HomeNalar PolitikFadli ‘Amankan’ HRS untuk Prabowo?

Fadli ‘Amankan’ HRS untuk Prabowo?

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menyarankan agar Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) tak perlu bergabung ke partai politik. Ia menilai HRS lebih baik mempertahankan ketokohannya sebagai ulama. Apa yang bisa dimaknai dari pernyataan Fadli tersebut?


PinterPolitik.com

Sejak kepulangannya pada 10 November lalu, kediaman Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) tak pernah sepi dari pengunjung. Sejumlah tokoh dan elite politik nasional berbondong-bondong datang ingin melepas rindu dengannya yang telah meninggalkan Indonesia selama kurang lebih 3,5 tahun.

Dimulai dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mantan Ketua MPR yang baru saja mendirikan Partai Ummat Amien Rais, hingga sejumlah elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) datang silih berganti menemui HRS.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Fadli Zon pun tak mau ketinggalan momen ini. Kendati partainya kini sudah bergabung ke kubu pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, Fadli tetap setia menyambut kepulangan sang Habib.

Masifnya sambutan terhadap kepulangan HRS memang seolah menegaskan kembali signifikansi kekuatan politiknya. Diskursus mengenai kebangkitan kubu oposisi di belakang Habib Rizieq pun tak henti-hentinya diperbicangkan.

Dapat dimaklumi, kemampuan mobilisasi massa HRS memang tak bisa diremehkan. Hal inilah yang kiranya juga menjadi alasan mengapa begitu banyak kalangan partai politik yang kini mencoba merayunya untuk bergabung.

Partai Masyumi Reborn bahkan sudah memberikan sinyal ingin merangkul HRS bahkan sebelum Ia tiba di Indonesia. Mereka optimistis bahwa bergabungnya HRS akan membuat partai yang baru dideklarasikan itu tak terkalahkan di kemudian hari.

Pun demikian dengan Partai Ummat besutan Amien Rais. Kendati tak se-frontal Masyumi Reborn, namun partai itu telah menyatakan dukungannya terhadap narasi Revolusi Akhlak yang digelorakan HRS.

Tak hanya dari pihak oposisi, kalangan partai politik (parpol) pendukung pemerintah pun menyatakan siap menampung HRS. Meski tak terang-terangan mengundang untuk bergabung, namun Partai Golkar menyatakan terbuka menerima HRS jika yang bersangkutan memang ingin terjun sepenuhnya ke dunia politik.

Namun berbeda dari pihak-pihak sebelumnya, Fadli Zon tak mengajak HRS bergabung dengan Gerindra, kendati partai tersebut telah menjalin kedekatan cukup lama dengannya. Fadli justru menyarankan HRS untuk tak bergabung dengan parpol manapun dan berharap HRS mempertahankan ketokohan ulama yang telah lama disandangnya.

Sejak Gerindra merapat ke kubu pemerintah, hubungannya dengan HRS dan pengikutnya memang dapat dikatakan merenggang. Dalam beberapa kesempatan, sejumlah tokoh FPI dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 menegaskan tak akan lagi mendukung Prabowo Subianto untuk kontestasi Pilpres 2024 mendatang lantaran kecewa dengan keputusan Gerindra yang merapat ke Istana.

Lalu dengan memperhatikan hal tersebut, adakah maksud-maksud politis tertentu dari pernyataan Fadli ini?

Rasionalitas Fadli?

Rasanya tak berlebihan jika kita menyematkan gelar ‘politikus paling beda’ kepada sosok Fadli Zon. Bagaimana tidak, konsistensi sikap Fadli yang terus memberikan kritik, meski Ketua Umumnya sendiri menjabat sebagai salah satu menteri di Kabinet Jokowi-Ma’ruf memang patut diacungi jempol.

Baca juga :  Andra and the Backbone: Victory

Ketua MPR Bambang Soesatyo juga pernah mengakui bahwa keberadaan Fadli memang membuat parlemen lebih berwarna. Menurutnya, sikap kritis Fadli tersebut menandakan bahwa Ia berpegang teguh terhadap prinsip check and balances demi menjaga pemerintahan agar tetap berkinerja baik.

Fadli sendiri beberapa waktu lalu sempat mengutarakan alasannya tetap tajam mengkritik pemerintah kendati partainya kini berada dalam satu gerbong dengan Jokowi. Menurutnya, hal ini Ia lakukan karena menginginkan parlemen tetap berjalan sesuai fungsinya.

Sebaliknya, alumnus Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI) ini menilai anggapan yang menyatakan bahwa roda pemerintahan akan terganggu jika eksekutif tidak menguasai parlemen adalah kesalahan paradigma dalam berdemokrasi di Indonesia.

Kendati begitu, Fadli mengaku sikapnya ini tak ditentang oleh sang Ketua Umum, Prabowo Subianto. Ia mengklaim bahwa mantan Danjen Koppasus itu tak keberatan dengan ocehannya selama memiliki dasar argumentasi yang kuat.

Dilihat dari konteks ini, rasionalitas berpolitik Fadli bisa dibilang melampui kebanyakan politisi lain. Sebagaimana diketahui, kebanyakan anggota parlemen memang cenderung kehilangan daya kritisnya ketika partainya bergabung dengan koalisi pemerintahan.

