Menteri BUMN Erick Thohir menyingkap hal yang menarik saat mengatakan bahwa keberadaan mobil listrik akan mengganggu bisnis Pertamina. Lantas, apakah pernyataan itu sesungguhnya menggambarkan persoalan energi di Indonesia yang lebih besar?
Sejak awal, kompleksitas dan sejumlah persoalan pelik memang telah menyelimuti diskursus mengenai energi di tanah air. Aspek sosial, ekonomi, dan politik sangat kental dan saling bersinggungan satu sama lain yang acapkali justru menghambat tujuan luhur kemaslahatan bersama hingga urgensi penggunaan energi ramah lingkungan.
Postulat itu agaknya cukup selaras dengan apa yang dikemukakan James Guild dalam Indonesia’s energy dilemma. Diberkahi dengan sumber daya energi yang melimpah, potensi energi terbarukan yang cukup besar, serta masifnya cadangan gas alam dan minyak, Guild mengatakan bahwa Indonesia masih mengalami sejumlah kendala dalam mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya tersebut secara optimal.
Karakteristik geografis, persoalan biaya, aspek keberlanjutan, dan politik menjadi empat komplikasi problematika yang disebut Guild berada di balik tak maksimal dan peliknya pengelolaan sektor energi di Indonesia.
Mulai hits-nya penggunaan kendaraan berenergi listrik yang juga digalakkan oleh pemerintah, secara kasat mata memang membuka peluang bagi semacam diversifikasi penggunaan energi lain yang sifatnya tampak lebih ramah lingkungan. Untuk kemudian diharapkan dapat menggantikan konsumsi energi konvensional seperti bahan bakar minyak (BBM).
Akan tetapi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir baru-baru ini justru menyingkap permasalahan lain ketika “mood” terhadap mobil listrik sedang menanjak.
Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI kemarin, Erick mengatakan bahwa maraknya penggunaan mobil listrik ke depan akan menggerus pasar bahan bakar fosil yang selama ini diampu Pertamina.
Dengan adanya mobil listrik, permintaan BBM yang notabene merupakan penopang utama keuntungan dari perusahaan plat merah itu disebut akan terdampak.
Baca juga: Di Balik Ambisi Mobil Listrik Jokowi
Padahal, Pertamina sendiri selama ini adalah perusahaan BUMN penyumbang APBN terbesar, baik dari setoran pajak maupun dividen perusahaan. Pada tahun 2018 tercatat kontribusi Pertamina untuk APBN mencapai Rp 120,8 triliun. Sementara setahun berselang meningkat menjadi Rp 136,6 triliun.
Meskipun diproyeksikan juga akan menyediakan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), Pertamina ke depan agaknya tetap harus bersaing dengan sesama punggawa BUMN, yakni PLN yang menyediakan layanan serupa. Belum lagi persaingan dari sektor swasta yang bukan tidak mungkin hadir di kemudian hari.
Oleh karenanya, timbul pertanyaan mengapa energi yang jamak dianggap “terbarukan”, khususnya energi listrik begitu digalakkan saat ini, meskipun sumber daya bahan bakar fosil atau BBM di dalam negeri tampak masih memadai, terjangkau, dan nyatanya punya andil besar dalam APBN?
Delusi Energi Terbarukan?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, menyelami definisi energi yang benar-benar baik dan berkelanjutan kiranya memiliki urgensi tersendiri.
Energi terbarukan sendiri secara harfiah merupakan sumber yang bisa memproduksi energi dengan tidak menghabiskan sumber daya alam, serta dapat terus direproduksi, seperti panas bumi, cahaya matahari, angin, air, biomassa, biogas, hingga gelombang laut.
Pada konteks Indonesia, mobil dengan energi listrik selama ini diimpresikan pemerintah jauh lebih efisien, plus ramah lingkungan. Padahal, realianya pasokan listrik di Indonesia sendiri belum dapat dikatakan sebagai renewable energy atau energi terbarukan yang ramah bagi aspek lingkungan, ketika sebagian besar penggeraknya ialah batu bara.
Hal ini berbanding lurus dengan pernyataan Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana pada Juli 2020 lalu yang menyebut, Indonesia tidak atau belum bisa keluar dari ketergantungan batu bara yang masih mendominasi stok pembangkit listrik.
Dalam Getting over the renewables delusion, Atanu Mukherjee menyebut bahwa ada semacam delusi di atas euforia renewable energy selama ini yang tak jarang masih dimaknai keliru. Utamanya ketika pembangkit listrik yang jadi sumber energi yang kerap dianggap “terbarukan”, masih merupakan penghasil utama emisi global, seperti batu bara.
Baca juga: Erick Thohir, PLN, dan Monopoli Inheren
Maka dari itu, tak berlebihan kiranya untuk menyebut euforia dan kampanye bagi kendaraan dengan emisi baik namun energinya beremisi buruk – yang bahkan juga punya kecenderungan merusak lingkungan seperti batu bara – sebagai renewables delusion atau delusi energi terbarukan. Termasuk yang terjadi di Indonesia belakangan ini.
Kemenangan Koalisi Batu Bara?
Dalam sebuah paper yang berjudul Competing coalitions: The politics of renewable energy and fossil fuels, Britta Rennkamp dan Sebastian Haunss turut mengkaji dan berusaha menjawab mengapa middle income country atau negara berpenghasilan menengah memberikan insentif pada energi terbarukan meskipun sumber daya bahan bakar fosil secara umum masih memadai.
