Site icon PinterPolitik.com

Ferdy Sambo Dikorbankan Demi Kapolri?

ferdy sambo

Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri dan tersangka pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo. (Foto: Viva)

Penanganan kasus penembakan di Duren Tiga tampak berjalan melambat atau antiklimaks saat Brigadir J seolah tersudut dengan skenario kasus pelecehan seksual. Di sisi lain, tersangka Ferdy Sambo juga agaknya menjadi pihak yang harus “dikorbankan” dalam pusaran kasus ini. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Jika digambarkan dengan sebuah kurva, penanganan kasus penembakan Brigadir J dengan tersangka Ferdy Sambo seolah melandai atau cenderung antiklimaks.

Itu setelah sorotan media dan publik seakan diarahkan kepada skenario pelecehan seksual yang dialami Putri Candrawathi, istri Sambo.

Padahal, Brigadir J sebagai terduga pelaku pelecehan dalam skenario ini tidak dapat melakukan pembelaan apapun karena telah kehilangan nyawa. Keberadaan saksi yang memenuhi asas proporsionalitas pun nihil dalam isu pelecehan seksual ini.

Ditambah, menurut Profesor Gayus Lumbuun dalam seminar nasional bertajuk “Bisakah Ferdy Sambo Bebas?” yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS), alasan sakit hati atas pelecehan seksual juga tidak bisa dijadikan pembelaan Sambo di pengadilan.

Menurut Profesor Gayus, tidak ada aturan hukum yang mengakomodasi klaim subjektif seorang tersangka. Selain itu, belum ada yurisprudensi yang turut membenarkan alasan sakit hati sebagai faktor yang meringankan hukuman.

Apalagi, isu yang menggelinding liar tidak hanya mengarah pada pembunuhan berencana, tetapi juga isu lampiran yang mengiringinya dan cukup dikenal publik dengan “konsorsium 303”.

Lampiran itu sendiri menjadi titik kulminasi sorotan publik dan media massa, khususnya setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD turut angkat bicara.

Akan tetapi, skenario-skenario lanjutan yang hadir kiranya membuat kurva tersebut melandai. Mulai dari baku tembak yang terbukti keliru, klaim pelecehan seksual yang sukar dibuktikan, hingga isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Deretan skenario itu sekaligus tampak memperkeruh fokus penanganan aparat penegak hukum dalam tahapan awal di Kepolisian. Meskipun, ironisnya ada skenario yang berasal dari Kepolisian sendiri.

Lantas, mengapa penanganan kasus Ferdy Sambo seolah berjalan melambat?

Momentum Sudutkan Kapolri?

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Kasus Sambo, Mengapa DPR Tidak Garang? telah dijabarkan bahwa nuansa politik cukup kental mengiringi perkembangan kasus sejauh ini.

Tengok saja sejumlah pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang tampak menyimbolkan ambiguitas, misalnya dengan mengatakan kasus hanya boleh didengar oleh orang dewasa, adanya mabes di dalam mabes, hingga curhat soal seorang bintang tiga yang akan mundur jika Ferdy Sambo tidak dijadikan tersangka.

Perkembangan kasus memaksa Komisi III DPR bertanya kepada Mahfud dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di mana dia hadir sebagai Ketua Kompolnas ex officio. Akan tetapi, Mahfud bersikukuh dirinya berhak untuk tidak menjelaskan pernyataannya.

Sebelumnya, Komisi III DPR juga memberikan gestur menarik ketika memberi dukungan moril kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam agenda RDP kasus Sambo.

Sederet sokongan itu lantas menjadi titik tolak jawaban pertama soal tendensi penanganan hukum kasus Ferdy Sambo tampak melambat, yakni soal kemungkinan intrik bernuansa politis.

Ya, dukungan dan campur tangan elemen penting negara seperti Komisi III DPR, Menko Polhukam Mahfud MD, hingga Presiden Jokowi menguak satu pertanyaan. Siapa sesungguhnya pihak yang sedang dihadapi Kapolri Listyo Sigit dalam pengungkapan kasus Sambo?

Kemungkinan adanya intrik politik – plus hukum – dalam kasus ini sendiri juga dapat berangkat dari sebuah realitas yang menariknya dikemukakan sendiri oleh Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia.

Mengacu pada keterkaitannya dengan politik, hukum sering kali menjadi pelayan atau berposisi subordinat.

Dalam bab “Pengaruh Politik Terhadap Hukum”, Mahfud secara gamblang menyebut politik kerap menjadi independent variable (variabel berpengaruh), sedangkan hukum berperan sebagai dependent variable (variabel terpengaruh).

Dari situ kemudian dapat dipahami, hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing satu sama lain.

Persaingan itu disiratkan oleh Ahmad Khoirul Umam dalam Understanding the influence of vested interests on politics of anti-corruption in Indonesia, yakni berasal dari adanya tarik-menarik vested interest yang memiliki pengaruh besar dalam fungsi-fungsi politik dan pemerintahan di tanah air.

