Site icon PinterPolitik.com

Fadli Zon, Pujangga Lini Masa

puisi Fadli Zon

Fadli Zon membaca puisi (Foto: twitter.com/fadlizon)

Dalam beberapa waktu terakhir, puisi-puisi Fadli Zon menjadi perbincangan masyarakat dunia maya.


Pinterpolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]arakter Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta membangkitkan kembali gairah anak muda tahun 2000-an kepada sastra dan puisi. Sosoknya yang gemar menulis puisi, membuat karakternya begitu digemari gadis-gadis remaja kala itu. Rangga berhasil membuat puisi menjadi keren dan kembali relevan di masa itu.

Kini, upaya untuk merawat relevansi puisi itu tampak hadir melalui sosok Fadli Zon. Tenang dulu penggemar Rangga, secara fisik Fadli memang tak mirip dengan Nicholas Saputra pemeran Rangga di film tersebut. Akan tetapi, sama seperti Rangga, Fadli gemar menulis puisi.

Berbeda dengan Rangga, puisi-puisi gubahan Fadli lebih banyak mengambil tema-tema politik alih-alih percintaan. Secara spesifik, puisi Fadli kerap dianggap sebagai puisi politik karena berisi ekspresi protes atau keresahan pada pemerintahan saat ini.

Sayangnya, jika Rangga mendapat hadiah melalui puisinya, puisi Fadli terkadang tak mendapatkan respons sepositif puisi Rangga. Setiap kali Fadli menulis puisi, lini masa Twitter memang dibuat heboh, tetapi tak semuanya berisi apresiasi kepada karya itu.

Terlepas dari hal itu, puisi sebenarnya kerap menjadi ekspresi efektif termasuk dalam politik. Boleh jadi, itu sebabnya Fadli terus menulis puisi bertema politik. Lalu, bagaimana sebenarnya peran puisi dan politik terutama dalam konteks Fadli Zon?

Puisi dan Politik

Sekilas, puisi dan politik kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak saling berhubungan. David Orr menggambarkan bahwa politik menjadi arena non-artistik yang paling tidak disukai oleh jenis-jenis puisi tertentu.

Selain itu, kritikus seperti A.L. French misalnya, mengkritisi bahwa ketika puisi dan politik dihubungkan, porsi pesan politiknya mengalahkan kualitas dari puisinya itu sendiri. Ia menggambarkan ini ketika membahas puisi milik John Dryden, seorang penyair asal Inggris.

Fadli Zon ini, pujangga revolusioner atau penyair lini masa saja? Share on X

Dalam perjalanannya, puisi dan politik kemudian menjadi kerap saling berhubungan. Oleh karena itu, political poetry atau puisi politik menjadi salah satu bentuk puisi yang lazim ditemui dan dianggap menjadi medium ekspresi yang efektif dalam hal politik.

Menurut Orr, puisi dan politik saling terhubung melalui ekspresi dan perasaan, keduanya dianggap sebagai bentuk persuasi. Pada titik itu, puisi politik dapat terhubung pada perasaan orang, sementara politik terhubung pada kondisi terkini.

Dalam kadar tertentu, tradisi puisi bernada politik dianggap telah diawali di era Romawi. Horace, salah satu pujangga era tersebut memiliki pandangan politik khusus yang dianggap mempengaruhi karya-karya puisinya.

Jika mengambil contoh tradisi puisi Indonesia, puisi dan politik dapat ditemui sejak era perjuangan kemerdekaan. Karya-karya miliki Chairil Anwar misalnya, kerap menjadi contoh puisi-puisi perjuangan yang populer di mata masyarakat.

Selain itu, ada pula sosok penyair Widji Thukul yang puisi-puisinya menjadi pengisi ruang-ruang diskusi era Orde Baru terutama yang terkait dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pengaruh puisi yang menakutkan bagi rezim kala itu membuatnya harus menghilang bahkan hingga kini.

Jika dieksekusi dengan baik, puisi politik dapat menjadi bahan bakar yang penting bagi perubahan politik. Tidak berlebihan jika kemudian ada puisi yang dianggap revolusioner karena pengaruhnya yang fenomenal dalam masyarakat.

Pandangan tentang puisi revolusioner ini muncul misalnya dari Lucia Trent dan Ralph Cheyney. Menurut mereka, penciptaan nilai dalam ranah emosi adalah fungsi dari puisi. Mereka menambahkan bahwa puisi dan propaganda adalah dua sisi dalam perisai yang sama. Menurut mereka, pujangga sejati adalah juga aktor propaganda.

