ERP diharapkan mampu menjadi solusi macet ibukota yang sudah tidak terkendali.
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]alan yang macet memang bikin ruwet. Segala aktivitas terhambat akibat jalanan yang tersendat. Darah kian meninggi karena harus menunggu antrean kendaraan yang tidak kunjung terurai. Kondisi ini harus dialami masyarakat Ibukota Jakarta dari hari ke hari.
Beragam solusi dicoba untuk menyelesaikan jalanan ibukota yang semrawut. Dari sistem three in one hingga ganjil genap, pernah diterapkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Akan tetapi, kemacetan belum juga hilang dari Jakarta.
Akhirnya salah satu solusi teranyar coba ditawarkan: jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP). Sistem ini dipercaya lebih ampuh menangkal kemacetan Ibukota. Berbagai negara di dunia menjadi bukti bagaimana sistem ini mampu mengurangi jumlah kendaraan di jalanan.
Opsi tersebut tergolong menarik dan belum dicoba di negeri ini. Akan tetapi, solusi ini menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah sistem ini akan merugikan masyarakat kecil karena tidak mampu membayar jalan yang dilalui? Ampuhkah sistem ini terutama jika menghadapi pengguna kendaraan dari kalangan ekonomi tinggi?
Mencari Solusi untuk Macet
Sistem jalan berbayar sudah lama dibicarakan untuk mengurai kemacetan di penjuru dunia. Di Jakarta, wacana untuk menggunakan sistem ini pertama kali mengemuka pada tahun 2004. Akan tetapi, rencana itu tidak kunjung terlaksana hingga tahun 2010-an. Uji coba sistem ini pertama kali dilakukan pada tahun 2015, di era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Selama periode tersebut, berbagai langkah telah diambil oleh orang-orang nomor satu di Jakarta. Jakarta misalnya pernah mencoba sistem three in one beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, sistem ini ternyata tidak memberikan perubahan berarti bagi kemacetan ibukota.
Pemberlakuan three in one tidak hanya gagal menunjukkan perubahan bagi kemacetan, tetapi juga menimbulkan persoalan baru. Akibat sistem ini muncul orang-orang yang menawarkan diri menjadi joki, sehingga mobil yang baru terisi kurang dari tiga orang bisa berlalu. Persoalan menjadi tambah pelik karena pada aktivitas joki tersebut, banyak ditemukan praktik eksploitasi anak. Hal ini membuat Gubernur kala itu, Ahok, begitu geram dan memberhentikan sistem tersebut.
Belakangan, sistem ganjil genap diberlakukan di jalan-jalan tertentu di Jakarta. Sistem ini disebut-sebut sebagai transisi jelang diberlakukannya ERP pada 2019 nanti. Walau sempat menunjukkan kemajuan yang menggembirakan, namun sistem ini ternyata tetap tidak kuasa melawan kemacetan Ibukota.
Tidak efektifnya sistem ini dikeluhkan oleh Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Berdasarkan observasi mereka, sistem ini belum cukup berhasil menurunkan volume kendaraan secara kasat mata. Menurut mereka, bukannya menurun volume kendaraan justru bertambah. Disinyalir ada banyak orang yang menyiasati sistem ini dengan memiliki kendaraan lebih dari satu.
Gagalnya kedua sistem tersebut, membuat ERP seperti menjadi solusi terakhir untuk menurunkan volume kendaraan dan waktu tempuh di jalanan Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno bahkan sampai bersikeras bahwa sistem ini harus bisa berjalan pada tahun 2019.
Efektivitas ERP
Berbagai negara di dunia telah menerapkan sistem ini untuk mengurangi jumlah kendaraan di jam-jam dan jalan-jalan tertentu. Pelopor dari sistem ERP ini adalah negara tetangga, Singapura. Negeri Singa ini pertama kali memungut bayaran kepada pengguna jalan pada tahun 1975. Sistem ERP kemudian diterapkan di negeri jiran tersebut pada tahun 1998.
Selain Negeri Singa tersebut, Swedia dan Inggris juga menerapkan sistem jalan berbayar secara elektronik. Di London, Ibukota Inggris, sistem ini diterapkan sejak tahun 2003. Sementara itu, Ibukota Swedia, Stockholm, pertama kali menerapkan sistem tersebut pada tahun 2007.
Jika melihat Singapura, sistem ini terbukti efektif mengurangi volume dan juga waktu tempuh kendaraan. Secara statistik, indeks kemacetan Negeri Singa tersebut mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, indeks kemacetan Singapura tercatat berada di posisi 31. Melalui ERP, negara tetangga ini berhasil mempebaiki indeks kemacetannya sehingga turun ke posisi 38.
Selama penerapan sistem jalan berbayar tersebut, volume lalu lintas Singapura di jam-jam ERP mengalami penurunan sebanyak 13 persen. Rata-rata kecepatan kendaraan juga mengalami peningkatan hingga 20 persen. Selain itu, penggunaan kendaraan umum juga mengalami kenaikan dari 41 persen menjadi 62 persen.
