Site icon PinterPolitik.com

Feminisasi Teror Perempuan Teroris

Feminisasi Teror Perempuan Teroris

Foto : Haaretz.com

Para perempuan teroris ini hidup dalam fatamorgana kesetaraan gender. Alih-alih menjadi jihadis yang dijanjikan mendapat pahala setara dengan jihadis laki-laki, mereka sebenarnya tengah dimanfaatkan dan dieksploitasi kemampuannya oleh para jihadis laki-laki tersebut


PinterPolitik.com

I have learned that a woman can be a fighter, a freedom fighter, a political activist, and that she can fall in love and be loved. She can be married, have children, be a mother. Revolution must mean life also; every aspect of life.

— Leila Khaled

[dropcap]P[/dropcap]ada tahun 1878, Vera Zasulich menarik pelatuknya dan menembaki Gubernur Jenderal Fedor Trepov yang kala itu memberikan perlakuan semena-mena pada tahanan politik Rusia.

Ada juga nama Sofia Perovskaya, yang merupakan aktor di balik pembunuhan Tsar Alexander II yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1881.Keduanya tercatat sebagai bagian dari simbol terorisme perempuan, hal yang memang memainkan peran penting di era akhir kekuasaan Kekaisaran Rusia pada penghujungabad ke-19. Dua nama tersebut, menjadi simbolisme kebrutalan terorisme perempuan yang terjadi dalam sejarah revolusi Rusia bahkan dunia.

Perempuan teroris hanya korban eksploitasi laki-laki teroris Share on X

Dalam konteks Indonesia, kiprah perempuan dalam dunia terorisme kini kembali menjadi sorotan berbagai media, setelah ledakan yang terjadi Sibolga, Sumatera Utara beberapa waktu lalu.

Dalam aksi tersebut, terjadi sebuah ledakan yang diduga dilakukan oleh istri dari otak terorisme jaringan Sibolga, Abu Hamzah, yang meledakan diri bersama kedua anaknya.Nama terakhir sebelumnya telah ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror pada Selasa, 12 Maret 2019 lalu – beberapa jam sebelum sang istri meledakkan diri.

Kasus ini menarik sebab Abu Hamzah tak sendirian dalam menjalankan hidup sebagai jihadis.Ia nyatanya juga melibatkan istri dan anaknya. Pada saat penangkapan, sang istri justru tak mau menyerahkan diri dan akhirnya meledakkan diri.

Berkaca dari kasus Abu Hamzah, eksistensi martir bom perempuan ini cukup menarik di Indonesia, utamanya dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan keterangan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), tren keterlibatan perempuan ini memang menunjukkan peningkatan.

Jika demikian, bagaimana sesungguhnya memaknai keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme ini? Apa yang memotivasi para perempuan ini untuk melakukan serangkaian aksi kekerasan dengan mengatasnamakan jihad tersebut?

Perempuan Dalam Teror

Tak hanya di Indonesia, akar keterlibatan perempuan dalam terorisme ini telah berlangsung sejak lama. Bisa dikatakan, Vera Zasulich adalah contoh mula-mula keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Pasca cerita tentangnya begitu populer, eksistensi perempuan dalam terorisme pun juga semakin meningkat, utamanya di negara-negara yang berkonflik.

Di Palestina misalnya, perempuan juga memiliki peran spesifik baik sebagaipendukung terorisme maupun terlibat dalam operasional terorisme.Perempuan Palestina yang terlibat dalam aksi terorisme yang cukup terkenalsalah satunya adalah Leila Khaled.

Kemunculannya banyak menjadi inspirasi bagi para militan Palestina di tahun 1970-an, setelah ia terlibat dalam beberapa aksi konfrontatif dengan tentara Israel bersama  Front Pembebasan Palestina.

Lain lagi di Aljazair, di mana “kelompok Maghreb” Al Qaeda menggunakan wanita dalam kampanye pemboman. Dalam aktivitas ini, perempuan sebagian besar bertanggung jawab untuk membantu menyediakan bahan-bahan pendukung seperti obat-obatan, makanan dan pakaian, serta berbagai peran yang lebih signifikan lainnya.

