Dengarkan artikel ini:
Serial Avatar: The Last Airbender (2024-sekarang) akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Mengapa Prabowo Subianto perlu belajar dari sosok Avatar Aang bila sudah menjadi presiden Indonesia nanti?
“The world needs you now. You give people hope” – Katara, Avatar: The Last Airbender (2005-2008)
Dunia penuh dengan peperangan. Banyak nyawa, anak-anak dan perempuan, harus melayang karena kepentingan para pemimpinnya.
Sudah jelas dunia membutuhkan perdamaian, yang mana dinanti-nantikan oleh setiap individu. Hidup yang damai bisa membuat rakyat biasa bekerja dengan aman dan nyaman untuk mencari sesuap nasi.
Setidaknya, ada satu sosok yang bisa membawa kembali perdamaian. Sosok itu adalah sang Avatar. Namun, ketika dunia membutuhkannya, dia menghilang.
Untung saja, Netflix baru-baru ini telah mengembalikan sang Avatar dengan merilis serial barunya yang berjudul Avatar: The Last Airbender (2024-sekarang). Setelah ratusan tahun membeku, Avatar Aang kembali beraksi dengan pengendalian berbagai elemen, yakni air, udara, tanah, dan api.
Negara Api telah melakukan genosida terhadap negara Udara. Sementara, negara Air mulai diluluhlantakkan, khususnya di belahan selatan. Di sisi lain, meski masih punya kekuatan besar, negara Tanah mulai kewalahan menghadapi negara Api.
Sebagai Avatar, Aang mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan dunia. Aang harus mendamaikan negara-negara yang berperang akibat invasi yang dilancarkan oleh negara Api.
Tanggung jawab Aang untuk menjadi penyeimbang dunia ini bukan tidak mungkin merefleksikan situasi politik di dunia nyata, khususnya politik antarnegara. Apalagi, kekuatan-kekuatan besar juga saling berebut pengaruh, misal Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Situasi semakin parah ketika dua negara besar ini memilih kawasan Asia Tenggara sebagai tempat perebutan pengaruh mereka. Salah satunya-pun disebut terjadi di Indonesia, yang mana telah memilih presiden baru, Prabowo Subianto, bila didasarkan pada hasil hitung cepat dan hasil hitung resmi sementara.
Bukan rahasia lagi bahwa negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menginginkan agar dua negara ini tidak memiliki kekuatan yang dominan di kawasan. Kebijakan yang sama diprediksi juga akan dijalankan oleh Prabowo dalam pemerintahannya nanti.
Lantas, mengapa Prabowo perlu “meniru” jalan dan filosofi Avatar? Mampukah Prabowo menjadi “penyeimbang kekuatan” layaknya Avatar Aang?
Perjuangan Politik Avatar Aang
Meski mulanya franchise Avatar dimulai dari kartun yang ditayangkan di televisi, alur kisah dari franchise satu ini sangatlah kental dengan politik. Di dalamnya, terdapat entitas-entitas negara yang saling berperang dan memiliki kepentingan masing-masing.
Tentunya, dinamika politik antarnegara seperti ini sedikitnya bisa dijelaskan dengan menggunakan teori dan perspektif dalam studi Hubungan Internasional (HI). Setiap negara memiliki kedaulatan yang bisa diejawantahkan dalam bentuk politik luar negeri (foreign policy).
Negara Api, misalnya, merefleksikan sebuah negara yang memiliki kecenderungan ekspansionis. Dengan senjata yang kuat, yakni api, keseimbangan kekuatan (balance of power) menjadi berat sebelah.
Ini bisa dibilang membuat negara Api menjadi hegemon terhadap negara-negara lainnya. Padahal, layaknya anarki internasional di dunia nyata, tidak ada otoritas utama yang bisa mengatur negara-negara ini – apalagi ketika Avatar absen dari dunia.
Hilangnya Avatar dari dunia bisa menjadi pemicu peperangan terjadi. Ini akan berdampak pada perubahan keseimbangan kekuatan.
Asumsi ini sejalan dengan penjelasan John J. Mearsheimer dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Power Politics. Menurunnya kekuatan hegemon dinilai akan membawa ketidakstabilan.
Mengapa kehadiran hegemon bisa jadi sangat krusial? Dengan adanya hegemon, entitas yang dominan ini akan menjaga prinsip dan tatanan internasional ditegakkan. Mengacu pada teori stabilitas hegemonis, stabilitas-pun akhirnya terjaga.
Dalam dunia Avatar, Aang-lah yang harusnya menjadi penerap tatanan itu. Namun, ketika sang hegemon hilang, entitas-entitas negara yang “kelaparan” akan dominansi akan memaksimalkan kekuatannya – sejalan dengan apa yang dijelaskan Mearsheimer dalam bukunya.
Lantas, apa hubungannya dengan situasi politik antarnegara di dunia nyata? Mengapa sosok “Avatar” juga diperlukan di dunia nyata, khususnya di kawasan-kawasan yang menjadi titik panas persaingan antar-kekuatan besar?
Prabowo Jadi “Avatar”?
Tidak dipungkiri bahwa dunia kini mengarah pada multipolaritas kekuatan, di mana tidak ada satu negara adidaya yang paling dominan untuk menjadi hegemon. Dalam situasi ini, ketidakstabilan bisa saja semakin memungkinkan terjadi.
Ketidakstabilan adalah salah satu hal yang paling dihindari oleh banyak negara, khususnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Apalagi, sejumlah titik menjadi titik panas antara AS dan Tiongkok, seperti Laut China Selatan (LCS) dan Taiwan.
Dengan ketidakstabilan ini, negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bisa saja dirugikan. Kepentingan nasional negara-negara ini juga menjadi terancam.
Mungkin benar Association of South-East Asian Nations (ASEAN) menerapkan prinsip-prinsip internasional seperti Treaty of Amity and Cooperation melalui konsep ASEAN Centrality. Namun, prinsip ini bisa saja diabaikan begitu saja oleh negara-negara sekitar, seperti Australia yang memperkuat militernya dengan kapal selam nuklir bersama Britania (Inggris) Raya dan AS.
Lantas, bagaimana caranya agar prinsip dan nilai internasional yang dimiliki tersebut bisa dihormati oleh negara-negara lain yang berkepentingan di kawasan Asia-Pasifik ini? Apa yang dilakukan oleh Avatar Aang agar negara-negara di dunianya mendengarkannya?
Jawabannya adalah dengan menjadi lebih kuat dan menguasai berbagai elemen lainnya, mulai dari air, tanah, dan api. Ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Mearsheimer, yang mana negara perlu menjadi hegemon regional untuk menciptakan stabilitas di kawasannya.
Ini mengapa Prabowo dalam beberapa kesempatan, seperti dalam debat Pilpres 2024, mengatakan bahwa Indonesia perlu memimpin di tingkat internasional. Caranyapun mirip dengan apa yang dilakukan Aang, yakni dengan memaksimalkan kekuatan Indonesia di tengah anarki internasional.
Dengan menjadi hegemon kawasan, Indonesia bukan tidak mungkin bisa menerapkan prinsip dan nilai ala ASEAN sehingga mampu menjaga stabilitas. Keseimbangan kekuatan di kawasan Asia-Pasifik-pun bisa saja tercapai.
Well, pada akhirnya, memang ada beberapa hal yang paralel antara dunia nyata ini dengan dunia Avatar. Nanun, kesamaan ini bukanlah seratus persen sehingga dinamikanyapun juga berbeda.
Namun, situasi paralel ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah selanjutnya menjalankan kebijakan luar negerinya bila ingin mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)