HomeNalar PolitikFenomena NFT, Momentum Kegilaan Kapitalisme?

Fenomena NFT, Momentum Kegilaan Kapitalisme?

Selain terlanda varian Omicron, Indonesia terpapar pandemi NFT. Setelah Ghozali Everyday berhasil mendapatkan keuntungan miliaran rupiah dari menjual konten digital, banyak orang, termasuk pejabat ikut mencoba peruntungan NFT. Apakah ini adalah hal yang positif, atau justru perlu dikritisi? 


PinterPolitik.com 

Siapa yang tidak ingin mendapatkan uang dengan jumlah melimpah, namun tidak perlu bersusah payah terlebih dahulu? Pertanyaan seperti itu mungkin yang muncul di benak banyak orang setelah viralnya kabar tentang seorang mahasiswa asal Universitas Dian Nuswantoro yang bernama Sultan Gustaf Al Ghozali, yang tiba-tiba saja menjadi seorang miliarder.  

Melalui akunnya yang bernama Ghozali Everyday di OpenSea, sebuah platform pasar non-fungible token (NFT), Ghozali diperkirakan berhasil meraup keuntungan sebesar Rp 14 miliar dari hasil penjualan 933 swafoto dirinya. 

Tentu berita ini membuat banyak orang “latah”. Bermunculan kabar tentang orang yang menjual foto e-ktp, dan juga tidak kalah uniknya, foto-foto koruptor tangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai NFT di OpenSea. Bahkan, KPK sampai merasa perlu membuat pernyataan bahwa penjualan foto tersebut bukan dari pihak mereka dan mereka meminta agar oknum yang menjual foto itu tidak menyalahgunakan logo KPK untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. 

Tidak hanya warga sipil biasa, pejabat pun mulai terpincut mencoba peruntungan NFT. Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil melalui akun Twitternya @ridwankamil mengaku berhasil menjual lukisan potret dirinya yang berjudul Pandemic Self Portrait senilai 1 ETH atau Rp 45,9 juta.  

Menanggapi fenomena ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir mengatakan bahwa NFT telah menjadi berkah yang perlu segera diadaptasi oleh generasi muda. NFT dinilainya telah mempermudah jual beli aset digital, oleh karena itu, seniman dan musisi Indonesia perlu didorong untuk dapat memaksimalkan potensinya agar dapat meraup keuntungan dari perkembangan teknologi. 

Lantas, apakah viralnya NFT ini adalah sesuatu yang perlu kita sukuri? 

Baca juga: Metaverse, Feodalisme dan Pengkhianat Demokrasi? 

Permainan Destruktif Kapitalisme? 

Sebelum membahas lebih lanjut, penting untuk menyelaraskan pemahaman tentang NFT terlebih dahulu. Apakah itu NFT? 

Devin Finzer, CEO OpenSea dalam artikelnya The Non-Fungible Token Bible, menjelaskan bahwa NFT sederhananya adalah aset digital yang tidak bisa diganti. Tidak seperti aset yang dapat dipertukarkan (fungible) seperti uang kertas yang kita gunakan sehari-hari, aset non-fungible adalah aset yang memiliki identitas unik dan tidak dapat dibagi serta ditukar dengan barang lain yang serupa.  

Ibarat satu buah handphone yang unik dimiliki oleh kita sendiri, suatu barang NFT hanya dapat berpindah tangan jika pemiliknya setuju untuk dibeli dengan harga yang sekian rupa. Pembelinya kemudian mendapatkan bukti kepemilikan, umumnya berbentuk digital melalui teknologi blockchain

Lalu, apa yang menentukan harga dari sebuah aset NFT? Dirangkum dari tulisan Finzer, setidaknya ada empat faktor penting. Pertama, adalah utilitas atau kegunaan. Mayoritas barang NFT adalah hal yang memiliki kegunaan virtual ataupun dunia nyata, seperti peralatan atau skin dalam suatu video game, dan suatu tiket konser berbentuk digital, begitu juga sebuah karya seni yang bisa ditunjukkan dalam sebuah galeri pribadi di dunia nyata. 