Kemungkinan kedua mengenai impresi melandainya kurva penanganan kasus Sambo kiranya tak bisa dilepaskan dari eksistensi kepentingan dua aktor kuat yang saling bertolak belakang.

Landasan probabilitas itu berasal dari indikasi dua kutub dalam setiap intrik kasus Sambo. Termasuk pihak-pihak yang menjadikan kasus Sambo sebagai momentum emas untuk mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo mundur dari jabatannya, dan mereka yang justru menginginkan eks-Kabareskrim untuk tetap fokus.

Terlebih lagi, nama-nama lain seperti mantan Kapolri Jenderal Pol. (Purn.) Tito Karnavian juga turut terseret seiring kian liarnya bola panas kasus Sambo.

Boleh jadi memang ada yang berniat membongkar kasus Sambo sejelas-jelasnya, namun di sisi lain ada pihak yang menginginkan sebaliknya.

Hal tersebut mengacu dari angka keterlibatan anggota Polri dalam kasus ini yang cukup banyak. Terakhir, 97 anggota tercatat telah diperiksa, yang mana 35 diantaranya terlibat pelanggaran kode etik. Angka tersebut terbilang besar, dan menimbulkan pertanyaan lanjutan, apakah hanya sekadar oknum atau gerombolan yang saling terkait?

Indikasi itu juga diperkuat dengan dua pernyataan Mahfud mengenai keberadaan mabes di dalam mabes dan sosok bintang tiga di Korps Bhayangkara yang “mengancam” mundur apabila Ferdy Sambo tidak dijadikan tersangka.

Selain itu, terdapat satu kemungkinan menarik mengenai kesan melambatnya penanganan kasus Sambo. Apakah itu?

Wajib Lokalisir Sambo?

Mundurnya penegakan hukum menjadi kemungkinan terakhir yang bisa saja menimbulkan antiklimaks kasus Sambo. Istilah yang juga dapat disebut sebagai regresi hukum atau hukum yang regresif seolah timbul ketika kasus ini direfleksikan secara teoretis dan ideal.

Selain tiga asas hukum ideal yang dikemukakan filsuf hukum asal Jerman Gustav Radbruch, yakni asas kepastian hukum (rechtmatigheid), asas keadilan hukum (gerechtigheid), dan asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid), hukum juga wajib bekerja secara progresif.

Dr. Achmad Rifai dalam buku berjudul Menggapai Keadilan dengan Hukum Progresif menyebut istilah hukum progresif pertama kali dikemukakan oleh Profesor Satjipto Rahardjo pada tahun 2002.

Jika dielaborasi, hukum progresif bermakna hakikat hukum harus memiliki pertanggungjawaban terhadap masyarakat. Tak hanya itu, esensi penting dari hukum haruslah mengejar terciptanya keadilan secara terus-menerus atau berkesinambungan.

Maka dari itu, melandainya kurva kasus Sambo – terlebih muncul skenario Brigadir J justru disudutkan kasus pelecehan – membuka penafsiran bahwa penegakan hukum seolah berjalan mundur atau regresif.

Dalam agenda seminar nasional “Bisakah Ferdy Sambo Bebas?”, Profesor Otto Hasibuan menyebutkan selama ini penegakan hukum, media massa, dan masyarakat seolah saling terbawa satu sama lain oleh skenario-skenario yang kebenarannya masih “abu-abu”.

Skenario pertama, misalnya, soal baku tembak, dihembuskan sendiri oleh Polri yang muaranya terbantahkan oleh proses hukum akibat respons elite dan khalayak luas yang muncul.

Menurut Profesor Otto, skenario yang saat ini diyakini oleh berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum, bisa saja berubah di kemudian hari mengingat dinamika yang masih terus bergulir.

Dengan kata lain, dibutuhkan solusi yang benar-benar akan mengurai kasus secara tepat sehingga tidak terjadi distorsi pengungkapan kasus yang tercermin dari skenario-skenario tersebut.

Oleh karena itu, Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik menganalisis bahwa pengungkapan kasus semestinya dilokalisir dengan berfokus kepada sosok Sambo dan sebaiknya tidak dikenakan kepada jaringan atau orang-orang yang ditengarai menyokong sang mantan Kadiv Propam.

Langkah itu kiranya harus diutamakan demi dua hal penting, yaitu untuk mencegah politik membaur dengan hukum dan untuk keutuhan institusi Polri itu sendiri.

Dalam teori hukum law as a tool of social engineering dari Nathan Roscoe Pound, hukum adalah alat yang berperan mengubah dan mengatur nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, Polri agaknya wajib berhati-hati untuk mengungkap kasus ini, dengan semangatnya tetap berada di koridor melokalisir Ferdy Sambo.

Semangat tersebut juga harus dipegang oleh elemen penegak hukum lainnya, baik Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga hakim di ranah pengadilan nantinya. Tentu untuk bertindak bijaksana demi kebaikan dan keutuhan institusi Polri. (J61)

Exit mobile version