Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana memberikan Bintang Mahaputera Nararya pada Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon meski keduanya kerap mengkritik pemerintah. Apakah ini bagian dari permainan politik ala Jokowi?
“It’s just like old times, the Dynamic Duo. Two old friends, why panic? You already know” – Eminem, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Bagi para penggemar film dan komik pahlawan super, aksi duo antar-karakter yang ada di dalam kisahnya tidak jarang menarik perhatian para penggemar. Rocket Raccoon dan Groot, misalnya, menjadi duo yang tidak terpisahkan dalam franchise milik Marvel yang berjudul Guardians of Galaxy.
Bagaimana tidak? Rocket dan Groot dikisahkan selalu mengarungi galaksi bersama. Bahkan, ikatan emosional terbangun di antara kedua tokoh Marvel ini.
Ikatan emosional mereka terlihat ketika Groot beberapa kali harus sirna ketika berjuang melawan kejahatan – seperti ketika berkorban melindungi para Guardians saat melawan Ronan dan menghilang akibat jentikan jari Thanos. Raut sedih langsung terlihat di muka Rocket.
Duo ini memang sangat erat ikatannya. Bahkan, ketika beraksi, Rocket dan Groot selalu kompak dalam saling memberikan kelebihan masing-masing.
Mungkin, hebatnya aksi duo ini juga eksis dalam perpolitikan Indonesia. Duo antara dua mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon, misalnya, selalu terlihat tajam ketika memberikan kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada periode pemerintahan 2014-2019.
Bahkan, karena saking seringnya melontarkan kritik, duo ini pernah dianggap menjadi politikus yang paling vokal pada tahun 2017. Dalam riset yang dilakukan oleh Indonesia Indicator, duo politikus ini kerap menjadi perhatian media melalui kritik-kritiknya.
Namun, di periode kedua pemerintahan Jokowi, keduanya tidak lagi menjabat sebagai pimpinan DPR. Alhasil, aksi duo ini pun tidak sering terlihat kembali.
Meski begitu, pemerintahan Jokowi ternyata memiliki rindu akan kehadiran sosok duo ini. Kerinduan ini sempat diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung pada Maret lalu. Selain Pramono, kerinduan juga diungkapkan oleh Presiden Jokowi ketika bertemu dengan Fahri di Istana Kepresidenan pada Juli lalu.
Mungkin, karena saking rindunya, mantan Wali Kota Solo itu akhirnya berencana untuk memberikan Bintang Mahaputera Nararya kepada Fahri dan Fadli pada Peringatan HUT ke-75 Kemerdekaan RI. Kabar ini pertama kali diberikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melalui akun Twitter-nya.
Meski begitu, dengan sikap kritis Fahri dan Fadli selama ini, keputusan Jokowi untuk memberikan tanda bintang jada ini tetap menyisakan beberapa pertanyaan. Mengapa sang presiden ingin memberikan penghargaan tersebut? Lantas, apa konsekuensi lanjutannya?
Politik Gelar dan Tanda Jasa
Bukan tidak mungkin, keputusan Jokowi untuk memberikan tanda jasa kepada Fahri dan Fadli memiliki landasan politis di baliknya meski sejumlah syarat telah dipenuhi secara hukum. Pasalnya, dalam sejarahnya, pemberian penghargaan, gelar, dan tanda jasa oleh pemimpin di negara-negara lain seperti ini juga meliputi alasan politis.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, telah diatur sejumlah persyaratan mengenai pemberian Bintang Mahaputera. Dalam Pasal 28 ayat (2), dijelaskan bahwa penerima perlu berjasa di berbagai bidang untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara.
Selain itu, poin dalam UU tersebut juga menyebutkan mengenai pengabdian dan pengorbanan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Darmabakti dan jasa penerima juga perlu diakui secara luas di tingkat nasional.
Bila mengacu pada poin-poin syarat tersebut, Fahri dan Fadli bukan tidak mungkin memenuhi syarat. Pasalnya, dua politikus ini memiliki pengalaman panjang di lembaga legislatif.
Meski begitu, pemberian penghargaan tanda jasa pada politisi yang kerap memberikan kritik pada Jokowi bisa saja membuat publik malah bertanya-tanya. Hal ini merujuk pada kebiasaan dan alasan pemimpin dalam memberikan penghargaan serupa.
Presiden-presiden di Amerika Serikat, misalnya, kerap memberikan gelar dan tanda jasa – dikenal sebagai Presidential Medal of Freedom (PMOF) – kepada kawan-kawan politiknya sendiri. Presiden Donald Trump, misalnya, menganugerahkan PMOF kepada Rush Limbaugh yang dikenal sebagai komentator politik konservatif dan pendukung Trump.
Kyle C. Kopko, Christopher Devine, dan E. Fletcher McClellan dalam tulisannya di The Conversation menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Trump merupakan upaya politisasi terhadap PMOF. Upaya seperti ini juga dilakukan oleh presiden-presiden AS sebelumnya.
Politisasi PMOF dengan memberikan medali penghargaan kepada kawan-kawan politik ini juga pernah dilakukan oleh Barack Obama. Pada masa kepresidenannya, Obama memberikan PMOF kepada figur-figur publik seperti Oprah Winfrey dan mantan Wakil Presiden AS Joe Biden.
