Diangkatnya Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina dan mantan Menkominfo Rudiantara sebagai Direktur Utama PLN memang menjadi bagian dari sorotan 30 hari kerja awal Menteri BUMN Erick Thohir. Pasalnya, sumber-sumber internal kementerian tersebut menyebutkan bahwa ini masih awal dari aksi perombakan keseluruhan Kementerian BUMN. Apalagi, beberapa nama seperti mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga digadang-gadang akan mengisi daftar lanjutan yang akan menduduki pucuk-pucuk di beberapa perusahan pelat merah. Sementara, Presiden Jokowi dipercaya akan memaksimalkan BUMN untuk menciptakan state capitalism – model ekonomi yang dalam beberapa kasus nyatanya cukup dekat dengan pemerintahan yang bercirikan adanya sentralisasi kekuasaan. Sebuah bahaya?
PinterPolitik.com
“Politicians also have no leisure, because they are always aiming at something beyond political life itself, power and glory, or happiness”.
:: Aristoteles ::
Pertalian perusahaan-perusahaan pelat merah dengan kekuasaan di Indonesia punya sejarah yang panjang. Di era Soeharto misalnya, ada Ibnu Sutowo yang menjadi Direktur Utama Pertamina antara tahun 1968-1975 dan sering dianggap sebagai sosok yang untouchable alias tak tersentuh serta sangat dekat sang presiden.
“Soeharto punya ketergantungan sangat besar dalam hal keuangan di luar anggaran pada Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo”, demikian dituturkan oleh David Jenkins, penulis buku Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1965-1973.
Konteks spesialnya hubungan ini terlihat di tahun 1975, ketika kondisi keuangan Pertamina mengalami guncangan hebat. Perusahaan nyaris roboh setelah investasi di berbagai bidang tak berjalan lancar. Beberapa catatan lain juga menyebutkan bahwa para petinggi perusahaan tersebut diduga melakukan korupsi besar-besaran.
Pada akhirnya Ibnu dicopot, namun Soeharto tak menjalankan permintaan DPR kala itu yang ingin agar kasusnya dibawa ke pengadilan. Ia tetap menjadi the untouchable.
Potret pertalian kekuasaan dengan BUMN di era Orde Baru tersebut, kini juga kembali menjadi perdebatan, sekalipun mungkin dalam konteks dan kondisi yang berbeda. Adalah manuver menteri BUMN Erick Thohir yang mulai melakukan perombakan besar-besaran di kursi petinggi-petinggi BUMN yang jadi sorotannya.
Setelah mengangkat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina, kini muncul pula nama mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara yang diangkat sebagai Direktur Utama PLN.
Tak sampai di situ saja, belakangan juga muncul nama-nama mantan menteri Jokowi lain yang diisukan akan menjadi petinggi di BUMN. Isu ini melibatkan nama mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Ignasius Jonan, serta nama mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Jonan digadang-gadang akan menjadi petinggi di Garuda Indonesia, sementara Susi disebut akan menjadi bagian dari BUMN di sektor perikanan.
Konteksnya menjadi makin menarik setelah nama Sandiaga Uno yang bertarung bersama Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 lalu juga disangkut-sangkutkan dengan jabatan di salah satu BUMN juga.
Sosok Sandi dikenal sebagai pengusaha sukses dan dekat dengan Erick juga. Namun, kabar tersebut kemudian tak ada tindak lanjutnya, dan bahkan perlahan menguap dari pemberitaan.
Yang jelas, posisi-posisi di BUMN memang kini tengah menjadi perdebatan serius. Menteri Erick sendiri sedang dalam program 30 hari pertama kekuasaannya untuk membenahi kementeriannya yang menguasai total aset hingga Rp 8.200 triliun ini.
Terlepas dari persoalan wajah-wajah baru petinggi BUMN yang tengah jadi bahasan, beberapa pihak kini mulai menyorot konteks state capitalism – model ekonomi yang mengandalkan sepenuhnya BUMN – yang tengah dijalankan oleh Jokowi.
Pembenahan yang dilakukan oleh Erick Thohir ini juga disebut-sebut menjadi bagian dari cara sang presiden untuk menghapus praktik kolusi di BUMN, sekaligus juga menguatkan posisinya dalam pelaksanaan state capitalism. Benarkah demikian?
Strategi Baru Jokowi di BUMN?
Majalah Tempo edisi 25 November 2019 menyoroti perombakan besar-besaran yang tengah dilakukan oleh Erick Thohir di Kementerian BUMN. Menteri pengganti Rini Soemarno ini misalnya telah menghapus jabatan eselon 1 di Kementerian BUMN.