Baca juga :  Arti Kesetiaan Politik: Jokowi vs Prabowo

Kedua, sejarah pemilik dan pembuatnya. Tidak jarang, suatu aset NFT yang memiliki harga astronomis adalah bekas kepemilikan seorang tokoh besar, seperti cuitan pertama di Twitter yang dijual oleh CEO-nya, Jack Dorsey, yang berhasil terjual dengan harga US$ 2,9 juta, dan juga kode pertama World Wide Web karya Tim Berners-Lee yang berhasil dijual sebagai NFT seharga US$ 5,4 juta. 

Ketiga, kelangkaan. Selain karya seni dan musik yang memang jumlah aslinya terbatas karena sesuai ciptaan pembuatnya, para pengembang program yang dilibatkan dalam penerbitan aset NFT dapat mengatur keterbatasan dari sebuah barang yang ditetapkan untuk menjadi barang langka.  

Selain itu, mereka juga mampu mempertahankan kelangkaan suatu barang dengan memberikan sebuah sandi pada kode digitalnya. Suatu barang NFT dapat mempertahankan orisinalitasnya meskipun diduplikat berkali-kali. 

Keempat, likuiditas. Likuiditas yang tinggi menjamin harga yang aman pada sebuah aset NFT. Kemampuan perdagangan instan dari NFT menghasilkan likuiditas yang tinggi. Pasar NFT dapat melayani berbagai audiens, mulai dari pedagang yang memang ahli, pemain pemula, dan hal ini kemudian memungkinkan eksposur aset yang lebih besar ke kelompok pembeli yang lebih luas. 

Dari keempat faktor di atas, kita bisa menemukan satu poin penting yang mencerminkan NFT secara keseluruhan, yaitu harga aset NFT murni benar-benar tergantung dari kewenangan pengembang teknologi NFT dan permintaan dari para peminatnya, yang sesungguhnya saat ini hanya terdiri dari segelintir orang kaya saja. 

Filsuf Slovenia, Slavoj Zizek dalam artikelnya yang berjudul It’s Naive to Think Bitcoin & NFT Give Us Freedom, membaptis fenomena ini dengan istilah speculative capitalist madness atau kegilaan spekulatif kapitalis. Istilah tersebut berangkat dari kenyataan bahwa NFT dan cryptocurrency tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri, melainkan nilai tukarnya ditentukan berdasarkan penentuan subjektif yang sangat spekulatif dari penjual maupun pembeli barang NFT. 

Dalam aktivitas ekonomi dan pertukaran uang di dunia nyata, pembayaran yang dilakukan dalam suatu transaksi perdagangan dijamin oleh keberadaan sebuah otoritas negara yang mengatur nilai mata uang, seperti bank sentral. 

Sementara itu, nilai bitcoin dan mata uang digital yang digunakan untuk transaksi aset NFT tidak dijamin oleh lembaga otoritas publik mana pun. Nilai ekonomi NFT benar-benar ditentukan oleh seberapa besar seseorang rela untuk membayar, dan itu semua juga bergantung pada tingkat kepercayaan orang untuk mengakui ETH atau mata uang digital lain sebagai suatu hal yang bisa dianggap sebagai mata uang. Dengan demikian, selalu akan ada potensi penurunan nilai drastis bila muncul narasi untuk tidak memercayai NFT. 

Zizek menilai, anggapan bahwa NFT menyandarkan dirinya pada spekulasi kapitalis, menjadi semakin rumit ketika dihadapkan pada paradoks yang selama ini menghantui aktivitas ekonomi barang digital, yaitu NFT berusaha memperkenalkan konsep kelangkaan ke dalam domain di mana suatu barang dapat diakses oleh semua orang secara gratis (internet). Untuk alasan ini, fenomena NFT memaksa kita untuk memikirkan kembali tentang alasan untuk memiliki sesuatu di ruang digital. 