Tak hanya tejadi di negara-negara konflik layaknya Palestina, pada awal Juni 2018 lalu, publik Inggris dikejutkan oleh aksi remaja perempuan bernama Safaa Boular yang juga melakukan aksi terorisme. Kala itu, ia merencanakan serangan terhadap British Museum di London.

Setelah investigasi dilakukan terhadap kasus ini, diketahui bahwa Boular ternyata dikenal sebagai salah satu bagian dari sel teroris yang terkait dengan ISIS di Inggris.

Berkaca dari berbagai fenomena tersebut, dari tahun ke tahun, tren terorisme yang dilakukan oleh perempuan disebut-sebut meningkat secara tajam.

Sebuah studi di tahun 2017 yang dilakukan oleh Mia Bloom, seorang Profesor Komunikasi di Universitas Georgia, menyebutkan bahwa terdapat tren peningkatan peran perempuan secara signifikan dalam terorisme.

Secara spesifik, Mia menyebut jaringan teroris ISIS semakin masif menggunakan perempuan untuk menjadi ujung tombak serangan teror.

Dalam konteks Indonesia, dalam tiga tahun terakhir, aksi terorisme yang melibatkan perempuan sebagai aktor utamanya juga menjadi tren yang tak bisa terhindarkan.

tak hanya di Sibolga, sejumlah peristiwa pengeboman di Indonesia telah mencatatkan perempuan sebagai martir yang cukup ampuh dalam menjalankan “misi jihad” ini.

Di antaranya, ada Dian Yulia Novi yang pernah merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara pada 2016 lalu. Selain itu, ada juga nama Ika Purnama Sari yang sempat merencanakan pengeboman di Bali yang ternyata juga satu jaringan dengan Dian.

Kemudian, ada Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millenia yang sempat menghebohkan media massa karena aksi nekatnya menyerang polisi dengan gunting di Mako Brimob Kelapa Dua beberapa waktu lalu. Keduanya juga masuk dalam satu jaringan teroris.

Sementara yang mungkin menjadi titik balik perhatian publik atas keterlibatan perempuan dalam terorisme adalah Puji Kuswati dan Tri Ernawati yang merupakan pelakubom bunuh diri Gereja di Surabaya dan di depan markas Polrestabes Surabaya.

Tak ketinggalan di Wonocolo, Sidoarjo, Puspitasari yang merupakan istri dari terduga teroris Anton Ferdiantono, juga meledakkan diri bersama anak-anak mereka.

Sedangkan nama Solimah, yang merupakan istri dari Abu Hamzah, serta penangkapan Syuhama dan Yuliati Sri Rahayuningrum yang diduga memiliki keterkaitan dengan jaringan Abu Hamzah, menambah daftar panjang keterlibatan perempuan dalam terorisme di Indonesia.

Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo dalam salah satu pemberitaan,menyebutkan bahwa ada pola lone wolf (pelaku tunggal) dari para perempuan ini untuk melakukan aksi terorisme.

Selain itu, secara historis, peran perempuan dalam aktivitas terorisme memang memiliki jejak panjang. Tak hanya di dunia muslim, bahkan di dunia Barat pun, terorisme yang menggunakan perempuan sebagai martir jamak terjadi.

Rusia adalah salah satu contohnya, dimana perempuan memiliki pengaruh yang harus diwaspadai. Realitas ini yang ditakutkan juga bisa menjadi tren terorisme di Indonesia di masa depan.

Lalu apa sesungguhnya yang memotivasi para perempuan ini melakukan serangkaian aksi kekerasan? Mungkinkah adanya fenomena jihadis perempuan ini menandakan bahwa peran perempuan dan laki-laki kini menjadi setara?

Feminisasi Teror

Dalam melihat tren perkembangan keterlibatan teroris perempuan ini, feminisasi teror menjadi penjelasan yang paling masuk akal.

Sayangnya, feminisasi teror ini tidak bermakna positif, namun cenderung mengarah pada hal negatif,yakni terkait eksploitasi dan kapitalisasi peran perempuan di ranah kekerasan. Bagaimana eksploitasi ini dapat terjadi?

