Site icon PinterPolitik.com

Fadli Zon, Metronom Rasionalitas Gerindra

Meski Gerindra telah merapat ke kekuasaan, Fadli Zon tetap konsisten dengan berbagai kritik tajamnya ke pemerintah. Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum partai dinilai “merestui” manuver salah satu kader terbaiknya itu untuk sebuah tujuan tertentu. Gerangan apakah itu?


PinterPolitik.com

Bagi siapapun yang mengamati jagat politik tanah air, sosok Fadli Zon memang selalu meninggalkan impresi kontroversial. Ketika partainya, Gerindra, berada di barisan seberang pemerintah pada tahun 2014 hingga 2019 lalu, Fadli Zon tampak menjadi sosok antagonis bagi pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dengan bombardir komentar tajamnya kala itu.

Akan tetapi, mekanisme teoretis diputarbalikkan oleh Fadli Zon saat Gerindra berfusi dengan pemerintah saat Prabowo Subianto menerima amanah sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) republik. Betapa tidak, sampai detik terakhir isu kemarahan Presiden Jokowi terhadap para menterinya, Fadli Zon tak sedikitpun mengurangi determinasi konsistennya dalam bersikap kritis terhadap lingkaran Istana.

Masih pada konteks kemarahan Jokowi, Fadli tanpa ragu menyinggung Presiden Jokowi sendiri sebagai sosok yang seharusnya bisa mengakomodir menterinya jika berkaca pada bahwa tidak ada visi dan misi menteri, namun yang ada adalah visi dan misi presiden.

Tak hanya pada isu tersebut, hampir setiap kebijakan pemerintah yang dinilai kontraproduktif bagi kepentingan bangsa tak luput menjadi sasaran empuk cecaran mantan aktivis ‘98 itu, bahkan sejak Gerindra tak lagi berlawanan dengan pemerintah.

Mulai dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang disebut akan memperkuat lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan justru menyarakan untuk membubarkan lembaga yang ia nilai tak penting tersebut, hingga menyebut demokrasi Indonesia saat ini abal-abal karena dikuasai para cukong.

Jika masih belum cukup, publik dapat dengan mudah menemukan tindak tanduk Fadli Zon sebagai kritikus ulung melalui mesin pencari di gawai masing-masing atau mengunjungi sosial media pribadi sosok yang juga merupakan senator di Komisi I tersebut.

Lantas, pertanyaan mendasar yang mengemuka ialah mengapa Fadli Zon mempertahankan rasionalisasi kritisnya kepada pemerintah ketika Gerindra, bahkan sang Ketua Umum serta beberapa kolega separtainya telah menempati jabatan strategis dalam kekuasaan?

Bagaikan Vladimir Lenin?

Fadli Zon sempat vakum dari hingar bingar politik tanah air usai pesta demokrasi pemilu 2019 lalu. Ketika itu, comebacknya ditandai dengan pernyataan yang kiranya dapat menjawab manuvernya saat ini terhadap pemerintah.

Pekan pertama November 2019, Fadli kembali buka suara, setelah “puasa bicara” selama kurang lebih satu bulan setelah pemilu, dengan pernyataan sikap yang jika publik cermati, jarang terjadi dalam konstelasi politik dalam negeri.

Ketika itu Wakil Ketua Umum Gerindra ini berkomitmen akan tetap mengkritisi pemerintah  meskipun partainya telah berkonsolidasi dalam “gerbong” Jokowi.  Alasannya pun cukup baik ketika berlandaskan para perspektif bahwa sikap kritis itu adalah bagian dari vitamin demokrasi.

Sosok Fadli Zon yang tampil dengan visi seperti ini, suka tidak suka memang tak banyak atau bahkan hampir tidak ada selama era reformasi Indonesia setelah tumbangnya kepemimpinan panjang Soeharto.

Wolfhard F Boeselager dalam publikasinya yang berjudul  The Soviet Critique of Neopositivism menyebutkan sosok Pemimpin Uni Soviet pertama, Vladimir Lenin sebagai seorang political genius atau jenius politik ketika tokoh revolusioner ini memiliki visi pragmatis cenderung oportunis pada semua situasi praduga politik atau disebut  Boeselager sebagai political question.

Lebih lanjut, Boeselager melihat Lenin sebagai jenius politik karena sikap konsistennya dengan pandangan bahwa aksi lebih penting daripada teori. Hal ini sendiri menjadi salah satu faktor penentu yang mendasari keberhasilan tokoh yang bernama asli Vladimir Ilyich Ulyanov ini untuk menasbihkan kekuasaannya di atas negeri yang kemudian bernama Uni Soviet.

Prinsip politik Lenin di atas tampaknya dipraktikkan dengan paripurna oleh Fadli Zon dengan mendobrak teori serta aksioma bahwa ketika satu pihak telah berkoalisi dengan pemerintah, maka otomatis orang-orang dalam pihak tersebut dipastikan akan selaras dengan pemerintah dan mustahil bersikap “melawan”.

Pun, pada kesempatan comebacknya November silam ketika mengatakan bahwa kritik adalah tanda kepedulian terhadap bangsa dan negara, ketimbang diam apalagi sekadar menjadi penjilat. Meskipun pada awalnya konteks ini dimaknai skeptis oleh beberapa kalangan, nyatanya hingga saat ini Fadli membuktikan komitmennya itu bukan isapan jempol belaka.

