HomeNalar PolitikFashion, Politainment Ala Jokowi

Fashion, Politainment Ala Jokowi

Jokowi kerap menampilkan dirinya dengan berbagai mode gaya fashion yang beragam. Mulai dari kemeja putihnya, jaket dilan dan bombernya, sepatu Yeezy dan Nikenya, sampai sarung dan flat pantofelnya. Fashion Jokowi bekerja sebagai sebuah cara berpolitik di dalam politik layar kaca, politik sebagai dunia hiburan.


Pinterpolitik.com  

[dropcap]S[/dropcap]elama 5 tahun menjabat sebagai Presiden, Jokowi kerap menggunakan gaya fashion yang beragam dan viral di masyarakat. Di tahun 2014, Jokowi mengawali kariernya sebagai Presiden dengan mengemas tubuhnya menggunakan kemeja putih digulung, celana bahan warna hitam, dan dipadu dengan sepatu sneakers. Di kemudian hari kita tahu Jokowi sering menggunakan Nike jenis LunarEpic Low Flyknit 2, sebagai salah satu koleksinya.

Kemeja putih ini datang bersama dengan narasi yang dibangun saat itu yaitu, kerja kerja kerja!. Dengan gaya blusukan, membumi, dekat dengan rakyat, dan mau mengatasi masalah secara langsung, kemeja putih yang biasanya tidak disingsing menjadi satu dengan narasi kerja Jokowi.

Selama 5 tahun, Jokowi konsisten menggunakan kemeja putih digulung setiap kunjungan ke daerah, mulai dari panen jagung di Gorontalo hingga meninjau kebakaran hutan di Kalimantan Selatan.

Selain konsistensi menggunakan kemeja putih, Jokowi juga selalu menggunakan jas dipadu dengan songkok hitam, sarung dan sepatu pantofel Flat Mule. Gaya ini muncul beriringan dengan adanya isu soal keislaman Jokowi. Kedekatan Jokowi dengan Islam nampak dengan rajinnya Presiden berkunjung ke pesantren-pesantren seluruh Indonesia. Pesantren dengan basis kalangan Islam tradisional dari warga NU.

Model busana semacam ini sudah sejak lama dipergunakan di berbagai kalangan santri, paduan khas antara modernitas berupa jas dengan tetap membawa identitas Islam melalui sarung. Cawapresnya, Ma’ruf Amin juga menggunakan model fashion yang sama, sebagai kiai lulusan pesantren salafiyah.

Ketiga, Jokowi cukup gemar menggunakan jaket ala ala anak muda, mulai dari Bomber Zara, jaket Dilan merek Never Too Lavish, hingga jaket Bulls Syndicate. Jaket-jaket ini kerap dipadu padankan dengan celana jeans, dan sepatu-sepatu Vans, termasuk salah satu koleksinya yaitu Vans X Metallica SK8-Hi. Jokowi biasa menggunakan jaket ketika mengendarai motor-motor gaul, dan acara yang bersifat lebih cair.

Identitas yang dibawa Jokowi ketika mengenakan jaket kekinian tersebut cukup senada, yaitu soal jiwa muda, penuh gairah petualangan, dan menyenangi tantangan, khas seperti anak-anak muda. Millenial menjadi sekup paling mudah untuk masuk dalam ceruk ini dan mengimitasi apa yang dilakukan Jokowi.

Fashion Jokowi yang muncul dalam lanskap politik hari ini, sesuai dengan narasi zaman yang sedang terbentuk, yaitu dunia yang disusun atas digital. Dunia digital mementingkan gambar, atau dalam istilah kekinian “no pics, hoax”. Hal tersebut merepresentasikan bagaimana kebenaran di dunia hari ini bisa diukur menggunakan barometer gambar.

Baca juga :  Jokowi Ngapain Aja Pasti Salah?

Politik Layar Kaca

Abad 21 adalah tahunnya yang digital, di awal ditemukannya radio, politik diukur berdasarkan suara, sehingga politisi yang muncul adalah mereka yang memiliki kemampuan orasi yang memukau, hari ini gaya tersebut berubah menjadi yang grafis, semua yang mampu membentuk grafiknya di layar secara apik bisa menjadi politisi.

Dunia digital disokong dengan menggunakan media sosial. Artinya gambar secara mandiri tidak bisa dijadikan basis legitimasi atas kebenaran, namun dia harus viral. Dua indikator inilah yang membentuk dunia kita hari ini, dunia grafis yang tersebar luas. Di sanalah kategori kebeneran dan kebaikan disematkan.

Sehingga demi menjamin legitimasi kebenaran dalam politik tersebut, politisi harus masuk dalam layar kaca, politik harus mampu dinyatakan dalam bentuk gambar, dia tidak bisa hanya sekedar ide-ide besar, namun mampu divisualisasikan, dan ditayangkan.

Politik dan layar kaca memiliki poros tumpu yang sepenuhnya berbeda, antara serius dan main-main, antara idealitas melawan pragmatisme, antara yang penuh dengan ide besar nan dalam dengan yang dangkal.

