenai intensi, Anies Baswedan pada kesempatan peluncuran malam kemarin juga mengatakan bahwa memoar tersebut tidak akan hanya akan bermanfaat bagi Mardani, melainkan juga bagi partainya.

Tak bisa dipungkiri memang ketika konteks proyeksi kemanfaatan yang dikemukakan Anies dinilai menggambarkan bahwa tujuan dari memoar tersebut juga terkait dengan eksistensi semangat kepercayaan dan solidaritas serta optimisme yang dimiliki sekaligus telah terbukti berhasil dimanifestasikan PKS menjadi kemenangan Anies-Sandi pada tiga tahun silam.

Lantas, kemanakah signifikansi politik dari utilisasi kekuatan collective nostalgia dalam memoar tersebut bermuara?

Jadi Garansi PKS?

PKS, sebagai satu-satunya partai yang jelas berlayar di luar arus utama, memiliki corak strategi politik yang berbeda bagi eksistensinya. Dan pada destinasi partai jangka panjang, partai yang dulunya bernama Partai Keadilan (PK) ini dinilai memiliki prospek positif.

Baca juga :  Soldiers and Politactical Gambit

Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh pengamat politik Universitas Padjajaran, Muradi yang menyebut bahwa PKS bisa berbicara banyak pada Pemilu 2024 mendatang, baik legislatif maupun Pilpres, dengan syarat dapat memaksimalkan tiga hal, yakni political endurancepolitical cost, serta delivery issue.

Terbitnya memoar kemenangan Pilkada DKI 2017 yang punya signifikansi collective nostalgia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dinilai menjadi salah satu bagian dari strategi delivery issue sekaligus ajang “promosi” political endurance PKS – sebagai parpol oposisi yang konsisten – pada isu-isu yang tengah berkembang belakangan ini, seperti timbang-menimbang siapa yang pantas maju pada Pilpres 2024.

Seperti yang jamak publik dengar dan di tengah semakin jamak dipertanyakannya kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tengah pandemi Covid-19, berbagai survei kandidat calon presiden idaman seolah muncul dan tak mempedulikan bahwa ajang Pilpres berikutnya masih terlalu dini untuk dibicarakan jika berkaca pada cairnya konstelasi politik.

Survei terakhir yang dilakukan Akurat Poll terkait Pilpres 2024 menasbihkan Prabowo Subianto sebagai kandidat terkuat yang disusul oleh beberapa nama lain seperti Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, hingga Agus Harimurti Yudhoyono.

Namun, meski memoar kemenangan Pilkada DKI 2017 juga terkait erat dengan soliditas PKS dan Gerindra, hal tersebut tak serta merta menjadi konklusi bahwa Prabowo-lah yang kembali akan didukung dan diusung PKS di 2024 kelak.

Tendensi tersebut tampaknya juga diperkuat oleh basis kekuatan elektoral spesifik PKS, yakni ceruk agamis, salah satunya melalui PA 212 yang telah tegas menyatakan sikap untuk tidak mendukung Prabowo jika diputuskan menjadi kandidat Capres 2024 mendatang.

Yang lebih dekat dan relevan justru Pilkada 2020, di mana dengan eksistensi memoar tersebut dinilai menjadi semacam “garansi” optimisme atas keunggulan pihak manapun yang didukung maupun berkoalisi dengan PKS. Juga, sebagai daya tarik tersendiri yang dapat menjadi salah satu variabel pertimbangan arah suara pemilih.

Namun secara umum, yang sejauh ini bisa dibaca dari esensi collective nostalgia atas memoar kemenangan Pilkada DKI 2017 tersebut baru sebatas konstruksi awal dari upaya memberikan impresi bahwa PKS merupakan parpol yang telah terbukti mumpuni dan patut diperhitungkan dengan keberhasilan perjuangan idealismenya.

Dan yang jelas, hadirnya memoar yang diluncurkan Mardani Ali Sera bisa dikatakan menjadi sebuah “strategi” representasi citra yang segar dalam perpolitikan Indonesia. Harapannya tentulah bahwa narasi idealisme positif bagi demokrasi yang dibawa tersebut tak sebatas retorika belaka dan dapat diaktualisasikan pula oleh parpol lainnya. Menarik untuk ditunggu kelajutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?