Partai Gerindra yang dipimpin oleh Ketua Umum (Ketum) Prabowo Subianto telah menyusun susunan kepengurusan baru untuk tahun 2020-2025. Menariknya, Fadli Zon kini menduduki posisi Wakil Ketua Umum (Waketum) Bidang Luar Negeri. Apa harapan Prabowo dari posisi baru Fadli ini?
“First, you both go out your way and the vibe is feeling strong and what’s small turned to a friendship. A friendship turned to a bond” – Wiz Khalifa, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Bagi mereka yang suka menonton film sekaligus mengilhami musik dan lagu, franchise film yang berjudul Pitch Perfect tentu bukanlah hal yang asing lagi. Franchise satu ini telah diproduksi hingga tiga sekuel sejak film pertamanya dirilis pada tahun 2012 hingga film terbarunya pada tahun 2017.
Sebagian besar, franchise film asal Hollywood ini mengisahkan perjalanan sebuah grup penyanyi acapella yang beranggotakan murid-murid perempuan. Grup yang bernama Barden Bellas itu harus mengarugi berbagai tantangan dan hambatan dalam upayanya meraih juara di berbagai kompetisi.
Namun, seiring berjalannya waktu, kekompakan dan pertemanan mereka harus mengalami perubahan. Lulusnya sejumlah anggota senior, misalnya, membuat grup acapella ini harus melalui berbagai perpisahan.
Meski begitu, anggota-anggota baru pun turut datang menggantikan mereka yang telah lulus. Dengan anggota-anggota baru, sudah pasti Barden Bellas harus memikirkan berbagai formasi dan rencana baru.
Pasalnya, bagaimana pun, seiring perubahan yang terjadi, tantangan di dunia kompetisi mereka juga berubah-ubah. Tidak dapat dipungkiri strategi dan formasi baru perlu disiapkan juga.
Mungkin, apa yang dilakukan oleh Barden Bellas ini kini juga tengah dilakukan oleh Partai Gerindra di tengah situasi politik yang semakin tidak pasti akibat pandemi Covid-19. Pasalnya, partai berlambang kepala garuda tersebut baru saja mengumumkan susunan pengurus barunya untuk periode 2020-2025.
Layaknya Barden Bellas, sejumlah nama lama juga tergantikan. Arief Poyuono, misalnya, disebut tidak akan lagi mengisi formasi pengurus DPP Partai Gerindra.
Di sisi lain, beberapa nama baru disebut mengisi formasi baru yang dipimpin oleh Ketua Umum Prabowo Subianto ini. Nama-nama seperti Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Putih Sari, dan Susi Bachsin disebut-sebut menjadi penyumbang bagi formasi baru yang memiliki keterwakilan perempuan hingga sebesar 33,56 persen.
Mungkin, pergantian sosok dianggap oleh Prabowo dapat menjadi langkah baru bagi Gerindra dalam melangkah dalam situasi yang dinamis. Namun, selain nama baru, Menteri Pertahanan (Menhan) tersebut juga mengubah sejumlah fungsi dari nama lama.
Fadli Zon yang sebelumnya merupakan Wakil Ketua Umum (Waketum) Bidang Politik Dalam Negeri, misalnya, kini mendapatkan fungsi dan jabatan yang berbeda. Mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut sekarang dipercayakan untuk menjabat sebagai Waketum Bidang Luar Negeri – sesuatu yang kontras dengan jabatan sebelumnya.
Bukan tidak mungkin, jabatan baru Fadli ini dapat menjadi pertanyaan bagi sebagian masyarakat. Pasalnya, Fadli memang merupakan salah satu sosok penting di partai berlambang kepala garuda tersebut.
Kira-kira, mengapa Prabowo memutuskan untuk menempatkan Fadli untuk menjadi Waketum di bidang luar negeri? Apa signifikansi yang dimiliki oleh sebuah partai politik dalam panggung politik internasional?
Menuju Panggung Internasional
Boleh jadi, Prabowo ingin membawa Gerindra menuju panggung politik internasional dengan menunjuk Fadli. Pasalnya, partai politik tentu dapat juga menjadi aktor non-negara dalam hubungan internasional.
Dalam politik internasional, para aktor yang berperan biasanya memang adalah negara. Namun, semakin ke sini, aktor-aktor non-negara juga memainkan peran yang penting.
Beberapa aktor non-negara tersebut bisa berupa organisasi masyarakat, komunitas epistemik (seperti akademisi dan ahli), dan kelompok-kelompok informal lainnya. Tidak jarang, mereka juga memiliki pengaruh yang turut menentukan dalam pengambilan kebijakan luar negeri.
Peran aktor non-negara sebenarnya juga dapat dimainkan oleh partai politik. Biasanya, partai politik membentuk sebuah organisasi dan asosiasi yang berisikan partai-partai politik yang berasal dari berbagai negara.
Kelompok ini disebut dengan istilah Political International (PI). Pada umumnya, PI didirikan berdasarkan kesamaan ideologi dan spektrum politik. PI juga dapat menjadi wadah bagi partai-partai politik untuk saling berbagai pengalaman dan pengetahuan.
Salah satu contoh PI yang masih eksis adalah Progressive Alliance (PA) yang sebagian besar anggotanya merupaka partai-partai politik berhaluan sosial-demokratis dan progresif. Sejumlah partai politik anggota yang berasal dari Indonesia adalah PDIP dan Nasdem.
