Dengarkan artikel ini:
Anies Baswedan dinilai bakal menjadi salah satu politikus yang paling “susah dimatikan” kariernya dalam beberapa waktu ke depan. Bagaimana Anies bisa bertahan tanpa jabatan politik?
“強い私は.” – Awakened Cockroach, One Punch Man (2012-sekarang)
Awakened Cockroach adalah salah satu karakter antagonis dalam anime One Punch Man yang mencuri perhatian karena keunikannya. Sebagai monster yang berwujud seperti kecoa humanoid, ia memiliki tubuh yang ramping, kaki panjang yang kuat, dan antena sensitif yang menambah kesan serangga raksasa.
Karakter ini dikenal sebagai lawan yang tangguh berkat kekuatan fisiknya yang luar biasa, refleks yang tajam, dan kecepatan super yang memungkinkannya menghindari serangan mematikan bahkan dari pahlawan kelas atas.
Kecepatan Awakened Cockroach menjadi senjata utamanya dalam bertahan hidup, mirip dengan kecoa di dunia nyata yang dikenal mampu bergerak sangat cepat untuk menghindari bahaya. Selain itu, daya tahan monster ini mencerminkan reputasi kecoa sebagai makhluk yang “sulit mati”—mampu bertahan dalam kondisi ekstrem dan tetap hidup meskipun mengalami luka berat.
Dalam pertarungannya melawan Genos, pahlawan cyborg dengan kekuatan destruktif tinggi, Awakened Cockroach berhasil bertahan cukup lama berkat kelincahannya yang luar biasa, meski akhirnya tewas.
Fenomena “kecoa” ini juga menarik jika dikaitkan dengan dinamika politik Indonesia, di mana beberapa figur politik tampak memiliki karakteristik serupa. Ada tokoh-tokoh yang mampu bertahan dari berbagai skandal, tekanan publik, bahkan gempuran lawan politik, seolah mereka memiliki kemampuan “kecoa” yang sulit ditumbangkan.
Dengan kelincahan mereka dalam beradaptasi dan daya tahan luar biasa menghadapi berbagai badai politik, mereka tetap eksis dan relevan di panggung kekuasaan. Siapakah “Awakened Cockroach” dalam politik Indonesia? Mengapa sosok ini bisa dibilang ‘kuat’?
“Awakened Cockroach” versi Indonesia?
Pada tahun 2014, seorang individu diangkat menjadi gubernur DKI Jakarta dan berhasil menjadi salah satu gubernur yang paling populer. Bahkan, dukungan besar untuknya terus mengalir bukan hanya dari Jakarta.
Sosok itu adalah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Ahok dinilai berhasil menjadi salah satu politikus yang paling berbeda dibandingkan politisi-politisi lainnya pada tahun 2010-an.
Menariknya, kunci kesuksesan Ahok adalah sikapnya yang selalu marah dan emosional terhadap berbagai isu. Ini membuatnya berbeda dengan politisi-politisi lainnya yang hanya bersikap sopan tetapi kerap menyembunyikan sesuatu (misal penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan) dari publik.
Mengacu pada tulisan Michael Hatherell dan Alistair Welsh yang berjudul “Rebel with a Cause: Ahok and Charismatic Leadership in Indonesia”, ini menciptakan dikotomi antara Ahok dan para politisi lainnya, membuat dirinya menjadi politikus yang didamba-dambakan publik.
Dengan cara ini juga, Ahok berhasil menyajikan dirinya sebagai politikus bersih yang selalu siap melawan tindakan-tindakan penyelewengan dengan “emosi” dan keberanian. Sementara, politisi-politisi lain adalah politisi yang “kotor” dan hanya “menyedot” apa yang dimiliki masyarakat dan negara.
Persona Ahok ini juga yang akhirnya dinilai membuatnya memiliki apa yang disebut Max Weber sebagai charismatic leadership, sebuah konsep yang merujuk pada kemunculan otoritas dari seseorang melalui dinamika kepribadian yang unik dan/atau serangkaian nilai yang mampu melahirkan kepatuhan (devotion) dari kelompok.
Ahok punya dua hal itu, yakni kepribadian unik dan serangkaian nilai yang diajarkan. Dalam hal kepribadian unik, sifat ceplas-ceplos-nya ini membuatnya menjadi politikus yang berbeda. Dalam hal nilai, Ahok kala itu juga merepresentasikan nilai akuntabilitas sebagai pejabat dan politisi.
Namun, Ahok kini bukanlah sosok yang memiliki potensi sebesar dulu. Setidaknya, karena berbagai faktor, Ahok tidak memiliki karier politik yang secemerlang dahulu.
Bisa jadi, kini muncul sosok “Awakened Cockroach” lainnya yang mampu memiliki kekuatannya sendiri dalam dinamika politik saat ini. Lantas, siapakah sosok politikus tersebut? Mengapa individu tersebut bisa menjadi “Awakened Cockroach” selanjutnya?
Anies Baswedan = “Awakened Cockroach”?
Bukan tidak mungkin, terdapat beberapa sosok yang berusaha menghadirkan cara yang sama seperti yang dilakukan Ahok pada dasawarsa 2010-an. Salah satu sosok itu adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Mantan lawan politik Ahok ini setidaknya menyajikan hal yang membedakan dirinya daripada para politisi lain. Di tengah persepsi publik terhadap para politisi yang tidak akuntabel (seperti dengan mengubah peraturan agar bisa memenuhi kepentingan politik), Anies justru menyajikan persona yang berbeda.
Beberapa waktu lalu saat Hari Ibu pada 22 Desember 2024, misalnya, menjadi salah satu momen ketika Anies menyajikan keunikan personanya. Saat dirinya dipertanyakan soal penggunan kecerdasan buatan (AI) dalam unggahan ucapan selamat hari ibu, Anies justru mengkooptasi kritik dan pertanyaan tersebut.
Bahkan, ketika kebanyakan pejabat lainnya justru lebih menghapus atau menyembunyikan kesalahannya ketika ketahuan oleh publik, Anies justru membiarkan unggahannya untuk tetap dapat diakses di dunia maya. Anies-pun bahkan mengatakan bahwa kesalahan itu dibiarkan agar menjadi evaluasi bersama.
Persona Anies ini juga banyak ditemukan di momen-momen lainnya. Di saat politisi lainnya kerap melakukan blunder dan cenderung tidak akuntabel, Anies menyajikan branding yang berbeda dan unik di persepsi publik.
Bukan tidak mungkin, Anies bisa memiliki charismatic leadership seperti yang disebutkan Weber. Dua hal yang disebutkan di atas, yakni kepribadian unik dan serangkaian nilai yang diajarkan, juga bisa dibilang telah dimiliki Anies.
Well, bukan tidak mungkin, Anies bisa menjadi “Awakened Cockroach” yang kuat sehingga sulit terkalahkan oleh lawan-lawan politiknya dalam beberapa tahun ke depan. Namun, layaknya Awakened Cockroach dalam anime One Punch Man, ketangguhannya juga memiliki batasan.
Bila karakter asli di anime bisa kalah dengan karakter lain bernama Genos, lantas mungkinkah Anies bernasib sama di kemudian hari nanti? Itu semua kembali ke bagaimana Anies nanti bermanuver dalam bernavigasi di dinamika politik Indonesia yang semakin menjadi belantara baginya. (A43)