Site icon PinterPolitik.com

Fadli Zon Ingin Mahasiswa “Bangun”?

Mantan aktivis'98 yang juga anggota DPR RI, Fadli Zon.

Mantan aktivis '98 yang juga anggota DPR RI, Fadli Zon. (Foto: suaradewan.com)

Berbagai kebijakan pemerintah yang acapkali dinilai kontraproduktif oleh publik silih berganti terus ditelurkan. Absennya partisipasi politik, utamanya dari mahasiswa sebagai penyambung aspirasi rakyat dalam demokrasi, ditengarai berkontribusi bagi kemudaratan tersebut. Lantas apakah yang sebenarnya terjadi pada fenomena langkanya gerakan mahasiswa yang efektif berperan pada pembuatan keputusan pemerintah saat ini?


PinterPolitik.com

Publik tanah air tak henti dibuat geleng-geleng kepala dengan serangkaian kebijakan kontraproduktif pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terutama di tengah pandemi Covid-19 saat ini.

Mulai dari kontroversi berbagai rancangan regulasi, absurdnya bermacam “jurus” penanganan pandemi, hingga beragam aksi teatrikal nan hipokrit dari para elite telah jamak menjadi konsumsi publik dan dinilai akan berdampak minor bagi demokrasi jangka panjang di Indonesia.

Isu yang cukup hangat dan mengusik benak publik ialah terkait kebijakan penempatan aparat dengan status aktif di berbagai lini birokrasi sipil, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih bahkan menyoroti adanya indikasi pelanggaran beberapa Undang-Undang (UU) sekaligus pada kebijakan tersebut.

Hal ini juga disoroti oleh anggota Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang cukup vokal mengkritisi beragam kebijakan kontroversial pemerintah meskipun “kubunya” berada di barisan pemerintah. Fadli mengatakan penempatan perwira aktif di tatanan birokrasi berbagai lembaga pemerintah yang tak ada kaitannya dengan bidang keamanan, bukan lagi mencerminkan Dwifungsi saat era Soeharto, namun bahkan menyebutnya dengan istilah “Multifungsi”.

Entah publik sadari atau tidak, ungkapan dari Fadli Zon itu tampaknya tak hanya fokus pada konteks persoalan tersebut belaka. Pemilihan frase Multifungsi yang dikomparasikan lebih berbahaya daripada Dwifungsi, dinilai sebagai “kode” tersendiri bagi kesadaran partisipasi politik konkret semua pihak, termasuk mahasiwa, terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang disinyalir terus menggerus fundamental demokrasi.

Ya, penghapusan peran Dwifungsi aparat menjadi salah satu tuntutan yang membangkitkan partisipasi politik masif secara konkret dari berbagai elemen masyarakat, di mana ketika itu dipelopori solidaritas serta determinasi mahasiswa pada demonstrasi kolosal tahun 1998 lalu.

Namun demikian, tren yang terjadi saat ini justru mencerminkan mundurnya partisipasi politik secara konkret, terutama yang menggema dari mahasiswa sebagai intelektual muda penerus bangsa. Kritisi “Dwifungsi 2.0” serta berbagai kebijakan kontraproduktif pemerintah lainnya di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dinilai tak banyak muncul dari kalangan kesatuan mahasiswa tanah air saat ini, yang justru seolah menggambarkan bahwa suara mereka terus meredup sejak demonstrasi September 2019 lalu.

Padahal, pentingnya partisipasi politik adalah mutlak dalam demokrasi dan tak boleh sedikitpun pudar. Seperti yang dikemukakan oleh Samuel Huntington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries yang menyebut bahwa partisipasi politik secara konkret sangat vital dalam memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Kecenderungan yang ada saat ini, partisipasi politik kalangan mahasiswa belakangan ini, jamak yang bersifat sporadis dan dinilai tak terlalu berdampak signifikan, terutama bagi pembuatan keputusan pemerintah di momen-momen krusial penanganan pandemi Covid-19 serta dampak turunannya.

Lantas, mengapa partisipasi politik mahasiswa sebagai kalangan intelektual muda terkesan semakin meredup di tengah urgennya penyeimbangan rasionalitas demokrasi dalam upaya mengeintervensi berbagai kebijakan kontraproduktif pemerintah belakangan ini?

Kompleksitas Problematika Hulu

Meredith Weiss dan Edward Aspinall dalam tulisannya yang berjudul Student Activism in Asia: Between Protest and Powerlessness menjabarkan empat faktor yang saling terkait dan memengaruhi dalam konteks how, when dan why aktivisme kalangan intelektual muda. Faktor tersebut yakni identitas kolektif, sistem pendidikan, karakteristik rezim yang ada, dan pengaruh aktivisme skala global.

Faktor pertama berupa identitas kolektif sendiri menjelaskan bagaimana mahasiswa mendefinisikan diri mereka sendiri dalam apa yang disebut oleh Weiss dan Aspinall sebagai collective political engagement atau keterlibatan politik secara kolektif. Absennya konteks inilah yang agaknya menjadi pangkal meredupnya determinasi partisipasi politik mahasiswa di tanah air.

Terlebih lagi, publikasi Human Rights Watch yang berjudul Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barrier  menjelaskan persoalan klasik di lingkup akademik Indonesia yang disebut sebagai on-campus ideological indoctrination atau  indoktrinasi ideologi di lingkup kampus oleh berbagai kepentingan, termasuk kepentingan negara, dinilai belum benar-benar hilang saat ini.

