Faktor Sandiaga Uno disebut-sebut mampu menjadi penentu kemenangan Prabowo Subianto. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]unia politik kini telah banyak berubah. Seiring dengan perkembangan zaman, wajah politik yang dianggap kaku dan selalu diisi oleh orang-orang tua kini bertransformasi menjadi arenanya anak muda.
Setidaknya fenomena inilah yang menjangkiti banyak negara di berbagai belahan dunia. Di Prancis, Emanuel Macron mencatatkan dirinya sebagai presiden termuda negara mode tersebut. Ada pula sosok Justin Trudeau yang menjadi Perdana Menteri termuda dalam sejarah politik Kanada.
Di Indonesia sendiri, politisi muda kini juga tengah berebut panggung dengan para politisi senior dalam gelanggang perpolitikan tanah air. Sebut saja nama-nama seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ridwan Kamil, Emil Dardak, Tsamara Amany, hingga Faldo Maldini meriuhkan jagat politik dalam negeri.
Pilih Sandiaga apa Ma'ruf Amin? Share on XNamun, menjelang Pilpres 2019 kali ini, sepertinya sosok Sandiaga Salahuddin Uno-lah yang mendapat sorotan utama media.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, Sandi mencoba peruntunganya di dunia politik dengan mendampingi Anies Baswedan maju sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur ibu kota. Keduanya berhasil menang dan Sandi menampilkan wajah politik yang berbeda dari seorang pejabat publik.
Kini, bersama Prabowo Subianto, ia kembali menjajal peruntungan di dunia politik dengan maju sebagai cawapres melawan petahana Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 ini.
Kiprah politik sosok pengusaha pendiri PT Saratoga Investama ini memang terbilang masih seumur jagung. Namun, daya tarik politiknya tak bisa dianggap main-main.
Lalu, bagaimanakah menakar dampak dari effort yang ditunjukkan Sandi selama masa kampanye ini berlangsung? Seiring dengan dekatnya hari pencoblosan, mungkinkah ia merupakan salah satu faktor penentu yang menjadi jaminan bagi kemenangan Prabowo pada 17 April nanti?
Faktor Sandi
Muda dan ganteng, begitulah kira-kira citra Sandi terutama di mata para emak-emak dan remaja perempuan tanah air. Oleh karenanya, di setiap kesempatan kampanye menjelang Pilpres 2019 ini, animo masyarakat dalam menyambut Sandi di berbagai daerah boleh dibilang selalu penuh sesak dengan lautan emak-emak.
Dalam konteks politik, penampilan fisik memang menjadi salah satu kekuatan persona yang cukup memiliki pengaruh bagi tingkat keterpilihan seorang kandidat.
Frank Bruni dalam kolomnya di The New York Times berpendapat bahwa keterpilihan kandidat dalam kontestasi politik memang tidak dapat dipisahkan dari penampilan mereka. Ia menyebutkan bahwa berpenampilan “hot” bagi seorang politisi adalah hal yang mutlak sebagai sebuah daya tarik.
Sementara, Nancy Etcoff, seorang psikolog evolusi yang mengajar di Harvard Medical School, juga mengamini hal tersebut dengan melihat Beto O’Rourke, seorang pengusaha, musisi dan politisi muda sebagai sosok yang kini memiliki potensi itu dalam konteks politik Amerika Serikat (AS). O’Rourke kini menjadi salah satu calon presiden AS untuk Pilpres 2020 dari Partai Demokrat.
Dalam Pemilu Sela beberapa waktu lalu, kemenangan fenomenal O’Rourke dan Andrew Gillum – politisi muda mantan Wali Kota Tallahassee – diraih berkat ketenaran mereka masing-masing di negara bagian Texas dan Florida dengan jumlah total suara yang mengesankan. Ternyata salah satu faktor kemenangan mereka adalah kemenangan retorika, enerjik, dan empatik dibanding saingan mereka dari Partai Republik, bahkan termasuk ketenaran Donald Trump sekalipun.
Dalam konteks fans perempuan pun, O’Rourke nampaknya juga unggul di kalangan gadis-gadis yang sering berteriak-teriak meminta swafoto kepadanya. Gairah yang menjiwai kekaguman mereka jelas lebih dari sekadar kekaguman secara politik.
Kepopuleran tersebut bukan tanpa alasan. Secara fisik, O’Rourke yang juga seorang pelari terlihat atletis dan memiliki daya tarik, yang oleh Deborah Rhode dari Universitas Stanford, setara dengan yang dimiliki oleh Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau.
Jika dalam politik AS ada O’Rourke yang akan maju dalam Pilpres di 2020 nanti, maka Indonesia kini memiliki sosok Sandiaga Uno yang terdampak – dan juga memanfaatkan – faktor serupa. Keuntungan inilah yang mungkin tak dimiliki oleh sang rival, yakni Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi.
Dalam konteks Sandi, menyoal pembawaan, ia juga merupakan penggemar berat olahraga, salah satunya lari, dan ia juga berperawakan atletis. Konteks tersebut ditambah lagi dengan tampang rupawan dan gelimang harta yang membuatnya menjadi sosok idola banyak orang.
Namun, tentu saja potensi fisik saja tak cukup. Selain menyoal fisik, Sandiaga juga unggul di berbagai kampanye kreatif. Hal ini tak terlepas dari kreativitasnya dalam memunculkan materi kampanye yang unik dan populer.
