Kata Kunci Siskaeee menjadi trending Twitter sebanyak dua kali di awal bulan ini. Secara otomatis, publik banyak memperbincangkan fenomena Siskaeee ini. Bagai warganet yang telah lama berkecimpung di Twitter, Siskaeee bukanlah nama baru. Lantas, kenapa baru sekarang Siskaee dijerat oleh hukum?
Jagad Twitter pada awal Desember dibuat heboh dengan trending Siskaeee yang muncul sebanyak dua kali. Kemunculan pertama saat Siskaeee memamerkan bagian tubuhnya di Bandara Internasional Yogyakarta (BIY). Trending kedua Siskaeee muncul setelah berita dirinya ditangkap pihak kepolisian di stasiun Bandung.
Bagi warganet yang dalam kesehariannya aktif di Twitter pasti tidaklah asing dengan nama Siskaeee, ciri dari nama ini biasanya dengan embel-embel “yang E-nya tiga”. Berulangkali dirinya menggungah konten syur.
Berdasarkan keterangan psikolog yang dimintai keahliannya untuk mewawancarai tersangka, dikatakan bahwa perbuatan tak senonoh didorong trauma masa lalu. Hal ini dipertegas oleh AKBP Roberto Pasaribu, Direskrimsus Polda DIY, yang mengatakan ada motif dorongan seksual ketika melihat sesuatu hal yang menurut tersangka menarik, baik orang, tempat, dan waktu.
Jika kita telisik, Siskaeee telah mendapatkan banyak keuntungan dari aksinya tersebut. Dalam sebulan, Siskaeee disebut mengumpulkan pendapatan di atas Rp20 juta dan angka itu bisa ditarik ketika mendapatkan akumulasi sebesar US$500.
Keterangan dari Polisi, pendapatan kotor tersangka sejak 2 Maret 2020 hingga 6 Desember 2021, sebesar Rp2,1 miliar, sedangkan pendapatan bersih Rp 1,7 miliar. Selain untuk memperoleh uang, disebutkan motif Siskaeee melakukan tindakan melawan hukum itu juga untuk memenuhi kepuasan seksualnya.
Apa yang dilakukan oleh pemilik akun Siskaeee adalah manifestasi nyata tentang pornografi dan seksualitas yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Lantas, dampak sosial apa yang terjadi dari fenomena Siskaeee ini?
Meraba Dampak Sosial
Manuel Castells dalam tulisannya The Power of Identity, menguraikan tentang masyarakat jaringan, sebuah sistem masyarakat yang lahir dari arus informasi dan teknologi yang saat ini berkembang pesat. Perkembangan informasi dan teknologi ini bukan tanpa cacat menurut Castells, ada dampak negatif dari terbentuknya masyarakat jaringan, yaitu konsekuensi perubahan budaya.
Dalam masyarakat jaringan yang dinamis, timbul konsekuensi budaya yang berdampak negatif kepada masyarakat yang disebabkan oleh perubahan teknologi, seperti konten dalam jaringan internet yang menyimpang dari budaya, misalnya pornografi.
Hal ini terlihat dari fenomena Siskaeee yang menjadikan platform Only Fans dan Twitter sebagai sarana baru eksistensi sekaligus mendapatkan uang.
Alih-alih menjadi dunia baru yang di dalamnya informasi dan teknologi berkembang, serta menjadi pelengkap kebudayaan luhur manusia, malah sebaliknya, arus dari perkembangan informasi dan teknologi melemparkan kita untuk menerobos nilai dan norma budaya.
Antony Giddens dalam tulisannya Runaway World, menjelaskan, diterabasnya nilai dan norma budaya terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Manusia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan.
Arus informasi memang membuat manusia bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau tidak cocok. Pada titik ini, Giddens tiba pada kesimpulan tentang Runaway World. Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah ke mana – dunia yang tak tentu arah. Giddens memakai metafor Juggernaut (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan.