Adalah sebuah kebetulan kiranya ketika terdapat korelasi saat merefleksikan Fadli Zon dengan tulisan Boeselager yang mengedepankan sosok Vladimir Lenin.  Pernah mengenyam pendidikan Sastra Rusia di Universitas Indonesia (UI), membuat pemikiran-pemikiran tokoh besar Rusia maupun negara pendahulunya agak sulit untuk dipungkiri turut memperkaya fundamental berpikir Fadli.

Pada beberapa kesempatan, Fadli Zon juga tak sungkan menunjukkan bahwa negeri Tirai Besi memiliki tempat istimewa di hatinya. Misalnya di sela agenda menghadiri forum internasional parlemen yang dihelat di Moskow pada Juli 2019 lalu, dirinya menyempatkan waktu untuk mengunjungi makam sastrawan serta penyair terkemuka era Uni Soviet seperti Nikolai Gogol, Anton Chekov, Vladimir Mayakovsky, hingga Mikhail Bulgakov.

Tentu, keabsahan korelasi riil deskripsi di atas masih belum terverifikasi sampai Fadli Zon mengkonfirmasi hal tersebut. Paling tidak, determinasi Fadli melalui berbagai pandangan kritisnya akan persoalan bangsa, yang tak terpaku pada teori mengenai kedudukannya secara pribadi serta partainya saat ini, acapkali in line dengan apa yang menjadi keresahan publik.

Kendati demikian, secara kasat mata kritik kepada pemerintah yang jamak ditampilkan oleh Fadli Zon dinilai berisiko bagi kredibilitas serta konsistensi partai Gerindra. Dan pada saat yang sama, Prabowo Subianto justru terkesan membiarkan partner yang turut mendirikan partai tersebut bermanuver ria. Mengapa demikian?

Strategi Taktis?

Tommy Moller dalam sebuah tulisannya yang berjudul Political Party Dynamics and Democracy in Sweden: Developments Since the ‘Golden Age’ menyebutkan bahwa terdapat nilai positif dari sikap oportunistik dalam perkembangan dinamika demokrasi, yakni tactical advantage atau keuntungan taktis berupa fleksibilitas untuk dapat selaras dengan apa yang publik inginkan.

Pada konteks ini, Prabowo tampaknya memahami adanya keuntungan secara taktis dari sikap dan berbagai manuver Fadli Zon, yang jika dilihat sepintas akan meninggalkan kesan oportunistik, baik baginya sendiri maupun bagi Gerindra. Keuntungan tersebut yakni berupa eksistensi dan legitimasi partai dalam kancah politik level tertinggi di Indonesia yang sangat dinamis.

Jika berkaca pada sebuah pernyataan Prabowo dalam rangka hari jadi partai Gerindra ke-10 pada 2018 silam, mantan Danjen Kopassus itu mengungkapkan afirmasi bahwa Fadli Zon ialah sosok yang kontroversial. Namun Prabowo menutup pernyataannya itu dengan mengatakan bahwa dalam dinamikanya demokrasi membutuhkan kontroversi, sepanjang tak mengganggu kedamaian dan ketenteraman bangsa.

Dengan tendensi tersebut, cukup masuk akal jika pada periode ini, Fadli Zon sengaja tidak ditempatkan pada posisi “pelaksana” strategis yang mewakili Gerindra secara umum. Gerindra justru menunjuk Sufmi Dasco Ahmad sebagai pimpinan (Wakil Ketua) DPR yang pada periode sebelumnya dinilai cukup sukses diperankan oleh Fadli Zon.

Sementara untuk juru bicara partai, dari lima orang yang ditunjuk Prabowo, tak ada nama Fadli, di mana hal ini sempat menimbulkan penafsiran liar publik terkait gerangan apa yang sedang terjadi di internal Gerindra, terutama terkait hubungan Prabowo dan Fadli Zon.

Hubungan Fadli Zon dan Prabowo sendiri telah cukup lama terbangun. Pada awal reformasi misalnya, Fadli Zon memiliki argumen kuat ketika “membela” Prabowo dalam tragedi 1998 yang ia tunjukkan dalam sebuah dialog di salah satu stasiun televisi nasional bersama mendiang Munir.

Harmoni keduanya makin kental saat bersama-sama mendirikan partai Gerindra dan membesarkannya hingga kini. Oleh karena itu, penempatan posisi serta kesan pembiaran manuver Fadli Zon dinilai bertujuan agar dirinya lebih “leluasa”.

Leluasa dalam artian Fadli Zon dapat terus bermanuver kritis terhadap pemerintah yang sedang terseok-seok dalam misi menjadi seorang metronom atau penyeimbang untuk tetap mempertahankan legitimasi partai inheren yang ia bawa, serta keuntungan taktis jika dinamika politik membuat kondisi pemerintahan bergejolak.

Semangat Fadli Zon dalam kapasitasnya sebagai politisi dengan berdemokrasi secara fair patut diapresiasi. Menarik kiranya untuk menantikan berbagai manuvernya pada kesempatan serta dinamika politik dan pemerintahan ke depan yang terus bergulir di tengah pandemi ini. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version