Fadli dan Puisinya

Lalu bagaimana dengan puisi-puisi Fadli Zon? Apakah puisi-puisi politiknya di lini masa Twitter sudah memiliki unsur propaganda yang revolusioner seperti digambarkan oleh Trent dan Cheyney?

Jika ditelusuri, Fadli sebenarnya tampak memiliki kecintaan besar kepada dunia sastra. Sejak masih remaja, Fadli telah menulis puisi, meski skala publikasi dan pengenalan masyarakatnya tidak sebesar sekarang. Selain itu, semasa kuliah, Fadli juga menempuh studi Sastra Rusia, sehingga interaksinya dengan dunia sastra semakin intens.

Kedekatan Fadli dengan dunia puisi juga dapat terlihat melalui kiprahnya di majalah sastra Horison. Di majalah yang dipelopori oleh Mochtar Lubis, Arief Budiman, Taufiq Ismail dan kawan-kawan ini, Fadli didapuk sebagai redaktur.

Melalui interaksinya dengan dunia puisi tersebut, Fadli kemudian menjadi sangat rajin menggunakan jenis sastra tersebut dalam kiprah politiknya. Dalam beberapa waktu terakhir misalnya, puisi-puisi Fadli Zon kerap menjadi penghangat obrolan di media massa maupun media sosial.

Sebenarnya, puisi politik Fadli sudah mulai menjadi bahan obrolan sejak Pemilu 2014. Kala itu, ia sempat membuat heboh melalui puisi berjudul Raisopopo. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menyindir salah satu kandidat presiden yang berlaga di tahun tersebut.

Di tahun 2019, Fadli telah membuat heboh dengan puisi Doa yang Tertukar yang menuai protes keras dari sejumlah elemen Nahdlatul Ulama. Kini, yang teranyar, Sajak Orang Kaget, menjadi puisi lain yang menuai sorotan tajam dari masyarakat.

Jika diperhatikan, puisi-puisinya selama dua tahun terakhir kerap menggambarkan ekspresi oposisinya terhadap pemerintahan berkuasa saat ini. Kritik demi kritik dikeluarkan Fadli melalui untaian kata-kata dalam puisinya.

Lalu, apakah puisi Fadli tersebut memiliki dampak revolusioner seperti yang diungkapkan oleh Trent dan Cheyney? Jika kondisi saat ini yang menjadi rujukannya, puisi-puisi Fadli Zon tampaknya masih belum bisa menjadi propaganda kuat yang menggerakkan orang.

Alih-alih menjadi puisi yang menggerakkan banyak orang, puisi Fadli Zon justru malah menjadi sumber kontroversi. Kritik dan protes keras justru kerap muncul ketika Fadli mengirim puisi-puisinya di lini massa media sosial.

Tentu, jika mau adil menilai, kritik dan protes keras tersebut memang selalu bersumber dari kelompok pendukung pemerintah. Puisi-puisi Fadli Zon bahkan kerap menjadi bahan perundungan dan lelucon dari kelompok tersebut.

Meski demikian, di kalangan oposisi pemerintah sekalipun, puisi Fadli juga masih belum bisa dianggap sebagai propaganda yang benar-benar kuat. Tentu, karya-karya gubahan Fadli amat populer dan digemari di kelompok tersebut. Akan tetapi, suara-suara keresahan Wakil Ketua DPR RI ini tampaknya masih amat minim dampak perubahannya.

Jika mengambil contoh ekstrem misalnya, puisi-puisi Fadli Zon masih belum bisa disetarakan dengan karya-karya puisi yang dibuat oleh Subcommandante Marcos di Meksiko. Kata-kata puitisnya berhasil memukai masyarakat Meksiko, sehingga gerakan revolusioner bersenjata Zapatista menjadi amat besar.

Pada titik tersebut, memang puisi-puisi Fadli Zon menjadi karya yang amat populer, terutama di mata netizen pemantau proses Pilpres 2019. Akan tetapi, dampaknya masih belum bisa dikatakan masif untuk bisa menggiring perubahan.

Jika pernyataan Trent dan Cheyney yang menjadi acuannya, Fadli masih memiliki pekerjaan rumah jika ingin disebut sebagai pujangga sejati. Masih diperlukan sebuah masterpiece dari seorang Fadli jika ingin puisi politiknya memiliki dampak yang besar.

Pada akhirnya, tidak ada yang bisa dan berhak menghalangi Fadli untuk berkarya lewat puisi. Akan tetapi, jika karya-karya hanya menjadi obrolan dan menimbulkan riuh di media saja, maka ia hanya akan menjadi pujangga lini masa saja, alih-alih menjadi seorang ahli propaganda. (H33)

Exit mobile version