Site icon PinterPolitik.com

Fahri Memang Sexy

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) digadang-gadang ingin memboyong Fahri Hamzah ke partai “pimpinannya”, Golkar. Bisakah Jokowi?


PinterPolitik.com

Fahri Hamzah kembali jadi sorotan media massa. Hal ini lantaran pertanyaan seorang wartawan tentang kemungkinan Fahri masuk ke Gerindra, selepas tidak lagi menjadi politisi PKS. Bukan tanpa alasan, posisi politik Fahri dinilai masih menjadi oposisi dan cenderung dekat dengan Gerindra, salah satunya melalui Fadli Zon.

“Enggak, enggak (ke Gerindra),” ujar politisi asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat itu ketika ditanya perihal hubungannya dengan Gerindra.

“Saya sudah ditawari oleh Partai Golkar, PDIP, Gerindra, Nasdem, PAN, juga oleh PPP dan Hanura. Semuanya lah,” terang Fahri.

Bukannya Fahri sombong, tapi pinterpolitik.com pun menilai beliau ini pantas digandrungi banyak partai. Pasalnya, Fahri adalah politisi independen yang cukup “seksi” karena dikenal dengan baik oleh media massa dan banyak dibicarakan oleh publik. Dibicarakan seperti apa? Pokoknya beliau ini terkenal karena dianggap cukup kontroversial dan nyeleneh.

Kisruhnya dengan PKS sampai dirinya dikeluarkan dari kepengurusan partai pada 2016, karena dinilai terlalu membela Setya Novanto dalam kasus Papa Minta Saham, cukup menarik untuk diamati. Publik dan pengamat menilai bahwa Fahri mungkin memang dekat dengan Novanto, yang juga berarti dekat dengan Golkar.

Tetapi, sejauh ini Fahri masih tak bergeming. Pinangan dua pemimpin Golkar, Novanto dan Airlangga, masih ditolak oleh Fahri. Sekalipun menurut pengakuan Fahri, ada Jokowi yang ingin memboyong Fahri ke sisinya dengan tangan Golkar. Jual mahal betul, ya.

Apakah Fahri, yang oleh beberapa pihak dijuluki “Si Singa Parlemen”, benar-benar tidak ingin masuk ke dalam koalisi pendukung pemerintah, dan menjadi oposisi saja sekalipun tanpa partai? Seberapa “seksi” dan berharga Fahri untuk diperebutkan oleh banyak partai, bahkan oleh presiden sendiri?

Sikap Bebas Tanpa Beban

Ada satu hal yang selalu ditunggu dari beragam aksi Fahri Hamzah di depan layar kamera: sikapnya yang ceplas-ceplos dan seperti tanpa beban, berbeda dengan politisi pada umumnya. Tentu saja karena bukan lagi kader PKS, sikap Fahri menjadi “liar” dan “bebas”, jauh berbeda katakanlah dengan kompatriotnya di DPR, Fadli Zon.

Kalau ucapan Fadli selalu bisa dianggap “titipan Gerindra” yang “pokoknya Prabowo adalah solusi”, maka jauh berbeda dengan Fahri. Ucapan Fahri seperti keluar dari dirinya sebagai sikap politik personalnya dalam berbagai isu.

Bila kita mengasosiasikan Fahri dengan “Anti-KPK” baru belakangan ini saja, dengan tudingan-tudingan bahwa Fahri terlalu dekat dengan Novanto, atau bahkan Fahri terlibat korupsi e-KTP, bisa jadi hal ini salah besar. Sikap politik Fahri kepada komisi antirasuah ini sudah ditunjukkan cukup lama, sekitar delapan tahun atau sejak 2010.

Fahri menyampaikan kritiknya bahwa KPK saat itu mungkin sudah digembosi oleh banyak pihak terutama dalam konfrontasi “Cicak vs Buaya Jilid I”. Fahri menilai, Ketua KPK saat itu Antasari Azhar, dipenjara karena kriminalisasi dan penggembosan KPK dari dalam. Kasus Antasari saat itu, memang dipenuhi intrik politik seputar nama Aulia Pohan sampai Kabareskrim Polri Susno Duadji.

Bagi Fahri pribadi, KPK tidak dapat dibiarkan menjadi lembaga yang berdiri sendiri menjadi penegak hukum di bidang korupsi. Lebih baik ada sinergi yang dibentuk secara efektif antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi.

Karena menurutnya, KPK sendiri punya banyak “setan” di dalamnya dan cenderung menjadi “alat politik penguasa”—yang aromanya masih tercium sampai sekarang.

Pada era sebelum Jokowi, nama Fahri memang tidak terlalu bersinar. Baru pada tahun 2014 dan seterusnya, Fahri menggapai puncak popularitasnya. Namanya mulai naik saat melakukan debat Caleg dan kembali menyinggung KPK, atau ketika ia mengritik perayaan Hari Santri gagasan Jokowi sebagai hal yang “sinting”.

Aneh, kontroversial, dan cari perhatian, memang. Tapi, setidaknya nama Fahri terdongkrak dengan efektif pasca kejadian itu, dan Fahri terus menerus mewarnai pemberitaan dengan komentar-komentar kontroversialnya.

Hingga di tahun 2016, Fahri pun mendapatkan momentum tertingginya untuk berpidato di depan sejuta umat pada Aksi Bela Islam 212.

“Wahai Presiden Jokowi, anda seharusnya berada di sini. Inilah jiwa bangsa Indonesia, inilah yang akan memperjuangkan bangsa ini dengan darahnya, dengan air matanya!” demikian seruannya di depan aksi massa.

