Setelah mengkritik Presiden Jokowi, Fadli Zon mendapat teguran dari Prabowo Subianto melalui Sekjen Gerindra. Selepas mendapat teguran, Fadli Zon diketahui tidak membuat tweet dalam beberapa hari dan mendapat tawaran untuk bergabung ke Partai Ummat. Apakah Fadli Zon akan meredup sebagai antagonis demokrasi?
“Every act of creation is first an act of destruction,” – Pablo Picasso, pelukis Spanyol
Fadli Zon memiliki sejarah panjang dengan Prabowo Subianto. Terpaut usia 20 tahun, Fadli Zon telah mengikuti Prabowo sejak era Orde Baru. Saat itu, alumnus Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI) ini menjadi juru bicara sang jenderal. Pernah pula ia satu panggung dengan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir ketika membahas dugaan pelanggaran HAM terhadap Prabowo.
Selepas Partai Ummat menawari Fadli Zon untuk bergabung, narasi kedekatannya dengan Prabowo terlihat mencuat dan menjadi headline pemberitaan berbagai media. Tawaran itu sendiri datang setelah Prabowo menegur Fadli Zon karena mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meresmikan sirkuit Mandalika meskipun belum mengunjungi banjir Sintang.
Menariknya, setelah ditegur, Fadli Zon terlihat puasa membuat tweet. Ini benar-benar fenomena yang tidak lazim. Rasanya asing mengetahui seorang Fadli Zon tidak mengomentari sesuatu.
Baca Juga: Keberanian Fadli Zon, Sebuah Perjudian?
Atas narasi yang beredar, berbagai pihak memberi tanggapan, termasuk dari Fahri Hamzah. Tegasnya, tidak mungkin Fadli Zon meninggalkan Partai Gerindra. Tidak hanya menjadi sahabat dekat Prabowo, pada 2007 bersama dengan Hashim Djojohadikusumo, Fadli Zon juga menginisiasi pembentukan Partai Gerindra.
“Beliau [Fadli Zon] adalah pendiri dan orang yang menemani Pak Prabowo pada masa-masa sulit membangun fondasi perjuangan partai sejak awal,” ungkap Fahri Hamzah.
Terlepas dari teguran yang menimpanya, sudah sejak lama Fadli Zon memang dikenal selalu keras mengkritik pemerintah. Ia kenal sebagai oposisi konsisten. Bahkan, setelah Gerindra bergabung ke kabinet, kekhasan itu juga tidak menghilang.
Lantas, apakah teguran ini akan membuat Fadli Zon bungkam, setidaknya untuk sementara? Atau justru kembali sebagai perannya sebagai antagonis demokrasi?
Agonisme
Terkait penggunaan istilah antagonis demokrasi, penulis terinspirasi dari gagasan seorang filsuf politik bernama Chantal Mouffe. Mengutip gagasan Carl Schmitt, Mouffe menegaskan bahwa politik dibangun di atas perbedaan “kita” dan “mereka” – us vs them.
Mempopulerkan istilah agonisme, Mouffe justru melihat konflik sebagai entitas positif. Dengan adanya konflik dan konfrontasi, itu menjadi penanda bahwa demokrasi yang lekat dengan budaya dialog dan kritisisme tengah hidup.
Konsep Mouffe ini dapat dikatakan sebagai kontra atas demokrasi deliberatif yang dicetuskan Jürgen Habermas – disebut Habermasian. Berbeda dengan Habermas yang meyakini adanya konsensus universal yang dapat dicapai melalui musyawarah, Mouffe justru mengatakan itu tidak mungkin terjadi.
Alasannya sederhana dan sangat prinsipil. Konsensus universal mensyaratkan setiap aktor yang terlibat dalam musyawarah memiliki rasionalitas yang sama, serta mendukung prinsip-prinsip etika dan politik yang sama.
Masalahnya, dalam masyarakat yang begitu plural, syarat itu tidak mungkin dapat terpenuhi. Ini yang mendasari terbentuknya teori pluralisme agonistik.
Mengutip Donny Gahral Adian dalam bukunya Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, pluralitas adalah kondisi sebuah ruang publik yang menjadi tempat setiap orang menyingkapkan keunikannya dan sekaligus mengakomodasi keunikan orang lain dalam mengambil keputusan bersama.
Oleh karenanya, pandangan Mouffe yang memandang positif konflik, pada dasarnya bertolak dari ketidakmungkinan penyeragaman tersebut. Jika terjadi penyeragaman, maka itu adalah pembungkaman. Ini yang terjadi di negara-negara otoriter seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Baca Juga: Fadli Zon, Metronom Rasionalitas Gerindra
Mengadopsi pandangan Mouffe, dapat dikatakan Fadli Zon berperan untuk menghidupkan diskursus politik di tengah iklim demokrasi. Kembali mengutip Donny, politik dapat dimaknai sebagai pertentangan gagasan. Ia hanya hidup apabila ada dialog, adu pikiran, dan konfrontasi intelegensia.