Tambah jalan maupun tambah transpor publik – bahkan dua2nya sekaligus – tak mengurangi kemacetan. Hanya 1 cara yg efektif: pengguna jalan suruh bayar
Atau ya biar saja macet. Yg penting sediakan alternatif: trotoar yg bagus dan transpor publik https://t.co/RBJi0vKlRx
— abdul (@ngabdul) March 26, 2018
Keberhasilan Singapura ini memang terlihat menggiurkan bagi Jakarta. Beberapa kalangan membandingkan luas wilayah Singapura dan Jakarta yang tidak terlampau jauh, sehingga sistem ini dianggap bisa sukses pula di Jakarta.
Meski terbilang efektif, solusi ini bukannya tanpa celah. Kisah sukses Singapura tidak bisa serta-merta diterapkan di Jakarta. Salah satu alasan utamanya adalah, Jakarta tidak memiliki sistem atau moda transportasi umum sebaik Singapura.
Gopinath Menon, Profesor dari National University of Singapore telah mengingatkan hal ini. Dalam makalah yang ia tulis bersama Sarath Guttikunda, disebutkan bahwa ERP hanya menjadi salah satu bagian saja dari kebijakan transportasi pemerintah.
Penyediaan sistem transportasi bis dan rel yang baik harus disertakan, agar kebijakan transportasi berjalan sempurna. Menurut Menon, Singapura dapat menurunkan angka kemacetannya karena menyertakan penambahan bis dan kereta selain menerapkan ERP.
Menentukan Harga yang Tepat
Persoalan yang juga dapat membelit sistem ERP ini adalah soal penentuan harga yang tepat. Jika benar-benar berlaku, Pemerintah Daerah Jakarta harus mampu menentukan formula yang jitu agar harga tidak, terlampau tinggi juga tidak terlampau rendah.
Bagi orang-orang dengan kocek tebal dan mobil mewah, uang bisa jadi bukan persoalan besar. Kalangan seperti ini bisa saja tidak memiliki masalah jika harus membayar ketika melewati suatu jalan. Terlebih jika harga yang diberlakukan tergolong terjangkau.
Tujuan ERP untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum tidak akan tercapai, jika harga terlalu murah. Jika orang mampu membeli kendaraan baru untuk menyiasati sistem ganjil genap, maka membayar jalan untuk ERP bisa jadi bukan masalah bagi beberapa orang.
Bagi orang-orang berduit di Ibukota, mobilitas dan kenyamanan adalah hal yang sangat penting. Hal ini tidak bisa ditawarkan oleh kendaraan umum. Kendaraan umum di Jakarta belum benar-benar terintegrasi. Kendaraan umum juga masih terus mengalami keterlambatan jadwal. Belum lagi jika melihat ketidaknyamanan dari beberapa moda transportasi umum. Beberapa orang berduit tentu rela jika harus menukarkan uangnya dengan mobilitas dan kenyamanan ketimbang naik kendaraan umum.
#ERP itu memang program yg menyurutkan niat orang utk berkendara lewat daerah tertentu, walau ada bias ekonomi disitu. Yg mampu tetap lewat
— Elisa Sutanudjaja (@elisa_jkt) February 13, 2016
Sementara itu, bagi sebagian pihak, ERP dianggap sebagai solusi yang tidak berpihak bagi masyarakat kecil. Ada wacana bahwa jalan berbayar akan diberlakukan pula bagi pengguna sepeda motor. Padahal, sebagian besar pengguna kendaraan roda dua tersebut tidak berasal dari kalangan ekonomi atas.
Bagi sebagian orang, ERP adalah solusi yang malas dan bias kelas dari Pemerintah. Alih-alih mempersiapkan moda transportasi yang benar-benar mumpuni, ERP dipilih sebagai solusi instan. Padahal, masyarakat kecil juga memiliki hak atas jalan. Kebijakan ERP tanpa sistem tranportasi massal yang benar-benar siap, sama saja dengan merenggut hak warga atas jalan tersebut.
Untuk menentukan harga yang benar-benar tepat, ada beberapa indikator yang harus diperhatikan. Dalam penelitian yang dibuat oleh Cecilia Jakobsson, Satoshi Fujii, dan Tommy Garling, indikator yang dapat membuat publik menerima jalan berbayar adalah pendapatan masyarakat, penurunan penggunaan kendaraan yang diharapkan, keadilan, dan pengaruh biaya pada kebebasan masyarakat. Keempat indikator tersebut, diyakini dapat meningkatkan penerimaan masyarakat pada sistem ERP.
Melihat sukses Singapura, ERP memang tergolong efektif menekan indeks kemacetan. Meski begitu, agar sukses dapat ditiru, Jakarta harus menyiapkan transportasi umum yang aman dan nyaman agar masyarakat mau beralih. Penentuan harga yang tepat juga penting agar jalan tidak menjadi milik orang-orang berkocek tebal saja. (H33)