Site icon PinterPolitik.com

F1 Powerboat, Dedikasi Terakhir Luhut?

luhut kena sentil lagi

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (kiri) menghadiri rapat kerja yang dilaksanakan oleh Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (Foto: Media Indonesia)

Ajang F1 Powerboat (F1H2O) akan diadakan di Danau Toba, Sumatera Utara. Ini tidak lepas dari peran Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan yang membujuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan izin gelaran tersebut. Mengapa Luhut tampak sangat ingin Danau Toba menggelar event internasional seperti F1 Powerboat? Adakah kepentingan tertentu di baliknya? 


PinterPolitik.com

Seolah memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan kampung halamannya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjadi sosok berjasa terselenggaranya ajang internasional bergengsi di Danau Toba. 

Ya, Danau Toba di Sumatera Utara akan menjadi tuan rumah F1 Powerboat World Championship (F1H2O) pada 24-26 Februari 2023. 

Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah seri pembuka untuk musim balap F1 Powerboat 2023. F1 Powerboat sendiri merupakan ajang balap perahu cepat sedunia. 

Ajang tersebut diharapkan dapat menjadi media promosi pariwisata Danau Toba kepada dunia internasional dan dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar. 

Rencananya, kejuaraan F1 Powerboat ini akan diikuti  18 pembalap yang berasal dari Inggris, Brazil, Ukraina, China, Arab Saudi, Portugal, Perancis, Korea Selatan, dan Qatar. 

Pembangunan sarana dan prasarana untuk gelaran tersebut telah dilakukan sejak Oktober 2022 lalu. Fokus utama adalah menyiapkan kebutuhan infrastruktur lomba di sekitar pelabuhan seperti tribun penonton, garasi balap, dermaga sandar khusus powerboat, dan lapangan parkir. 

Terpilihnya Danau Toba adalah sebagai bentuk dukungan program pemerintah yang menjadikan danau vulkanik terbesar di dunia tersebut sebagai salah satu dari lima destinasi pariwisata super prioritas (DPSP). Empat destinasi lain adalah Candi Borobudur, Likupang, Mandalika, dan Labuan Bajo. 

Kembali, terselenggaranya agenda tersebut juga tidak terlepas dari peran Luhut yang meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan izin penyelenggaraan ajang tersebut di tanah kelahirannya. 

Luhut terlihat ingin kesuksesan ajang olahraga internasional seperti MotoGp dan World Superbike di Mandalika serta Formula-E di Jakarta menular ke Danau Toba. 

Dengan adanya penyelenggaraan tersebut, Luhut tampaknya juga berkeinginan dapat memperkenalkan keindahan pariwisata Danau Toba ke turis lokal dan internasional. 

Lantas, mengapa Luhut seolah menjadi sosok sentral dari ambisi agenda F1 Powerboat di Danau Toba? 

Warisan Untuk Tanah Kelahiran? 

Penyelenggaraan ajang olahraga internasional yang sukses menjadi promosi pariwisata seperti di Mandalika dan Jakarta nampaknya membuat Luhut berharap hal yang sama terjadi pada pada penyelenggaraan F1 Powerboat di Danau Toba. 

Ihwal yang kemudian seolah membuat Luhut yakin bahwa ajang olahraga internasional merupakan bentuk promosi pariwisata yang efektif untuk menarik wisatawan ke destinasi kebanggaan tanah kelahirannya tersebut. 

John Lauermann dalam tulisannya The Urban Politics of Mega Events menyiratkan bahwa mega events,  seperti, F1 Powerboat tersebut dapat memberikan keuntungan legacy dan leveraging. 

Menariknya, legacy atau warisan yang dimaksud adalah acara besar sebagai bentuk “investasi” yang dapat digunakan di masa depan. Warisan, disebut Lauermann, dapat melalui hard legacies, seperti infrastruktur dan soft legacies, yakni pertumbuhan ekonomi dan investasi. 

Sementara dari sisi leveraging, acara besar juga dapat mendukung agenda yang tidak berhubungan dengan olahraga. 

Berkaca pada penjelasan Lauermann, Luhut seakan terlihat ingin menjadikan ajang F1 Powerboat momentum untuk membangun infrastruktur pendukung pariwisata di Danau Toba. 

Dengan hal ini, F1 Powerboat diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi daerah sekitar Danau Toba. 

Luhut yakin dengan keindahan alam yang ditunjukkan Danau Toba dan didukung dengan infrastruktur yang memadai, akan menarik perhatian wisatawan lokal dan mancanegara untuk berkunjung. 

Dalam bukunya The 8th Habit: Melampaui Efektivitas Menanggapi Keagungan, Stephen Covey menjelaskan manusia memiliki empat dorongan dalam hidupnya, yaitu to live (hidup), to love (mencintai), to learn (belajar), dan to leave a legacy (meninggalkan warisan). 

