Film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso tengah membelah opini publik. Berbagai pihak mendukung Jessica dibebaskan karena tidak terdapat bukti terkait kapan dan bagaimana Jessica menaruh bubuk sianida ke kopi Mirna Salihin. Lantas, mungkinkah film Ice Cold menjadi pintu atas kebebasan Jessica?
PinterPolitik.com
Film dokumenter garapan Netflix, Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso telah melahirkan perdebatan sengit. Film itu membangkitkan memori publik soal kasus pembunuhan Mirna Salihin pada 2016 lalu.
Publik sekarang terpecah. Banyak pihak mengatakan Jessica Wongso harus dibebaskan karena tidak terdapat bukti kuat terkait kapan dan bagaimana bubuk sianida ditaburkan ke gelas kopi Mirna.
Ada pula pengakuan ahli forensik, dr. Djaja Surya Atmadja yang mengaku janggal dengan dugaan Mirna tewas karena sianida. Kita dapat menemukan berbagai berita dan siniar yang memuat hal ini.
“Logikanya kalau ada sianida dalam kadar besar, terus kemudian jadi kecil, itu mungkin masuk di akal. Tapi kalau tidak ada kemudian jadi ada, itu kan tanda tanya. Dari mana?,” ungkap dr. Djaja di siniar Dr. Richard Lee yang tayang pada Sabtu, 7 Oktober 2023.
Well, kita tidak membahas muatan film Ice Cold. Kita tidak tahu, apakah Jessica membunuh Mirna atau tidak. Mungkin hanya Jessica yang tahu itu. Yang jelas, film Ice Cold memberi dampak sosial yang luar biasa.
Ini adalah bukti bagaimana media – tepatnya film – dapat membentuk realitas di tengah masyarakat. Film Ice Cold membuat banyak pihak berpikir: “oh iya ya, buktinya tidak kuat”.
Media si Pembentuk Realitas
Apa yang terjadi akibat film Ice Cold adalah salah satu contoh dari kekuatan media dalam membentuk realitas. Contoh lainnya yang juga begitu kontroversial adalah film G30S/PKI yang tayang pada tahun 1984.
Selama puluhan tahun, film itu menciptakan kebenaran tunggal bahwa terjadi penyiksaan terhadap para jenderal sebelum dilempar ke lubang buaya. Setelah kejatuhan Orde Baru, khususnya saat ini ketika akses informasi telah begitu mudah, muncul gelombang ketidakpercayaan terhadap kebenaran film G30S/PKI.
Film itu dinilai hanyalah propaganda Orde Baru. Berbagai pihak membantah klaim bahwa telah terjadi penyiksaan terhadap para jenderal yang menjadi korban.
***
Kekuatan media, seperti film, sebagai pembentuk realitas telah lama menjadi perhatian. Pada tahun 1972, misalnya, McCombs dan Shaw mempopulerkan Teori Agenda Setting yang menunjukkan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk menentukan agenda publik dengan menentukan berita apa yang diberitakan secara mendalam.
Dengan mengekspos isu-isu tertentu secara berulang, media mengarahkan perhatian masyarakat ke isu-isu tersebut, yang pada gilirannya membentuk opini publik. Misalnya, ketika media memberikan perhatian besar pada isu perubahan iklim, isu tersebut menjadi fokus perdebatan publik.
Dalam studi filsafat, khususnya ontologi, kita dapat lebih mengerti kenapa media dapat memiliki kekuatan untuk membentuk realitas. Pada dasarnya, realitas yang dipahami atau ditangkap adalah bundelan informasi.
Misalnya, berbagai informasi tentang Kota Bandung yang kita ketahui, kemudian kita simpulkan sebagai Kota Bandung. Jika informasi yang kita miliki mengatakan Kota Bandung berada di Jawa Timur, kita akan mengatakan bahwa memang benar Kota Bandung berada di Jawa Timur.
Kita baru sadar realitasnya salah setelah mendapatkan informasi yang membantahnya. Dalam perjalanannya, kita ternyata mendapatkan informasi baru bahwa Kota Bandung sebenarnya berada di Jawa Barat.
Jessica Bisa Bebas?
Film Ice Cold ini menjadi begitu menarik karena tidak hanya mengundang perdebatan publik, melainkan juga hipotesis bahwa Jessica bisa dibebaskan. Pengacara senior Hotman Paris, misalnya, mengeluarkan ide agar Jessica mendapat grasi atau pengampunan dari Presiden Jokowi.
Menurut Hotman, satu-satunya cara untuk membebaskan Jessica adalah mengajukan grasi ke Presiden karena pintu pengadilan sudah ditutup.
Dengan tidak adanya bukti kuat terkait kapan dan bagaimana Jessica menaruh sianida, Hotman mengutip Pasal 183 KUHAP, yakni “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Tegas Hotman Paris, dalam kasus Jessica, keyakinan hakim justru mendahului dua alat bukti yang sah karena keyakinan hakim berdasarkan bukti tidak langsung yang multitafsir.
“Hotman sendiri tidak tahu apa kamu bersalah atau tidak. Tidak ada yang tahu. Hanya Jessica yang tahu. Tapi, menurut undang-undang Pasal 183 KUHAP, apabila belum cukup bukti maka hakim harus bebasin,” tulis Hotman Paris pada 9 Oktober 2023.
***
Well, entah bagaimana kelanjutannya, film Ice Cold telah membuka kesadaran kolektif publik atas kasus Jessica.
Jika ide Hotman Paris soal grasi benar-benar dilakukan, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa film Ice Cold telah menjadi pintu atas kebebasan Jessica. Kita lihat saja. (R53)