Terlepas dari tepat tidaknya kritik-kritik Fadli Zon, faktanya, kritik-kritik tersebut melahirkan atensi publik. Masyarakat menjadi aware atas suatu isu, kemudian membahas dan memperdebatkannya. Seperti kata Mouffe, hiruk pikuk ini adalah indikasi iklim demokrasi masih terjadi. Di bawah payung otoritarianisme, misalnya di zaman Orde Baru, perdebatan politik terbuka tentu tidak dapat terjadi.
Kritik Fadli Zon terhadap Presiden Jokowi, misalnya, membuka kesadaran publik bahwa terjadi banjir di Sintang, Kalimantan Barat. Di tengah euforia peresmian sirkuit Mandalika, atensi publik dan media terlihat tipis pada bencana tersebut.
Kembali menyinggung istilah antagonis, kita dapat menarik korelasinya dalam alur film atau novel. Untuk menghadirkan cerita yang menarik, mutlak dibutuhkan antagonis yang bersitegang dengan protagonis atau pemeran utama. Nah, Fadli Zon adalah antagonis terhadap pemeran utama, yakni kekuasaan.
Antagonis yang Penting
Selain melihatnya dari teori agonisme, fenomena Fadli Zon yang menjadi antagonis kekuasaan dapat pula dilihat melalui tiga kacamata lainnya, yakni creative destruction dari Joseph Schumpeter, metode kebidanan dari Socrates, dan konsep devil’s advocate.
Creative destruction atau yang juga dikenal dengan Schumpeter’s gale adalah sebuah konsep yang menjelaskan soal inovasi ekonomi dan siklus bisnis. Dengan menghancurkan suatu tatanan, objek, atau ide, kemudian muncul kreativitas untuk membuat yang baru dan lebih baik. Kita mengenalnya dengan inovasi.
Sebagai contoh, hadirnya Gojek dan Grab pada dasarnya adalah destruksi atau kehancuran bagi penyedia jasa transportasi tradisional, khususnya tukang ojek pangkalan. Namun, dari destruksi itu kemudian lahir inovasi dan transformasi pelayanan transportasi untuk masuk ke era digital. Sekarang, tidak hanya transportasi, kegiatan untuk berbelanja dan memenuhi berbagai kebutuhan harian lainnya dapat dilakukan hanya dengan mengklik tombol di ponsel pintar — benar-benar praktis dan efisien.
Nah, kritik-kritik Fadli Zon, dapat menjadi destruksi agar objek sasaran kritik dapat berbenah dan melakukan evaluasi. Kritiknya terhadap Presiden Jokowi terkait banjir di Sintang harus menjadi penyadar agar pemerintah pusat dan daerah segera melakukan evaluasi dan memberikan solusi.
Kemudian, metode kebidanan. Bagi yang mengikuti dan tertarik dengan kajian filsafat, pasti mengetahui Socrates tidak meninggalkan legacy tulisan seperti muridnya, Plato. Apa yang ditinggalkan Socrates adalah sebuah metode penyingkapan ide dan kritisasi yang disebut dengan kebidanan. Seperti namanya, metode ini bertolak dari peran bidan yang membantu melahirkan anak.
Anak yang lahir adalah ide, gagasan, kritisisme, atau setidaknya kesadaran atas suatu masalah. Mungkin dapat dikatakan, kritik-kritik Fadli Zon seperti itu. Ia berusaha melahirkan anak, yakni kesadaran atas suatu masalah.
Baca Juga: Fadli Zon Ingin Mahasiswa “Bangun”?
Terakhir, Fadli Zon mungkin berperan sebagai devil’s advocate. Istilah ini bertolak dari seorang pejabat Katolik Roma yang bertugas untuk memeriksa secara kritis bukti yang menjadi dasar tuntutan. Konsep ini kemudian dipahami sebagai seseorang yang mempertanyakan penalaran atau argumentasi yang kurang bisa diterima. Singkatnya, devil’s advocate adalah istilah yang ditujukan kepada mereka yang memantik diskusi.
Nah, seperti penjabaran sebelumnya, Fadli Zon sekiranya tepat disebut sebagai devil’s advocate. Tweet dan segala kritiknya adalah pemantik diskusi. Sekalipun tidak tepat, itu membuat banyak pihak aware dan tertarik untuk berkomentar.
Jika memilih dari tiga kacamata tersebut, yang paling tepat mungkin adalah devil’s advocate. Pasalnya, creative destruction mensyaratkan adanya intensi untuk membuat perubahan. Ada kemungkinan kritik Fadli Zon tidak memiliki intensi seperti itu.
Kemudian metode kebidananan, rasanya jelas bahwa Fadli Zon tidak berlaku seperti Socrates. Ia seringkali hanya melempar kritik dan tidak terlibat dalam diskursus panjang dan mendalam.
Sebagai penutup, suka atau tidak, Fadli Zon sekiranya dapat disebut sebagai antagonis demokrasi yang penting. Sosoknya diperlukan di tengah iklim demokrasi agar diskursus tetap hidup. Seperti tweet Fahri Hamzah pada 18 November, jangan kapok ya, Bro Fadli Zon. Tetaplah kritis dan giat memantik diskursus publik. (R53)