Niat untuk meninggalkan legacy itulah yang membuat seseorang, khususnya pemimpin berbondong-bondong melakukan inovasi dan kebijakan yang menjadi sorotan. 

Jika bisa, itu harus dilakukan dengan secepat mungkin agar masyarakat semakin paham dan mengingat legacy yang ditinggalkannya. 

Melihat apa yang dijelaskan Covey diatas, apa yang dilakukan Luhut tersebut kiranya juga dapat dikatakan menjadi kontribusi konkret serta warisan yang akan dia tinggalkan untuk tanah kelahirannya, Sumatera Utara. 

Luhut sebagai putra daerah tentu saja tidak ingin destinasi wisata di Danau Toba tertinggal dengan destinasi wisata lain. Terlebih Danau Toba bagi suku Batak merupakan salah satu tempat yang sakral. 

Lewat Danau Toba, Luhut seolah ingin menegaskan komitmennya sebagai putra asli suku Batak yang melestarikan dan memperkenalkan adat istiadat Batak lebih luas lagi. 

Hal itu tercermin mulai dari menjadikan Danau Toba menjadi destinasi pariwisata super prioritas (DPSP) hingga menginisiasi pelaksanaan ajang F1 Powerboat di Danau Toba. 

Namun, bernarkah motif legacy “normatif” dan efek dominonya bagi perkembangan ekonomi dan pariwisata kawasan Danau Toba menjadi yang utama bagi Luhut? Atau ada hal lainnya? 

Hanya Untuk Glorifikasi? 

Victor A. Matheson dan Robert A Baade dalam publikasinya yang berjudul Mega Sporting Events in Developing Nations menjelaskan mega event syndrome. Dalam konteks Toba, sindrom ini dapat dilihat dari ambisi Luhut menyelenggarakan F1 Powerboat di Danau Toba meskipun persiapan yang terkesan terburu-buru dan berisiko tinggi. 

Matheson dan Baade mengidentifikasi beberapa gejala negara yang mengalami mega event syndrome. 

Pertama, keuntungan yang dibesar-besarkan. Obsesi negara berkembang menjadi tuan rumah sebuahacara olahraga besar didasari oleh pertumbuhan ekonomi yang dibesar-besarkan. Sering kali pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak sesuai dengan realitanya. 

Dalam penyelenggaraan F1 Powerboat digadang-gadang memberikan dampak ekonomi sebesar Rp212 miliar dan diperkirakan akan disaksikan jutaan pasang mata di seluruh dunia. 

Matheson Baade menjelaskan bahwa acara besar memberikan dampak negatif ekonomi yang lebih besar kepada negara berkembang daripada negara maju. 

Masyarakat lokal di negara berkembang enggan untuk membeli tiket mahal untuk menonton acara olahraga karena alasan faktor ekonomi. 

Selain itu, acara olahraga yang dilaksanakan di negara maju akan lebih menarik bagi turis dibandingkan diselanggarakan di negara berkembang. 

Hal ini dikarenakan berbagai faktor, mulai dari aspek keamanan, akomodasi, infrastruktur dan lain-lain sehingga turis terkadang enggan untuk mengunjungi negara berkembang. 

Kemudian ada gejala event fix. Acara olahraga yang memiliki tenggat waktu pasti akan berdampak pada akselerasi pembangunan infrastruktur. Pembangunan yang dipercepat biasanya akan merugikan masyarakat dan menghasilkan isu sosial, seperti penggusuran paksa. 

Hal ini terbukti pada Januari lalu pada saat Luhut meninjau Danau Toba yang akan dijadikan tempat penyelenggaraan F1 Powerboat. 

Dengan dalih menjaga ekosistem danau, Luhut meminta Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Bupati Toba menertibkan permukiman padat penduduk di sekitar danau. 

Luhut saat itu meminta rencana penertiban kawasan padat penduduk tersebut tidak disikapi secara emosional. Menurutnya, kegiatan penggusuran tersebut demi meningkatkan daya saing pariwisata Danau Toba. 

Pada kesimpulannya, ambisi Luhut menjadikan Danau Toba sebagai tuan rumah ajang F1 Powerboat tampaknya menggambarkan gejala mega event syndrome. Luhut terkesan menutup mata pada risiko yang dipertaruhkan untuk F1 Powerboat. 

Selain itu, F1 Powerboat juga belum tentu memberikan jaminan akan menguntungkan bagi masyarakat sekitar secara luas seperti yang telah digadang-gadang. 

Akan tetapi, analisis diatas masih sebatas interpretasi semata. Keberhasilan ajang F1 Powerboat belum bisa dipastikan sebelum ajang tersebut selesai dilaksanakan. 

Bagaimanapun, tetap diharapkan bahwa ajang F1 Powerboat dapat memberi dampak yang positif bagi masyarakat sekitar secara khusus dan pariwisata Indonesia secara umum. (S83) 

Exit mobile version