PI satu ini pernah melangsungkan pertemuan kawasan pada tahun 2015 silam. Dalam pertemuan tersebut, partai-partai anggota PA mendorong agar negara-negara menghentikan persekusi terhadap oposisi – khususnya Anwar Ibrahim yang kala itu terjerat kasus sodomi.
Bisa jadi, Gerindra tengah ingin mengikuti jejak PDIP dan Nasdem yang telah terlebih dahulu melebarkan jaringannya di dunia internasional. Dengan begitu, Gerindra dapat menjalin hubungan yang lebih dekat dengan partai-partai politik di negara lain.
PDIP, misalnya, menjalin hubungan dekat dengan sejumlah partai di beberapa negara besar, seperti Tiongkok dan Jepang. Partai berlambang banteng tersebut menjalin kerja sama dan menjalankan sejumlah pertemuan dengan Partai Komunis Tiongkok (CCP) dan Partai Liberal Demokratis Jepang (LDP).
Namun, di balik keinginan Gerindra untuk menuju panggung politik internasinonal, masih tersisa sejumlah pertanyaan. Mengapa Fadli yang akhirnya dipilih oleh Prabowo? Manuver apa yang mungkin ingin dicapai oleh Ketum Gerindra tersebut?
Cari Kawan?
Boleh jadi, dengan ditempatkannya Fadli sebagai Waketum Bidang Luar Negeri, Prabowo ingin mendapatkan jaringan tertentu dengan aktor-aktor di negara lain seperti partai politik. Pasalnya, mantan Wakil Ketua DPR tersebut bisa jadi memiliki modal politik tertentu.
Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital menjelaskan bahwa politisi memiliki modal tertentu yang dapat digunakan dalam karier politiknya. Dengan menggunakan pemikiran Pierre Bourdieu – filsuf asal Prancis, Casey menjelaskan bahwa modal politik dapat bersumber dari berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, modal sosial, modal sumber daya manusia, modal institusional, dan sebagainya.
Modal-modal tersebut dapat ditransformasikan menjadi modal politik yang dikerahkan guna mencapai fungsi dan tujuan politis. Jabatan di suatu institusi, misalnya, dapat menjadi modal politik yang dikerahkan untuk memengaruhi dinamika politik.
Bukan tidak mungkin, Fadli memiliki sejumlah modal tersebut. Modal sosial yang didapatkan dari asosiasi dan relasi sosial dengan sejumlah nama di luar negeri, misalnya, dimiliki oleh mantan Wakil Ketua DPR untuk ditransformasikan menjadi modal politik.
Fadli dalam pengalamannya pernah bersekolah tingkat menengah atas di Amerika Serikat (AS). Bisa jadi, dengan pengalaman tersebut, Waketum Gerindra itu memiliki relasi yang erat dengan mereka yang ada di negara Paman Sam tersebut.
Selain itu, Fadli juga memiliki modal institusional yang memperbolehkan dirinya untuk bertemu dengan para politisi di negara lain. Sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR, mantan Wakil Ketua DPR tersebut dapat menjalin dengan para politisi di negara lain.
Dalam beberapa kesempatan, Fadli juga pernah bertemu dengan politisi asal AS – baik secara langsung maupun. Menariknya, Ketua BKSAP tersebut tidak hanya menjalin komunikasi dengan politisi dari satu partai saja, melainkan dengan dua partai besar AS, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik virtual – seperti John Boehner (R), Nancy Pelosi (D), Tammy Duckworth (D), dan Ted Yoho (R).
Boleh jadi, melalui Fadli, Prabowo ingin Gerindra dapat membangun komunikasi dengan dua kubu partisan itu. Pasalnya, pemerintahan Donald Trump di AS juga mengalami tekanan akhir-akhir ini akibat pandemi Covid-19 – dan ini bisa saja berdampak pada hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) AS pada tahun 2020 ini.
Boleh jadi, dengan menjalin komunikasi yang lebih luas, Prabowo dan Gerindra dapat mengantongi “dukungan politik” untuk pesta demokrasi pada tahun 2024 mendatang. Pasalnya, dalam berbagai kesempatan, dukungan pemerintah AS bisa saja turut memengaruhi hasil Pemilu di negara lain.
Meski Prabowo dan Gerindra disebut-sebut telah dekat dengan pemerintahan Trump – bahkan Fadli pernah datang sebuah kegiatan kampanye pebisnis tersebut pada tahun 2015 silam, instabilitas pemerintahan Trump boleh jadi membuat Prabowo berusaha menjalin komunikasi dengan Demokrat yang kini mencalonkan mantan Wakil Presiden AS Joe Biden.
Di sisi lain, tidak hanya AS, Fadli bisa juga memiliki modal yang juga dapat digunakan untuk mendekati negara besar lainnya, yakni Rusia. Pasalnya, mantan Wakil Ketua DPR tersebut memiliki modal sumber daya manusia (human capital) berupa pengalaman, keahlian, dan edukasi.
Fadli pernah menjalani pendidikan sarjana di Universitas Indonesia di program Studi Rusia. Ketua BKSAP tersebut juga menggemari karya-karya sastra asal negara tersebut. Bisa jadi, ini dapat menjadi modal Fadli untuk menjalin hubungan dengan para politisi di Rusia.
Pada intinya, dengan berbagai modal tersebut, Prabowo bisa jadi berharap pada kemampuan Fadli agar Gerindra dapat menjalin hubungan dan komunikasi dengan aktor-aktor politik lainnya. Bagaimana pun juga, seperti lirik rapper Wiz Khalifa di awal tulisan, pertemanan dapat menjadi ikatan tertentu – entah ikatan yang seperti apa pada akhirnya. (A43)