Fashion Jokowi, numero uno! Share on X

Maka demi bisa mampu bertahan dalam politik dan digital, politisi harus mau tidak mau bertransformasi sebagai layaknya artis, dia harus mampu menyuguhkan satu tontonan yang renyah dan estetis, di sanalah cikal bakal mula mula politik dan entertainment bertemu, dia adalah hasil dari keinginan politisi tetap bertahan dalam dunia politik, di sisi lain media membutuhkan uang demi tetap beroperasi.

Walhasil, ide-ide besar harus dipangkas, dan yang dikedepankan adalah hiburan, politik harus menghibur, menyenangkan, dan gampang diterima. Politik dioplos dengan budaya populer. Di sanalah Jokowi muncul dengan berbagai fashion yang dipakainya.

 Hal-hal yang remeh temeh yang menghibur biasanya bermuara di dalam talkshow gosip, sedang politik seharusnya selalu berbentuk straight news. Dengan masuknya politisi dalam panggung hiburan, menjadi sumir apakah apa yang sedang kita tonton berita ataukah dagelan semata, atau memang sudah tidak ada pembeda antara politik dengan dunia layar kaca.

Isitlah yang dikembangkan dalam dunia akademik untuk mengindetifikasi gejala semacam ini disebut sebagai politainment, percampuran antara politics dan entertainment. Politainment menyasar pada komunikasi politik, sebab apa yang dilakukan oleh para politisi dengan muncul di layar kaca adalah dengan tujuan komunikasi kepada publik.

Justus Nieland dari Indiana University berpendapat bahwa gejala masuknya politik dalam dunia hiburan, lewat pemain, isu, permainan politik dan kultur hiburan media dilabel sebagai politainment. Politis tentu ingin mendapatkan sekup selebar mungkin kepada para pemilihnya.

Baca juga :  Jokowi Tak Bisa Sapu Kemiskinan Ini Alasannya Menurut Peraih Nobel!

Politik layar kaca tidak hadir dalam narasi-narasi seruan layaknya para pemimpin bangsa, namun hadir dalam bentuk drama dan kejutan yang menghibur khalayak ramai. Dari sinilah seluruh keburukan ini bermula, ide penting dalam politik harus direduksi menjadi hanya sekedar citra semata, politik adalah tontonan.

Jika citra yang ditekankan, maka dia akan serta merta menutup kredibilitas dan kapabilitas seorang politisi. Politisi sebagai konsep publik akhirnya luruh definisinya sebab media menginginkan satu bentukan citra sang politisi sehingga menyasar ranah privatnya yang sama sekali tidak terkait dengan program serta kinerja sang politisi.

Citra merakyat, islami, pro milenial disusun dari bagaimana strategi dan performa dia di layar kaca. Momen politis akhirnya dijual dalam bentuk hiburan, proses ini disebut sebagai politik hiburan. Contoh seperti gaya Menteri Susi menenggelamkan kapal, yang sejatinya adalah kerja politik, namun menjadi hiburan. Politainment hanya bersoal dengan yang sensasional.

Selanjutnya, akan ada yang disebut sebagai politik yang menghibur, strategi komunikasi publik demi mendongkrak suara mereka di masyarakat, iklan politik contoh nyatanya, dengan pesanan pesan tersirat di dalamnya.

Pada tipe lain politisi mengerjakan satu pekerjaan politik yang memiliki nilai berita sehingga diliput, juga dengan menunggangi isu yang akan menaikkan nama mereka. Keterlibatan mereka hanya secara dangkal pada satu isu demi membentuk satu citra dalam politik.

Layar kaca adalah soal citra, proses politik hari ini menggunakan layar kaca, kita menikmati seluruh lekuk kerja politik layar kaca beserta gegap gempita emosi yang terbangun. Tidak ada rasionalitas dalam politik layar kaca, idola dibangun atas rasa empati pada aktor politik layar kaca. Citra menjadi basis ukur atas kinerja politiknya sebagai yang pro rakyat kecil dan dekat dengan ulama, politik berbasis pada citra yang terbangun dalam benak pemirsa.

David Schultz mengatakan bahwa politainment adalah sejatinya dunia baru politik, dia berbeda dari hanya sekedar pemberitaan politik yang sensasional. Akhirnya panggung politik dan panggung hiburan bisa saling ditukar, mereka adalah dua hal yang sama.

Berdasarkan hal tersebut, baju putih, sepatu Yeezy, dan jaket bomber Jokowi, semua itu hiburan dalam layar kaca Indonesia. Jadi, selamat menikmati permisa! (N45)

 

 

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

More Stories

Politik Kebahagiaan Sandiaga Uno

Sandiaga Uno kerap menampilkan aktivitas politik yang menyenangkan, penuh dengan canda tawa, penuh dengan energi positif. Sandiaga membangun narasi politik kebahagiaan dalam dirinya. PinterPolitik.com Sedari...

Tito Berpeluang di Pilpres 2024?

Keberhasilan Polisi menangani kerusuhan di demo 22 Mei menaikkan nama Tito Karnavian sang Kapolri. Namanya masuk di radar Pilpres 2024, akankah Tito berhasil membidik...

Demo 22 Mei, Proyek Demokrasi Bayaran?

Demo 22 Mei di Bawaslu berakhir ricuh, banyak yang menduga disusupi provokator. Polisi menangkap 257 tersangka dengan barang bukti uang, batu, bom Molotov, serta...