Tak lain dan tak bukan jawabannya adalah pada doktrinasi dan propaganda narasi yang dilakukan oleh para jihadis laki-laki terhadap perempuan teroris.

Forbes dalam salah satu ulasannya menyebut kunci propaganda dan dokstrinasi yang digunakan untuk menarik keterlibatan perempuan adalah dengan menciptakan narasi musuh bersama, yakni melawan kezaliman Barat.

Argumentasi tersebut selaras dengan pendapat Marek Bodziany dalam tulisannya, yang menyebut bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi-organisasi teroris tidak terlepas dari adanya  marginalisasi perempuan dalam masyarakat dan budaya patriarki yang berakar berakar pada doktrin agama, serta rendahnya tingkat pendidikan di kalangan perempuan itu sendiri.

Sehingga, dampak yang terjadi kemudian para perempuan ini dipaksa menelan narasi bahwa peran mereka baik sebagai ibu, istri, perawat, atau guru dalam aktivitas terorisme, dapat menjadi penyembuh bagi tatanan yang rusak yang diakibatkan oleh Barat.

Kapitalisasi ini kemudian diperkuat dengan doktrin agama,dalam konteks ini berdasarkan dalil Alquran, yang menyebutkan bahwa pria dan wanita memiliki kewajiban yang setara  dalam menjalankan perang suci, dimana perempuan akan mendapat penghargaan yang setara dengan para jihadis laki-laki atas tindakan mereka.

Dengan berbagai doktrin tersebut, perempuan seolah-olah dibebaskan dari keterpurukan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, alih-alih menggunakan narasi  “persaudaraan” kolektif yang akan memperkuat jaringan dukungan dan persahabatan.

Aktivitas doktrinasi tersebut juga difasilitasi oleh perkembangan teknologi, dimana media-media digital memfasilitasi penyebaran ideologi radikal, ditunjang oleh kemudahan akses yang dimiliki.

Di sisi lain, ada hidden potential perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki dalam menjalankan aktivitas terorisme. Menurut Mia Bloom, perempuan menjadi senjata tersembunyi yang ideal untuk kelompok teroris karena kecenderungan mereka yang tidak mudah dicurigai.

Maka, tidak mengherankan jika para kombatan laki-laki yang notabenenya pemimpin organisasi-organisasi teroris ini melirik potensi yang dimiliki perempuan tersebut.

Aspek lain yang mendukung aktivitas kapitalisasi perempuan tersebut adalah karena kurangnya jumlah dan ketakutan martir laki-laki untuk menjalankan misi bom bunuh diri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika keterlibatan perempuan dalam misi jihad kian meningkat.

Dalam konteks Indonesia, nampaknya penjelasan Bloom dan Bodziany tersebut cukup masuk akal.

Masih rendahnya pendidikan perempuan serta masih mengakarnya budaya patriarki yang bersumber pada doktrin agama yang membelenggungu banyak perempuan Indonesia, menjadikan mereka mudah terpapar indoktrinasi paham radikal.

Juga logika transnasionalisasi doktrin melalui internet bisa saja berperan besar dalam perkembangan tren ini.

Berkaca pada hasil penelitian pakar terorisme Indonesia,Sidney Jones, disebutkan bahwa terdapat sekitar 40 perempuan Indonesia dan 100 anak-anak di bawah 15 tahun yang memutuskan untuk menjadi kombatan jihad jaringan ISIS di Suriah.

Selain itu, menurut investigasi Tempo, kelompok teroris yang dipimpin oleh Abu Hamzah kini juga sedang gencar-gencarnya melibatkan sejumlah perempuan dalam aktivitas terorisme.

Maka, feminisasi teror ini tidak boleh menjadi hal yang dianggap remeh.Hal ini karena perempuan jihadis pada akhirnya hidup dalam ilusi kesetaraan peran dengan laki-laki jihadis. Padahal, sesungguhnya mereka sedang dimanfaatkan oleh para laki-laki ini untuk menjalankan misi kekerasan.

Pada akhirnya, pentingnya gerakan pembebasan perempuan dalam tataran pengetahuan akan kesetaraan gender menjadi urgensi bagi pemerintah maupun masyarakat. (M39)

 

Exit mobile version