Sekalipun bukan perwakilan sah PKS dalam aksi ini, Fahri tetap hadir dan sukses menjadi orator yang cukup disegani dengan kemampuan bicaranya yang mumpuni

Sikap Fahri pun tegas dan jelas. Sebagai seorang Muslim, Fahri mengaku merasa kasihan dengan umat Islam di Indonesia yang menurutnya, mengutip Samuel Huntington, diesklusikan secara ekonomi. Fahri dinilai masih berada dalam barisan oposisi yang masih menentang pemerintahan Jokowi.

Sampai akhirnya Fahri bersikap menolak adanya perluasan makna zina dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas di DPR saat ini. Padahal, partai lamanya PKS, juga Gerindra, bahkan hampir semua fraksi di DPR tidak berani menolak perluasan makna zina.

Memang cari perhatian? Atau bebas nilai dan tidak terpengaruh posisi partai adalah sikap politik Fahri?

Pentingnya Fahri untuk Jokowi

“Pak Fahri, kenapa kritik KPK terus?”

-Presiden Jokowi kepada Fahri Hamzah-

Mulut adalah modal politik Fahri. Jokowi sendiri sampai gerah dengan kritik Fahri, khususnya soal KPK. Fahri menjawab, “Pak, ada negara dalam negara!”

Fahri mungkin pembaca Machiavelli yang setia. Dia cukup sukses mengambil keuntungan politik bagi dirinya dengan cara mengritik kekurangan politisi-politisi lainnya. Tentu dengan syarat, bahwa dia pun tidak memiliki kekurangan seperti yang dia tuduhkan ke orang lain. Bila merujuk David Rosen, maka jelas bahwa Fahri Hamzah adalah politisi Machiavellian.

Ya, di satu sisi Fahri memang banyak mengritik presiden karena “fungsi legislatif” yang dianutnya. Di sisi lain, Fahri pun tak ragu untuk memuji presiden yang menurutnya bersih. Dia bisa membela Ganjar Pranowo-nya PDIP, namun bisa juga kembali bersekutu dengan Fadli Zon-nya Gerindra. Dengan kondisi tanpa partai, Fahri bisa saja bermain politik dua kaki, bahkan banyak kaki.

Tapi, hal ini tidak bermakna negatif. Menurut pengamat politik dari Voxpol Syarwi Chaniago, sosok politisi seperti Fahri justru dibutuhkan. Fahri dinilai dapat membuka mata publik dalam berbagai isu politik, ketika banyak politisi lain tidak mampu bersuara karena mata hatinya yang menjadi kabur.

Pujian dan kritik yang diberikan Fahri kepada pemerintah pun mampu menghadirkan substansi dan kualitas yang kerap membuat publik berpikir lebih jauh, ketimbang jatuh pada pembelahan dan polarisasi politik Jokowi vs Prabowo semata. Fahri bisa mengritik Jokowi, tetapi juga bisa mengritik Prabowo yang dinilai tidak dapat menjadi oposisi yang memberi solusi.

Juga berkat mulutnya, kepercayaan politik yang besar datang dari Dapilnya di NTB. Fahri berturut-turut mendapatkan peningkatan suara, sejak tahun 2004 sampai 2014, di kampung halamannya tersebut. Bahkan, pada 2009 dan 2014, Fahri membantu PKS menang mayoritas di NTB.

Beberapa pengamat menilai, PKS sendiri pasti merugi dengan melepas Fahri, karena NTB pasti tidak lagi jadi milik PKS. Melihat prestasi Fahri yang menjadi caleg PKS paling populer dan memiliki suara terbanyak, maka sebenarnya PKS lebih membutuhkan Fahri, daripada Fahri yang membutuhkan PKS.

Sehingga wajar bila Fahri terus diperebutkan oleh partai lain, selepas ditendang dari PKS. PKS mungkin lelah dengan sikap “keluar jalur”-nya Fahri. Dan begitu pula dengan partai-partai lain yang ingin menerima Fahri, harus siap menerima perangai politik Sang Singa Parlemen ini.

Tapi, beberapa pihak menilai Fahri akan kesulitan untuk pindah dari PKS karena dua faktor. Pertama, kedekatan Fahri dengan partai besutannya ini. Fahri, melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), adalah “bidan” dari pendirian PKS (dulu PK). Sehingga, secara moril Fahri dinilai kesulitan pergi dari PKS.

Belum lagi, Fahri menolak PKS dipecah belah oleh karena kisruhnya dengan sang Presiden Partai, Sohibul Iman. Padahal, bila Fahri egois dan memikirkan kepentingan politiknya seorang, dia bisa saja membentuk poros baru kepemimpinan PKS dan menghasilkan dualisme seperti yang terjadi dengan Golkar, PPP, atau Hanura. Akan tetapi, Fahri tidak mau, karena sepertinya dia masih mencintai PKS.

Kedua, karena Fahri akan kesulitan memenuhi tuntutan menjadi pendukung Jokowi bila ingin masuk Golkar. Sikapnya yang kritis dan terbiasa mengritik Jokowi selama ini dinilai sulit untuk diubah 180 derajat. Sangat mungkin terjadi goncangan dari publik dan pendukungnya karena manuvernya yang tiba-tiba mendukung Jokowi.

Mungkin ini yang menjadi pertimbangan Fahri sampai sekarang, bahwa dia lebih nyaman jadi politisi tanpa partai seperti sekarang, dengan upaya perlahan-lahan untuk merebut PKS kembali, mungkin saja. Karenanya, takut “diFahriHamzahkan” hanya berlaku buat Fadli, bukan buat Fahri. (R17)

Exit mobile version