Apalagi dengan strategi Presiden Jokowi yang tak segan-segan merangkul semua pihak, menjadikan parlemen bak pemandu sorak yang selalu seiya-sekata dengan eksekutif. Hal ini membuat keberadaan Fadli dan kritik-kritiknya dalam dinamika politik nasional menjadi penting untuk dipertahankan.

Kendati begitu, politik khususnya dalam sistem multi-partai seperti di Indonesia sangat kental dengan ideologi pragmatis. Hal ini kemudian membuat segala keputusan atau tindakan politik yang diambil para aktor di dalamnya pastilah telah mempertimbangkan kalkulasi untung-rugi bagi kepentingan mereka sendiri.

Matthew Soberg Shugart dan John M. Carey dalam bukunya yang berjudul Presidents and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamics menyebutsistem multi-partai yang diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensial memberi kesempatan untuk terciptanya kondisi politik yang cenderung pragmatis. Salah satunya ditunjukkan dengan perubahan sikap partai dalam berbagai momen politik.

Pragmatisme menjadi alasan yang efektif bagi partai dan juga pemilihnya dalam membentuk identitas politik. Ini karena mobilisasi melalui sentimen ideologi agaknya menjadi sedemikian kabur untuk ditawarkan kepada masyarakat umum.

Dengan kondisi demikian, partai politik di satu sisi memainkan peran dalam mendukung atau menghambat program pemerintah, sementara di sisi lain juga dituntut beradaptasi dengan tawar menawar politik yang memberinya keuntungan.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka kiranya tak berlebihan jika kita menaruh curiga bahwa ada motif pragmatis lain di balik sikap Fadli yang terus melempar kritik kendati partainya kini duduk satu meja dengan Jokowi-Ma’ruf.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Lalu, jika kita mengasumsikan demikian, apa kira-kira tujuan lain dari sikap kritis Fadli terhadap pemerintah?

Tetap Bersahabat dengan Oposisi?

Sebelum resmi bergabung dengan pemerintah, Partai Gerindra telah duduk sebagai oposisi selama 10 tahun. Sepak terjangnya sebagai oposan, ditambah tajamnya polarisasi pada dua pemilu terakhir tentu telah membuat partai berlogo kepala garuda ini memiliki jejaring yang kuat dengan kekuatan-kekuatan oposisi, termasuk HRS dan pendukung-pendukungnya.

Namun semua kedekatan itu berubah ketika Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto makan nasi goreng bersama Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoutri pasca Pemilu 2019. Momen ini dianggap menjadi titik awal kemesraannya dengan kubu pemerintah, sekaligus kerenggangannya dengan kekuatan oposisi yang telah menjadi teman politiknya sejak lama.

Pertemanan dalam konteks politik pernah diungkapkan oleh filsuf asal Yunani, Aristoteles. Dalam pemikirannya itu, Aristoteles mengatakan bahwa political friendship didasarkan pada kemiripan, kesamaan pikiran dan identitas atas konsepsi kebaikan.

Aristoteles menganggap political friendship ini menjadi dasar untuk mencapai kerukunan dan menghindari permusuhan di dalam pagelaran politik.

Dengan mempertimbangkan hal ini, maka bisa saja konsistensi Fadli yang kritis terhadap pemerintah, serta terus memberikan dukungan pada kelompok-kelompok oposisi, seperti misalnya bertandang ke kediaman HRS, merupakan upaya Gerindra untuk terus mempertahankan pertemanannya dengan para oposan.

Dengan tetap membiarkan salah satu kadernya yang paling vokal mengritik pemerintah, Gerindra dapat terus mengirimkan sinyal bahwa masih ada kesamaan pikiran dan identitas atas konsepsi kebaikan yang dianut oleh kubu oposisi, meski kini mereka bergabung dengan pemerintah.

Hal ini  sedikit banyak dapat merawat pertemanan yang telah terjalin antar keduanya. Sebab bukan tidak mungkin, mereka akan kembali menjadi kekuatan yang prominen bagi kepentingan politik Gerindra ke depannya, utamanya jika nanti Prabowo Subianto kembali berkontestasi sebagai calon presiden di Pilpres 2024.

Dari sini, maka konteks pernyataan Fadli yang menyarankan HRS untuk tak bergabung ke partai politik bisa saja dimaknai sebagai upaya ‘mengamankan’ dukungan tersebut. Sebab, jika Ia bergabung ke salah satu parpol, hal itu akan mengunci dukungan HRS dan tak dapat lagi menguntungkan Gerindra sebagaimana dalam dua kontestasi pemilu yang lalu.

Kendati begitu, sekelumit ulasan tersebut hanyalah analisis teoretis semata yang belum tentu benar adanya. Maksud dan tujuan sebenarnya dari pernyataan Fadli agar HRS tak bergabung ke partai politik hanyalah pihak terkait sendiri yang tahu. Namun begitu, tak dapat dipungkiri, sikap kritis Fadli Zon tetaplah elemen penting untuk menjaga fungsi parlemen yang kini didominasi oleh pendukung-pendukung pemerintah. Bagaimana sepak terjang Fadli ke depan tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...