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Dari sini muncul pertanyaan besar yang barang kali jadi unek-unek banyak orang. Apakah sensasi NFT dapat diandalkan untuk waktu yang lama? 

Baca juga: Ridwan Kamil “Kecanduan” NFT?

Bisa Meletus Kapan Saja? 

Sensasi jual beli barang yang fenomenal tidak hanya terjadi pada kasus NFT. Kalau kita lihat sejarahnya, banyak barang yang tiba-tiba saja memiliki nilai ekonomis sangat tinggi, tetapi kemudian jatuh dengan cepat, contohnya seperti penjualan Tulip Belanda yang terjadi pada abad 17. 

Kalangan ekonom menyebut fenomena ini dengan istilah bubble economy karena sifatnya yang cepat naik turun. Apakah NFT akan jadi bubble yang selanjutnya? 

Baca juga: Hati-Hati ‘Bubble’ Bitcoin

Nelson Wan dalam artikelnya NFTs and SPACs: the Insanity of Casino Capitalism, menyebutkan bahwa NFT memiliki benih-benih untuk menjadi bubble. Mulai dari upaya untuk membuat kelangkaan secara artifisial, padahal sesungguhnya kelangkaan tersebut tidak benar-benar ada karena aset NFT dapat dengan bebas dan mudah disalin, bahkan didistribusikan oleh siapa saja di internet. NFT juga tidak mewakili karya seni yang nyata sebab mereka hanyalah data dan informasi yang dapat diduplikasi hanya dengan pencetan mouse. 

Karena itu, Wan menilai NFT hanyalah skema cepat kaya lainnya dari kelompok kapitalis yang telah didorong ke popularitas astronomis oleh spekulasi dan sensasi media sosial. Tidak ada nilai aktual dalam NFT itu sendiri dan “gelembung” di sekitar mereka hanyalah cerminan dari irasionalitas sistem kapitalis. 

Hyman P. Minsky dalam bukunya Stabilizing an Unstable Economy, menyebutkan sebuah gelembung ekonomi memiliki karakteristik, yaitu kenaikan suatu nilai ekonomi yang disebabkan oleh proyeksi yang terlalu optimis dari para investor tentang masa depan, seringnya muncul sebagai dampak perkembangan teknologi. Orang-orang kemudian melihat harga tersebut naik dengan cepat, namun selalu menemukan alasan untuk mengatakan itu adalah fenomena yang rasional.  

Lalu, seiring waktu, muncul keraguan dari para aktor yang terlibat langsung dalam bubble economy. Terkait ini, contohnya sudah ada, yaitu pernyataan dari seniman digital dengan nama Fvckrender, yang mulai meyakini bahwa NFT dapat membunuh karya seni karena mengacaukan fungsi utilitas dari barang-barang seperti lukisan dan gambar digital. 

Jika memang NFT adalah bubble, kapan kira-kira gelembung tersebut akan meletus? Well, itu adalah sesuatu yang sulit, karena seperti yang dikatakan John Maynard Keynes: “keadaan pasar bisa tetap dalam keadaan irasional lebih lama daripada Anda berkomitmen di dalamnya.” 

Yang jelas, tanda-tanda bahwa NFT hanya akan menjadi gelembung ekonomi sudah di depan mata. Tinggal sikap orang-orang saja yang menentukan, apakah akan menggunakan kesempatan sempit ini, atau justru hindari jauh-jauh? (D74) 

Baca juga: Cryptocurrency, Meroket Lalu Terbenam?

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Taktik Psikologis di Balik Pembekalan Prabowo 

Dengarkan artikel berikut Acara pembekalan para calon menteri yang dilakukan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto jadi sorotan publik. Kira-kira apa motif di baliknya?  PinterPolitik.com  Dalam dunia pendidikan, kegiatan...