Dengan memberikan sampel dari apa yang terjadi di Meksiko, Thailand, dan Afrika Selatan, Rennkamp dan Haunss berkesimpulan bahwa munculnya diskursus mengenai kebijakan energi terbarukan merupakan hasil dari struktur koalisi politik yang “bertarung” untuk mendukung ataupun menentang kebijakan energi terbarukan.
Bahwasanya kebijakan energi terbarukan juga tidak semata-mata didorong dan bertujuan untuk mengurangi emisi, tetapi juga demi rengkuhan keuntungan sosial dan ekonomi. Dan kebijakan energi terbarukan yang diterapkan di negara-negara berpenghasilan menengah tadi hanya akan terwujud jika ada dukungan politik sedemikian rupa di dalam negeri.
Yang mungkin serupa tapi tak sama dengan kasus di Indonesia ialah apa yang terjadi di Afrika Selatan. Benturan secara politik dalam diskursus renewable energy di negeri Nelson Mandela terjadi antar struktur kubu yang terkonstruksi. Mereka yang mendukung terdiri dari pemerintah, investor, industri energi terbarukan, masyarakat sipil, serta organisasi dan lembaga akademis.
Sementara mereka yang kontra terdiri dari penyedia listrik publik, asosiasi bisnis dan industri bahan bakar fosil nasional dan luar negeri. Lalu kemudian disebutkan terjadi konflik distribusi yang cukup jelas, bahwa diskursus mengenai energi terbarukan pada akhirnya mengarah pada kompromi dalam penggunaan energi batu bara.
Dalam dimensi yang sedikit berbeda akibat kecenderungan delusi yang disebutkan sebelumnya, kampanye kendaraan berenergi listrik yang kian gencar pun mungkin saja merupakan kompromi dari struktur koalisi tertentu yang kemudian lebih unggul.
Dalam hal sumber pembangkit listrik yang masih didominasi batu bara, mungkin saja kubu yang berada di baliknya memiliki kekuatan tersendiri saat ini, dibandingkan dengan koalisi di balik bahan bakar fosil lain, seperti minyak bumi yang jadi andalan Pertamina dan saat ini disebut terancam, atau mereka yang benar-benar fokus pada energi terbarukan.
Karena nama-nama di eksekutif seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Prabowo Subianto, bahkan Erick Thohir sendiri disebut-sebut “familiar” dengan batu bara. P.T. Adaro, ynag merupakan perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia milik keluarga Erick Thohir sendiri, secara khusus memiliki konsesi tambang batu bara sekitar 31 ribu hektare di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Belum lagi pertalian secara tidak langsung dengan nikel yang merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik.
Baca juga: Manuver “Putih” Ahok di Pertamina
Dengan cadangan yang mencapai 21 juta metrik ton, dan jadi yang terbesar di dunia, eksploitasi nikel pun kini tengah berlangsung dan diproyeksikan akan menjadi tumpuan baru di sektor tambang. Tinggal ihwal sesungguhnya dan yang menjadi pertanyaan, apakah serangkaian variabel itu benar-benar berkorelasi atau tidak dengan kecenderungan yang ada.
Lantas pertanyaan yang muncul berikutnya, sebegitu pelik-kah urusan energi Indonesia? Serta akan mengarah ke mana kiranya prioritas sumber energi di tanah air?
Yang Paling Ekonomis Jadi Juara?
Harapan bagi energi terbarukan agaknya masih cukup jauh bagi Indonesia. Persis seperti apa yang dikemukakan Guild, terutama dua komplikasi problematika yakni terkait persoalan biaya serta aspek keberlanjutan.
Pertama, walaupun rata-rata biaya yang dibutuhkan bagi energi terbarukan secara global cenderung turun, namun pengembangan energi terbarukan dalam skala besar di Indonesia masih dikategorikan belum dapat dijangkau.
Energi yang melimpah di tanah air seperti panas bumi, sinar matahari, aliran air (sungai, waduk, dan air terjun atau mikrohidro), dan gelombang laut dinilai tak memiliki prospek maksimal ketika infrastruktur yang dibutuhkan cenderung mahal. Belum termasuk isu sosial yang kerap meliputi pembangunannya dan menjadi kendala tersendiri.
Kedua, Indonesia secara konstitusi memiliki mandat untuk menyediakan energi yang terjangkau bagi warganya. Ihwal inilah yang membuat penggunaan batu bara, yang secara matematis merupakan sumber energi termurah dibandingkan sumber lain, juga terus mendapat signifikansi dan dominasinya.
Persoalan terkait legal itu pula yang juga dilihat Guild masih menghambat dan belum memadai di Indonesia. Arsitektur regulasi yang ada disebut kerap mematikan ruang bagi investor dan perkembangan energi terbarukan.
Berbeda halnya ketika menengok sejumlah negara di skandinavia seperti Norwegia yang telah memiliki regulasi yang sangat komprehensif bagi pengembangan energi terbarukan. Ataupun negara tetangga Australia dengan Renewable Energy Amendment Bill-nya pada 2015 yang cukup positif sampai sejauh ini.
Oleh karenanya, pekerjaan besar masih ada di depan mata bagi pemerintah untuk menyediakan sumber energi yang benar-benar terbarukan, sekaligus menghindari preseden adanya kepentingan tertentu di balik setiap kebijakan terkait energi bagi segenap rakyat Indonesia. (J61)
Baca juga: Jokowi dan Kesadaran Palsu Demokrasi
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.