Jika melihat aktivitas Sandiaga di media sosial misalnya, ia kerap kali mengadopsi sesuatu yang sedang menjadi tren di kalangan anak muda dan memasukkan unsur-unsur kampanye politik ke dalamnya, katakanlah misalnya dalam video “seberapa gereget” di akun Instagramnya.
Aksi kampanye tatap mukanya pun terbilang menarik. Ia pernah tampil dengan memakai topeng pada salah satu kesempatan di acara Bandung Yes, ikut bermain gitar bersama Rhoma Irama dalam salah satu kampanye, serta kerap bernyanyi dan berinteraksi ala konser musik – katakanlah dengan meminta simpatisan dan pendukungnya menyalakan flash telepon seluler mereka.
Selain itu, ia juga tak ragu untuk menggaet para influencer di media sosial untuk terlibat dalam aktivitasnya. Katakanlah seperti video perbincangannya dengan Atta Halilintar, yang merupakan YouTuber dengan jumlah subscriber mencapai 13 juta atau terbanyak di Asia Tenggara.
Hal lain yang membuat Sandi berbeda dibanding politisi lainnya adalah effort kampanye yang seolah tak ada matinya.
Sandi adalah sosok yang rajin berkampanye di banyak daerah, sekalipun ia tak sedikit menerima penolakan dan resistensi dari para pendukung lawan politiknya.
ICYMI ??: Vice-presidential candidate Sandiaga Uno pitches himself as an economic liberaliser in a Q&A on economy policy with @IndoNewMandala Correspondent Fellow @AichiroSuryo. https://t.co/Y6FHSxAjWW pic.twitter.com/S7GFbrzZeP
— New Mandala (@newmandala) March 6, 2019
Ia kerap disambut dengan spanduk-spanduk penolakan ketika berkunjung ke beberapa daerah yang menjadi basis wilayah pendukung Jokowi-Ma’ruf, misalnya di beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Hal ini bisa dibilang sebagai strategi “berani mati”, di mana meskipun ada risiko yang ia terima, namun ia tetap melakukannya.
Tentu pertanyaannya adalah mungkinkah aksi-aksi Sandi ini akan berdampak signifikan bagi Prabowo?
Sandi, Dewi Fortuna Prabowo
Tanpa Sandi, Prabowo mungkin tak akan se populer sekarang. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambakan pentingnya kehadiran Sandiaga Uno bagi Prabowo.
Hal ini cukup tercermin dari hasil survei Litbang Kompas beberapa waktu lalu yang menunjukkan tren positif elektabilitas Sandi jika dibandingkan Ma’ruf Amin.
Berdasarkan survei tersebut, di kelompok pemilih pemula (usia di bawah 22 tahun) perolehan elektabilitas Sandi mencapai 50,6 persen dibandingkan dengan rivalnya, Ma’ruf Amin yang mendapatkan 30,1 persen.
Sedangkan di segmen milenial muda (usia 22-30 tahun), Sandi kembali unggul dengan meraih 45,4 persen elektabilitas, sementara Ma’ruf hanya mendapat 35,5 persen.
Di kalangan milenial tua (usai 31-40 tahun), Sandi meraih 41 persen, sedangkan Ma’ruf hanya 34,4 persen. Dan yang terakhir di generation X (usia 41-52 tahun), Ma’ruf meraih 38,1 persen dan Sandi kembali unggul dengan 42,6 persen.
Jika dibandingkan, Ma’ruf Amin bahkan hanya unggul di dua kalangan usia tua, yakni di kelompok baby boomers yang memiliki tentang usia 53 sampai 71 tahun dan silent generation yang berusia di atas 71 tahun.
Secara spesifik, Litbang Kompas juga menemukan bahwa sebanyak 16,7 persen responden memilih pasangan capres-cawapres nomor urut 02 karena adanya faktor Sandi.
Adapun popularitas Sandi melejit juga disebabkan beberapa faktor di antaranya latar belakang pendidikan atau intelektual, pekerjaan, penampilan fisik, kemampuan berkomunikasi, usia, serta kekayaan.
Tentu hasil survei tersebut dapat dikatakan ekuivalen atau bernilai serupa dengan berbagai faktor daya tarik Sandi yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, Sandi menggenggam kemenangan performa dibandingkan dengan lawan politiknya.
Sandi juga mungkin saja menjadi sosok Dewi Fortuna – sosok dewi keberuntungan dalam mitologi Yunani – bagi Prabowo dalam Pilpres kali ini. Paling tidak ia mampu menjadi penyeimbang bagi gaya berpolitik Prabowo yang bisa dibilang old style.
Sandi juga merupakan sosok penyeimbang bagi stigma Prabowo yang selama ini di sebut-sebut menggunakan politik identitas dengan menggandeng kelompok-kelompok konservatif sebagai kekuatan politiknya. Hal ini terlihat dari bahasa kampanye yang menghindari narasi-narasi agama dengan lebih memfokuskan pada isu-isu ekonomi.
Oleh karenanya, kemunculan Sandi dan konstruksi yang diciptakan atas citra politiknya merupakan faktor penentu yang mungkin akan berkontribusi besar bagi Prabowo di hari pencoblosan nanti. Tentu menarik untuk ditunggu pada 17 April nanti. (M39)