Erick Thohir baru saja dipercaya menjadi Ketua Pengarah Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU). Itu mengingatkan kembali dengan beberapa kepercayaan serupa yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), plus PDIP kepadanya. Dengan kepercayaan dan portofolionya sejauh ini, Erick kemungkinan akan bergabung ke PDIP jelang 2024. Benarkah demikian?
Erick Thohir seolah menjadi bintang di acara peringatan hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-100. Sosok yang juga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu sendiri adalah orkestrator acara tersebut dengan predikat Ketua Pengarah Satu Abad NU.
Di acara puncak, dirinya tampil dengan mengenakan baju koko berwarna putih yang dibalut jaket loreng Banser NU, lengkap dengan label nama “Erick Thohir” dan peci hitam NU.
Frasa “bintang” kiranya tak berlebihan dikarenakan sejumlah faktor. Selain tampil bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan, popularitas Erick tampaknya belakangan tengah meningkat berkat sejumlah manuver.
Teranyar, Erick seolah begitu aktif menyibukkan diri dengan turut mencalonkan diri sebagai calon Ketua Umum (Ketum) PSSI periode 2023-2027. Dapat ditebak, sorotan lensa kamera dan awak media langsung tertuju pada Erick berkat manuver yang didukung sejumlah sosok tenar tanah air seperti Raffi Ahmad, Atta Halilintar, hingga putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep.
Berbicara mengenai “peran ketua” dan konteks Presiden Jokowi, Erick kiranya cukup familiar dengan korelasi keduanya.
Dipercaya sebagai ketua agenda besar NU sekilas mengingatkan kembali bahwa Erick seolah memang si paling ketua di era Jokowi, bahkan dalam aspek personal.
Mulai dari Ketua Panitia Asian Games 2018, Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019, Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), hingga menjadi Ketua Panitia Penyelenggara Pernikahan Kaesang sukses dilakoni Erick.
Selain itu, Erick juga tercatat menjadi sosok “ketua” yang berpengaruh dalam mempertemukan Presiden FIFA Gianni Infantino dengan Presiden Jokowi pada 18 Oktober 2022 pasca Tragedi Kanjuruhan.
Jika ditelaah secara politik, berbagai manuver plus kepercayaan Presiden Jokowi kepada Erick kiranya tak dapat dilepaskan pula dari restu dari partai pengusung RI-1, yakni PDIP.
Erick juga seolah begitu memahami bagaimana memberikan treatment kepada Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri yang dapat dilihat dari beberapa pertemuan keduanya.
Lantas, pertanyaannya, mengapa Erick begitu mendapat kepercayaan Presiden Jokowi dan PDIP? Serta, apa maknanya bagi politik dan pemerintahan jelang 2024?
Erick’s Money Talks?
Jika diamati, endorsement dan kepercayaan Presiden Jokowi, plus restu tak langsung PDIP, kiranya serupa tapi tak sama dengan peran yang diberikan kepada Luhut Binsar Pandjaitan.
Baik Luhut maupun Erick, tampaknya sama-sama memiliki political capital atau modal politik unik yang tak dapat dipungkiri berasal dari social capital atau modal sosial. Ihwal yang membuat keduanya merengkuh kepercayaan itu.
Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu dalam buku The Forms of Capital mendeskripsikan modal sosial sebagai properti individu, bukan kolektif, yang bersumber dari status sosial seseorang.
Modal sosial dikatakan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang atau individu lainnya. Lebih lanjut, Bourdieu menyebut modal sosial tidak tersedia secara alamiah bagi semua orang.
Di saat yang sama, Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital mengatakan modal sosial dapat dikonversi menjadi modal politik.
Itu yang kiranya yang membuat kepercayaan secara politik direngkuh Luhut dan Erick dalam dimensi yang hampir serupa.
Meskipun berasal dari Partai Golkar, Luhut merupakan legenda hidup angkatan bersenjata dan kemungkinan memiliki korelasi dengan pengaruhnya terhadap politik militer yang menopang kekuasaan Jokowi secara keseluruhan.
Sementara Erick, tampaknya memiliki political capital dari transformasi modal sosial, plus ekonomi, berupa jejaring bisnis, militansi konstruksi citra di sosial media, hingga jejaring organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam serta aspek olahraga.
Satu hal yang membuat modal sosial Erick begitu memikat kiranya juga disebabkan statusnya sebagai pendatang baru atau newcomer dalam politik, yang seolah begitu lihat dicitrakan terjun ke politik dan pemerintahan berdasarkan aspek meritokrasi.
Modal relasi ormas Islam juga tak dapat dikesampingkan. Michael Maccoby dalam Why People Follow the Leader: The Power of Transference menyiratkan kekuatan elektoral dahsyat dari relasi komando para kiai maupun ulama dengan preferensi politik masyarakat dan santri pengikutnya.
