Mobil Esemka yang kini kembali muncul dalam versi “elektrik” ramai mendapat respons minor karena diketahui bukan buatan dalam negeri. PKS berada dalam barisan pengkritik dan menuntut pemerintahan Presiden Jokowi memberikan klarifikasi. Lalu, mengapa perdebatan Esemka kembali muncul? Benarkah ada kaitannya dengan tahun politik atau lebih dari itu?
“Reuni” Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mobil Esemka di Indonesia International Motor Show (IIMS) 2023 pada hari Kamis pekan lalu meninggalkan perdebatan politik yang cukup menarik.
Itu setelah anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menyoroti mobil listrik PT Solo Manufaktur Kreasi (Esemka), Bima EV, yang belakangan diketahui merupakan buatan Tiongkok, bukan produksi dalam negeri.
Seperti diketahui, Esemka digadang-gadang memang menjadi ikon mobil buatan Indonesia sejak dipopulerkan Jokowi kala menjabat Wali Kota Solo.
Mulyanto mendesak Presiden Jokowi untuk memberi penjelasan tentang status mobil Esemka karena dianggap berimplikasi secara ekonomi (subsidi), hukum, dan politik yang serius.
Momentum jelang tahun politik juga menjadi satu titik tolak kritik politisi PKS itu terhadap “reuni” Presiden Jokowi dan Esemka.
Kritik itu pun seolah berkelindan dengan perdebatan di lini masa terhadap Esemka yang dianggap “ghoib” karena kembali muncul setelah lama tak terdengar.
Sebelum ramai menjadi sorotan khalayak luas, Direktur Utama Esemka Eddy Wirajaya telah menyebut tidak ada keterkaitan bertendensi politis di antara Presiden Jokowi dan Esemka.
“Jadi kami ini murni bisnis, tidak ada kaitan atau hubungannya dengan Pak Jokowi atau politik,” begitu penegasan Eddy.
Namun, mengapa perdebatan Esemka kembali muncul dan tetap mengemuka? Serta, seperti apa makanya secara politik dalam diskursus mobil listrik yang tengah bergairah belakangan ini?
Residu Politik Jokowi?
Kendati aspek bernuansa politis telah tegas dibantah oleh Dirut Esemka, sorotan kepada Presiden Jokowi tak lepas dari kendaraan itu sendiri yang sejak awal digunakan menjadi instrumen politiknya.
Dipopulerkan tahun 2011 hingga 2012 saat menjabat sebagai Wali Kota Solo, popularitas politik Jokowi yang merakyat seolah meningkat dengan kepeduliannya pula pada industri mobil nasional.
Sebelum menjadi perusahaan seperti saat ini, mobil Esemka pertama kali dikembangkan pada tahun 2007 silam oleh seorang pemilik bengkel Kiat Motor asal Klaten, Jawa Tengah bernama Sukiyat.
Kendaraan roda empat itu dirakit dan diproduksi dengan memberdayakan pelajar Sekolah Menengan Kejuruan (SMK). Hasilnya, sembilan unit prototipe pertama mobil lahir dengan merk Kiat Esemka.
Setelah menarik perhatian di ajang pameran Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) pada 2009, beberapa tahun berselang Jokowi menjadikan Esemka tipe Rajawali sebagai kendaraan dinas Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo.
Di titik itulah Presiden Jokowi seolah merengkuh akumulasi populismenya dengan menjadikan Esemka sebagai salah satu instrumen politik. Tak lain, Jokowi dinilai menggunakannya untuk promosi menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 plus Presiden pada 2014.
Sayangnya, Esemka seolah ditinggalkan Jokowi dan “menghilang” setelahnya. Esemka kemudian kembali muncul pada tahun 2015 saat mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono mengambil peran dalam mengembangkan mobil tersebut.
Namun, peran Hendro seakan tak terlampau berpengaruh. Esemka tetap redup sebelum kemunculannya di IIMS 2023 kembali menarik perhatian.
Kembali, keberpihakan terhadap industri mobil lokal yang bahkan dikerjakan oleh anak SMK, tampak menjadi satu variabel pendongkrak populisme Jokowi tak dapat dipungkiri memainkan peran pada masa itu (seputaran tahun 2011 hingga 2014).
Ali Noer Zaman dalam Kemunculan Jokowi di Pentas Politik Nasional juga menyinggung bagaimana korelasi Esemka dan populisme Jokowi.
Mengutip Abdul Hamid dalam Jokowi’s Populism in the 2012 Jakarta Gubernatorial Election, Ali menerangkan ciri prominen populisme Jokowi adalah harapan, terobosan, dan perubahan sosial yang dibawanya.