Dampak yang ditakutkan dari fenomena Siskaeee salah satunya yaitu efek demonstratif yang dilakukan oleh penonton. Hal ini di jelaskan oleh Thorstein Veblen dalam teorinya mengenai demonstration effect.
Demonstration effect adalah pemikiran Veblen yang berkaitan dengan media, yaitu bagaimana media dapat membawa efek percontohan sehingga individu atau masyarakat yang melihatnya dapat menirunya.
Oleh karenanya, fenomena Siskaeee harus ditanggapi dengan sigap oleh penegak hukum. Penegak hukum dapat menjadikan kondisi terganggunya ketertiban umum menjadi indikator hukum pidana untuk menjerat apa yang telah dilakukan oleh Siskaeee.
Entah apapun alasan viralnya video asusila yang dilakukan dengan latar belakang sarana publik ikonik, tentu saja membuat gaduh dan jika dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku, maka unsur delik pidana bisa terpenuhi.
Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa baru sekarang? Sedangkan Siskaeee bukanlah orang baru di jagad media pornografi. Lantas, muncul pertanyaan, kenapa penegak hukum terkesan selalu terlambat mencium sebuah tindak pidana?
Problem Penegakan Hukum
Alfan Birolia dalam tulisannya Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, mengatakan, kita tidak dapat menjelaskan tentang efektivitas hukum tanpa membicarakan lebih dahulu tentang hukum dalam tataran normatif (law in books) dan hukum dalam tataran realita (law in action). Tanpa membandingkan kedua variabel ini adalah tidak mungkin untuk mengukur tingkat efektivitas hukum.
Birolia meminjam pemikiran Donald Black yang berpendapat bahwa efektivitas hukum adalah masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara memperbandingkan antara realitas hukum dalam teori, dengan realitas hukum dalam praktek sehingga tampak adanya kesenjangan antara keduanya.
Hukum yang efektif adalah hukum yang sesuai dengan peraturan yang telah dibuat dalam undang-undang, dan hukum yang sesuai dengan harapan atau cita-cita dari masyarakat. Manakala dengan adanya hukum tersebut akan menjadikan keteraturan sosial dalam masyarakat.
Selain itu, kekhawatiran terhadap krisis kesigapan penegakan hukum dapat meminjam konsep Thomas Robert Malthus, yang biasanya digunakan dalam ilmu ekonomi tentang kesenjangan deret ukur dan deret hitung. Bahwa laju pertambahan kejahatan meningkat berdasarkan deret ukur, sedangkan kesigapan penegak hukum berdasar deret hitung.
Deret ukur dalam pemahaman Malthus diartikan sebagai terjadinya peningkatan berdasar kelipatan yakni: 1, 2, 4, 8, dan seterusnya. Sedangkan deret hitung menjelaskan bahwa peningkatan terjadi berdasar penambahan tetap dengan angka variabel penambah 1, yakni 1, 2, 3, 4 dan seterusnya.
Fenomena eksibisionis Siskaeee, membuktikan berlakunya gejala yang disinggung di atas. Video Sikaeee sudah lama viral, tapi penegak hukum terlihat baru bergerak sekarang. Terlihat bahwa penegak hukum lambat merespons kejadian di tengah masyarakat, sebuah kesan yang memperlihatkan bahwa penegak hukum akan cepat, jika permasalahannya sudah viral di media sosial.
Hukum dibuat untuk mengatur tingkah laku manusia yang pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan, manusia yang membuat aturan dan manusia juga yang dapat merubah tatanan undang-undang dalam hukum. Hukum yang berada di negara Indonesia ini masih menunjukkan adanya ketidakefektifan dalam penegakannya.
Kasus Siskaeee layaknya fenomena gunung es, masih banyak kasus serupa yang menuntut kecepatan dan pengetahuan lebih penegak hukum.
Sebagai penutup, fenomena Siskaeee jangan dianggap fenomena biasa, melainkan fenomena yang menunjukkan terdapat kegagapan penegakan hukum menghadapi arus teknologi informasi yang begitu cepat. Harus ada adaptasi yang luar biasa untuk menjawab persoalan ini. (I76)