Bila berkaca pada politisasi pemberian tanda jasa yang terjadi di AS, apakah Jokowi juga melakukan politisasi serupa? Jawabannya ialah bisa jadi. Pasalnya, di masa lalu, Jokowi juga memberikan Bintang Mahaputera Nararya pada para pendukungnya, seperti Sofyan Wanandi yang pernah tergabung dalam Pengusaha Pekerja Pro-Jokowi dan Arifin Panigoro yang pernah menjadi kader PDIP.
Bila memang pada umumnya pemberian tanda jasa ini dipolitisasi untuk kawan dan pendukung politik, lantas, untuk apa Jokowi memberikan penghargaan serupa pada pengkritiknya seperti Fahri dan Fadli? Apa yang ingin dicapai dari penganugerahan ini?
Bisa jadi, rencana pemberian bintang jasa ini merupakan pertanda bahwa Fahri dan Fadli kini berada di barisan pemerintahan. Pasalnya, Gerindra yang sebelumnya oposisi kini justru masuk menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Selain itu, Fahri yang kini berada di Partai Gelora juga sempat bersilaturahmi dengan presiden beberapa waktu lalu.
Politik Jawa ala Jokowi?
Namun, sebenarnya, alasan politis untuk menganugerahkan penghargaan tanda jasa oleh presiden meliputi berbagai macam landasan. Boleh jadi, Jokowi ingin memenuhi permainan politik ala Jawa dalam pemberian Bintang Mahaputera Nararya ini.
Kopko, McClellan, dan Devine bersama dua penulis lainnya dalam tulisan mereka yang berjudul The Politics of the Presidential Medal of Freedom menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan-alasan politis tersebut. Setidaknya, terdapat beberapa alasan politis yang mungkin saja mendasari keputusan Jokowi, seperti untuk membentuk warisan politik, meningkatkan kepercayaan publik (approval rating), menguatkan dukungan di antara kelompok konstituen, menarik kelompok konstituen baru, atau memberikan sinyal tertentu pada aktor-aktor politik lain.
Reagan, misalnya, menggunakan pemberian PMOF sebagai upaya untuk meningkatkan publisitas. Masa pemerintaha Reagan juga menjadi titik balik tertentu yang menjadikan PMOF sebagai alat politik.
Bukan tidak mungkin, berkaca dari Reagan, Jokowi juga ingin mencari perhatian publik. Pasalnya, pemberian Bintang Mahaputera pada sosok yang dikenal sebagai lawan politik seperti Fahri dan Fadli ini membuat publik penasaran.
Namun, di luar berbagai alasan politis itu, terdapat poin yang menarik dari penjelasan Kopko dan rekan-rekannya, yakni kekuatan simbolis (symbolic power) presiden. Dalam tulisan tersebut, mereka setidaknya menyebutkan bahwa pemberian PMOF di AS merupakan bentuk performatif yang menunjukkan bagaimana seorang presiden memiliki kekuatan simbolis yang bersifat unilateral.
Bukan tidak mungkin, kekuatan simbolis inilah yang tengah diincar Jokowi dengan menganugerahkan Bintang Mahaputera Nararya pada Fahri dan Fadli. Mungkin, kekuatan simbolis ini juga terlihat dari bagaimana Kasultanan Surakarta kerap memberikan penghargaan dan gelar bangsawan pada figur-figur publik, seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) dan Jokowi sendiri.
Tidak mengherankan apabila Jokowi menerapkan upaya yang sama guna menunjukkan kekuatan simbolis ini. Asumsi ini sejalan dengan konsep kekuatan ala Jawa yang pernah dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power.
Dalam buku tersebut, Anderson menyebutkan bahwa para pemimpin dan politisi Jawa kerap menggunakan ritual dan upacara tertentu sebagai upaya dan tanda untuk menunjukkan simbolisme politik. Konsepsi kekuatan dalam budaya politik Jawa juga menekankan pada pemusatan kekuatan pada sang penguasa – dalam hal ini adalah presiden.
Presiden Soekarno, misalnya, kerap mengadakan upacara tertentu untuk menunjukkan simbolisme pemusatan kekuatan ala Jawa. Mengacu pada Anderson, hal ini terlihat dari bagaimana Soekarno mengadakan pertunjukan wayang hingga pemanggilan terhadap tokoh-tokoh spiritual untuk mendukung perebutan Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat) dari Belanda.
Bisa jadi, simbolisme politik dan pemusatan kekuatan inilah yang ingin dicapai oleh Jokowi dengan memberikan tanda bintang jasa pada Fahri dan Fadli pada perayaan HUT ke-75 Kemerdekaan RI. Pasalnya, mereka juga merupakan figur yang dikenal oposan terhadap pemerintahan Jokowi.
Sederhananya, Fahri dan Fadli bisa jadi simbol “pusaka” yang kini dibutuhkan Jokowi. Situasi politik yang semakin tidak stabil – seperti penanganan pandemi Covid-19 yang lemah hingga kritik dari PDIP sendiri – bisa saja menjadi momen yang tepat untuk Jokowi kembali mengonsolidasikan pemusatan kekuatan ala Jawa ini.
Meski begitu, asumsi dan gambaran kemungkinan yang telah dijelaskan ini belum tentu benar melandasi keputusan Jokowi. Yang jelas, pemberian tanda bintang jasa ini bisa saja menjadi manuver politik lanjutan bagi Jokowi. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)