Postulat itu juga selaras dengan analisis Marcus Mietzner dalam publikasi berjudul Jokowi: Rise of a polite populist.
Menariknya, Mietzner menyebut karakteristik populisme Jokowi kala itu menjadi antitesis sempurna sebagai alternatif kemunculan Prabowo Subianto yang juga memiliki ambisi kepemimpinan nasional.
Tetapi, populisme tak melulu berbuntut positif bagi Jokowi. Dalam The double-edged sword: the political appropriation of the concept of populism, Ainur Elmgren menyebut populisme bagaikan pedang bermata dua.
Tak hanya menjadi senjata untuk memenangkan “pertempuran” politik, populisme disebut Elmgren dapat berbalik menjadi celah politik.
Menurut Elmgren, populisme memang dapat menjadi alat politik, tetapi maknanya cepat berfluktuasi dan bahkan dianggap tidak relevan. Titik ini yang dapat menjadi mata pedang lainnya dalam pertarungan politik yang dapat dimanfaatkan aktor rival. Itu yang kiranya terjadi pada impresi terkini comeback Esemka dan Presiden Jokowi.
Akan tetapi, fluktuasi populisme itu tak dimaksimalkan oleh rival politik Jokowi, dalam hal ini PKS yang cukup aktif mengkritik.
Sejauh ini, PKS terlihat hanya menuntut tanggung jawab moral dan politik dari Presiden Jokowi dan pemerintahannya mengenai Esemka.
Padahal, secara kasat mata, tak ada kepentingan lagi kiranya bagi Jokowi jelang 2024 untuk “menunggangi” Esemka.
PKS semestinya bisa melontarkan kritik dan diskursus yang lebih komprehensif, bahkan hingga menyentuh gerakan masif transformasi kendaraan listrik nasional belakangan ini yang jauh dari kata sempurna. Mengapa demikian?
Bukan Soal Esemka?
Bradley W. Lane dan kawan-kawan dalam Government Promotion of the Electric Car: Risk Management or Industrial Policy? menyebutkan dua kemungkinan mengapa suatu pemerintahan gencar mempromosikan mobil listrik.
Pertama, tentu kebijakan menggenjot sektor industri mobil listrik merupakan tindakan risk management yang berkaitan dengan lingkungan. Kedua, gencarnya promosi mobil listrik adalah sebagai tindakan kebijakan industri jangka panjang.
Dalam konteks Indonesia, persoalan lingkungan kiranya bukanlah tujuan utama, Sebab, bisa dikatakan bergeliatnya industri dan penggunaan mobil listrik tidak akan serta merta dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan yang begitu kompleks.
Itu dikarenakan, Indonesia sendiri belum sepenuhnya mengimplementasikan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Lebih lanjut, Lane mengatakan promosi terhadap mobil listrik bisa dipandang sebagai intervensi pemerintah untuk menguntungkan klaster ekonomi atau industri tertentu, seperti perusahaan dan organisasi.
Selain memiliki pangsa pasar otomotif yang sangat potensial, Indonesia juga memiliki keunggulan lain yang kiranya dapat membuat banyak negara tergiur, yakni cadangan nikel.
Berdasarkan data US Geological Survey, cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta metrik ton. Angka ini seharusnya menjadikan Indonesia sebagai pemain utama nikel dunia.
Jika kelak mampu mengolah nikel menjadi baterai, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi “juragan” baterai kendaraan listrik sejagad.
Di titik ini, selain latar belakang positif seperti investasi, pembukaan lapangan pekerjaan, dan transfer teknologi, telaah kritis semestinya dapat ditujukan pada pertanyaan, yakni kepada siapakah keuntungan ekonomi-politik dari potensi pengembangan mobil listrik dan kekayaan nikel Indonesia bermuara?
Selain dapat disanggah berdasarkan analisis Lane, konsumsi listrik Indonesia yang mayoritas masih berasal dari PLTU (batu bara) juga kian menegasikan intensi risk management terhadap lingkungan di balik “politik mobil listrik”.
Our World in Data mencatat, 86,95 persen dari total produksi listrik Indonesia tahun 2020 berasal dari bahan bakar fosil. Sementara pembangkit listrik berbasis batu bara masih menjadi yang terbesar atau mencapai 66,81 persen.
Artinya, selain legacy “politik mobil listrik”, tentu terdapat keuntungan finansial menggiurkan dari data tersebut terhadap geliat mobil listrik di Indonesia.
Jangan sampai, gencarnya promosi mobil listrik seantero negeri dinodai dengan kecenderungan minor seperti konflik kepentingan bernuansa politik dalam bisnis produksi listrik, pengolahan potensi nikel menjadi baterai, hingga pengadaan dan produksi mobil listrik itu sendiri. (J61)