Dari aspek olahraga, khususnya sepakbola, sebagaimana Freek Colombijn jelaskan dalam The Politics of Indonesian Football, minat tinggi masyarakat Indonesia menyebabkan relasinya dengan politik tak terelakkan, bahkan sejak era pemerintahan Soekarno.
Akumulasi faktor itu tercermin, misalnya, saat Erick mendapat respons positif setelah mencalonkan diri sebagai calon Ketum PSSI karena rekam jejaknya saat pernah menjadi memiliki saham klub sepak bola di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Jika dielaborasikan dari sudut pandang newcomer serta berdasarkan publikasi Jeremy Ashton Houska yang berjudul Front-runners and newcomers: The dynamics of momentum in electoral politics as explained by cue competition, Erick kiranya memang sosok segar tanpa dosa politik kasat mata.
Houska mengatakan begitu pentingnya momentum bagi seorang newcomer. Dan Erick, mengacu pada Houska, tampak lihai untuk berbagi nilai dan kesamaan visi dengan sekelompok orang seperti relasi bisnis, ormas Islam, hingga kalangan sepakbola dalam timing yang tepat dengan munculnya sejumlah isu.
Akan tetapi, sekali lagi, tanpa endorsement Presiden Jokowi dan restu PDIP, modal dan bakat yang dimiliki Erick agaknya hanya akan terpendam begitu saja. Hal yang membuat koneksi akan berbuah hasil positif jika Erick menjadi kader partai.
Lantas, dengan transformasi modal politik Erick yang kini tampak cukup menjanjikan, apakah dirinhya akan bergabung, bekerjasama, atau direkrut PDIP menyongsong Pemilu 2024?
Ogah ke PDIP?
Meskipun santer pula disebut dekat dengan PAN, berdasarkan riwayat pernyataan para elite, PDIP menjadi partai politik (parpol) yang lebih dekat dengan sosok Menteri BUMN itu dibandingkan lainnya.
Bukan tidak mungkin, baik Jokowi maupun Megawati, mempercayakan serta merestui endorsement kepada Erick sebagai bagian dari sebuah rantai strategi politik jelang 2024.
Dalam chapter keenam strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil bertajuk Thirty-Six Stratagems, terdapat taktik yang disebut Lián huán jì atau chain stratagem (strategi rantai).
Disebutkan, dalam hal-hal penting beberapa strategi harus dijalankan secara simultan tanpa bergantung pada satu opsi.
Dengan berpegang pada rencana berbeda-beda yang dijalankan pada sebuah skema besar, jika satu strategi gagal, beberapa strategi masih dapat dijalankan untuk tetap maju.
PDIP boleh jadi menjadikan Erick sebagai salah satu mata rantai strategi politiknya. Itu kiranya dapat dilihat dari keterkaitan antara impresi personal sebagai newcomer (kemampuan konstruksi citra plus minim dosa politik kasat mata) dengan kerap memberikan gestur positif kepada Presiden Jokowi dan pemerintahan yang kini digerakkan PDIP sebagai parpol penguasa.
Dengan kata lain, jika Presiden Jokowi dan PDIP dilanda narasi minor, Erick kemungkinan dapat menjadi “penawar” sekaligus pengalih isu dengan manuver dan kelihaiannya membangun citra.
Namun, terlalu sederhana kiranya jika langsung mengaitkan hal itu dengan klimaks bergabungnya Erick sebagai kader partai berlambang kepala banteng jelang 2024.
Sebagaimana dijelaskan Francis Fukuyama dalam State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, logika organisasi berbeda dengan logika individu, tak terkecuali dalam memahami dan menentukan langkah politik.
Mengutip ilmuwan politik asal Amerika Serikat (AS) Herbert Simon tentang teori satisficing atau keterpuasan, Fukuyama menerangkan tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, tetapi muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi.
Menurut Fukuyama, itu terjadi karena individu-individu dalam organisasi punya rasionalitas yang terbatas. Kecenderungan itu tidak lain disebabkan oleh individu yang cenderung memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.
Itu pula kiranya yang menentukan proyeksi hubungan Erick dan PDIP kelak. Meski bisa menjadi kartu as PDIP di 2024, Erick kiranya akan berpikir beberapa kali untuk menjadi kader partai. Tentu dengan pertimbangan utama, yakni keleluasaannya saat ini sebagai newcomer.
Apalagi, potensi memenangkan kursi PSSI-1 bisa menambah portofolio kinerjanya, yang jika dieksekusi dengan baik bisa saja menaikkan citra sosial-politiknya ke level yang sulit ditandingi.
Sementara bagi PDIP, merekrut Erick kemungkinan bisa berarti menambah rumit persaingan internal – plus koalisi – jelang penentuan kandidat calon presiden (capres) maupun cawapres (cawapres) di 2024.
Namun, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, muara manuver Erick dan dampak restu serta kepercayaan Presiden Jokowi dan PDIP di 2024 cukup menarik untuk dinantikan. (J61)