Identitas kolektif mahasiswa sejak demonstrasi September 2019 sendiri dinilai semakin terpolarisasi setelah isu tersusupinya sejumlah koordinator aksi oleh kepentingan kelompok tertentu, bahkan termasuk kepentingan negara, melalui pengkaderan ekstra kampus terkuak.

Hal ini direpresentasikan pada gembosnya keseluruhan aksi melalui perpecahan koalisi Badan Eksekutif Mahasiswa yang membuat esensi tuntutan pokok bertajuk Reformasi Dikorupsi tersamarkan dan menguap dengan sendirinya. Puncaknya, pembuatan keputusan terkait salah satu tuntutan yakni UU Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) melenggang mulus hingga kini.

Persoalan sejak di hulu ini juga disinyalir membuat collective political engagement tak tercipta di kalangan mahasiswa pada berbagai isu serta kebijakan kontraproduktif pemerintah belakangan ini. Termasuk fenomena “Dwifungsi” aparat di BUMN yang tampaknya tak terlalu mengusik idealisme demokrasi kolektif para intelektual muda tanah air, jika dibandingkan fenomena serupa di tahun 1998 silam.

Polarisasi serta nihilnya collective political engagement seolah terkonstruksi menjadi skeptisme internal yang membuat suara dan determinasi aksi mahasiswa sebagai penyambung aspirasi rakyat berjalan sendiri-sendiri atau bersifat sporadis. Hal ini menjadi tendensi kuat dari tidak efektifnya partisipasi politik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang kontraproduktif.

Lebih dalam, seperti yang dikatakan Weiss dan Aspinall bahwa terdapat faktor lain yang saling terkait dengan problematika hulu identitas kolektif yang telah dijelaskan di atas.

Mahasiswa Telah “Tersegel”?

Selain identitas kolektif yang disebut oleh Weiss dan Aspinall sebagai faktor internal, terdapat faktor lain yang dinilai cukup memengaruhi pergerakan partisipasi politik mahasiswa di Indonesia yakni karakteristik rezim yang menjelaskan sejauh mana pemerintahan yang ada memberikan ruang bagi signifikansi keterlibatan partisipasi tersebut.

Akan tetapi, karakteristik rezim yang jamak di negara berkembang sendiri acapkali bertolakbelakang atau bahkan justru berupaya mendegradasi kredibilitas partisipasi politik yang kritis, termasuk gerakan mahasiswa, dengan apa yang disebut oleh Huntington dan Nelson sebagai partisipasi politik manipulatif, baik tandingan ataupun infiltratif, yang dipaksakan secara terselubung oleh penguasa maupun kelompok lainnya.

Sabine Carey dalam The Dynamic Relationship between Protest and Repression juga menyebut bahwa represi seringkali dilakukan pemerintah ketika mereka tidak ingin semakin kehilangan citra ataupun legitimasi oleh bentuk pengakomodasian partisipasi politik yang ofensif.

Fenomena rangkaian demonstrasi yang disusupi agenda tertentu maupun aksi demo tandingan mahasiswa “gadungan” dengan almamater tak berlogo yang terjadi saat dan setelah demonstrasi mahasiswa September 2019 sedikit banyak memberikan gambaran bagaimana karakteristik rezim terhadap partisipasi politik mahasiswa saat ini.

Selain itu, aksi mahasiswa pada September 2019 lalu dinilai juga menimbulkan kesan minor dan pengalaman tak mengenakkan tersendiri bagi partisipasi politik mahasiswa ketika terdapat represi aparat yang cukup keras dan bahkan sampai saat ini tak begitu jelas penyelesaiannya.

Dengan berbagai tendensi tersebut, publik tentu dapat menilai secara objektif bagaimana karakteristik rezim di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi terhadap partisipasi politik mahasiswa jika berkaca pada realita berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson serta Carey di atas.

Dan ketika kecederungan karakteristik rezim tersebut berpadu dengan polarisasi identitas kolektif yang telah dijelaskan sebelumnya, tak mengherankan ketika reaksi kaum intelektual muda atau mahasiswa secara umum saat ini cenderung tak bergairah untuk menyuarakan keresahan mereka terhadap berbagai kebijakan kontraproduktif pemerintah secara konkret.

Sejumlah pergerakan legendaris seperti Gejayan Memanggil pun sampai saat ini tak cukup efektif dan masih menjadi sebatas diskursus politik berkala yang belum dapat dipastikan kapan dan bagaimana realisasi konkretnya.

Partisipasi politik mahasiswa yang turut memimpin dua aksi berbeda di Amerika Serikat (AS) dengan demonstrasi Black Lives Matternya, serta Hongkong dengan tuntutan kebebasan demokrasinya, di tengah pandemi Covid-19 menegasikan alasan keterbatasan situasi dan kondisi untuk tetap memperjuangkan luhurnya prinsip-prinsip demokrasi dan menentang “kesemena-menaan” penguasa.

Bagaimanapun, kesadaran politik tampaknya memang telah dimiliki sebagian besar mahasiswa di Indonesia saat ini. Namun demikian, partisipasi politik konkret dan efektif dari kaum intelektual muda penerus bangsa seperti yang seorang Fadli Zon telah lakukan di masa silam, dalam menyuarakan aspirasi rakyat terhadap berbagai kebijakan minor pemerintah itulah yang tentu dinantikan. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version