Disebutkan bahwa kebijakan tersebut diambil oleh Erick untuk membuat birokrasi terasa jauh lebih seperti korporasi. Namun, Tempo juga menyebutkan terkait adanya dugaan bahwa posisi tersebut dihapuskan karena ada seliweran informasi yang sampai ke Istana terkait “jual beli” jabatan direksi BUMN.
Konteks ini memang menjadi persoalan besar yang harus dihadapi oleh Erick. Namun, ini juga mengindikasikan bahwa di periode pertama kekuasaan Jokowi, mantan Wali Kota Solo itu sebenarnya tak bisa sepenuhnya mengendalikan BUMN. Perombakan besar-besaran boleh jadi memang menyiratkan hal tersebut.
Rini Soemarno sebagai pendahulu Erick memang disebut-sebut sebagai bagian dari lingkaran dalam atau inner circle kekuasaan Jokowi. Namun, sangat mungkin kepentingan yang berseliweran di belakang keputusan-keputusan Rini melibatkan jauh lebih banyak pihak, katakanlah jika dibandingkan dengan Erick Thohir saat ini.
Selain itu, Erick juga sangat mungkin lebih dekat dengan Jokowi secara personal, merujuk pada beberapa tanggung jawab besar yang diberikan pada bos media ini, misalnya pada Asian Games 2018 lalu yang secara penyelenggaraan bisa dikatakan sangat sukses. Jangan lupakan pula bahwa Erick juga menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin.
Dengan demikian, pemberian tanggung jawab pada Erick yang menjalankan kebijakan-kebijakan yang linear dengan arah politik Jokowi – misalnya efisiensi dan penyederhanaan birokrasi – menunjukkan konteks kepercayaan itu sendiri.
Sementara, dalam konteks kekuasaannya yang dikelilingi oleh oligarki, Jokowi sepertinya telah menempatkan orang yang tepat untuk posisi yang tepat juga.
Sang presiden setidaknya sudah menguasai dua posisi penting, yakni Ahok di Komisaris Utama Pertamina dan Rudiantara sebagai Direktur PLN. Ahok misalnya, dipercaya sangat dekat dengan Jokowi. Pun demikian dengan Rudiantara yang tak terdentuh reshuffle sejak 2014 lalu.
Dua jabatan itu bisa menjadi kunci di dua perusahaan dengan total aset terbesar dalam skala nasional.
Ekonom senior Faisal Basri pernah menyebut bahwa Pertamina dan PLN menguasai total aset Rp 2.297 triliun, atau sekitar 28 persen dari total keseluruhan aset BUMN. Faisal juga menyebutkan bahwa dua perusahaan ini menguasai sektor energi yang tentu saja sangat vital untuk masyarakat.
Baginya, jika perusahaan-perusahaan ini dipimpin oleh orang yang tepat, maka hal ini dapat mencegah “perampokan” uang negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN – termasuk Pertamina dan PLN di dalamnya – adalah “lahan basah” banyak tangan.
State Capitalism, Positif atau Negatif?
Makin kuatnya tangan Jokowi di BUMN di sisi lain juga mengindikasikan arah Indonesia yang makin menuju ke state capitalism. Model kapitalisme ini dicirikan dengan makin kuatnya posisi BUMN dalam hampir semua aspek ekonomi, termasuk pemberdayaannya untuk menjalankan kebijakan-kebijakan di bidang yang lain.
Tiongkok adalah salah satu contoh negara yang menganut state capitalism. BUMN-BUMN di negara tersebut memang menjadi bagian yang dominan dari pembangunan ekonomi.
Selain itu, state capitalism itu juga dicirikan dengan peran pemerintah atau pucuk kekuasaan yang kuat dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Pemerintah bisa sewaktu-waktu mengintervensi – misalnya dengan menyuntikan dana atau bailout – ketika kondisi ekonomi dianggap bisa terguncang akibat kondisi keuangan entitas bisnis tertentu.
Namun, yang menjadi catatan adalah bahwa jika mengacu pada model yang dilakukan di Tiongkok, maka akan ada potensi bahwa kekuasaan pemerintah – dalam hal ini Jokowi – akan menjadi sangat dominan.
Selain itu, BUMN juga bisa menjadi alat politik. Ini setidaknya pernah ditulis oleh Clara Volintiru dari Bucharest University of Economic Studies, serta Bianca Toma dan Alexandru dari Romanian Center for European Policies dalam penelitian-penelitiannya yang menyebutkan bahwa praktik politik menggunakan sumber daya BUMN untuk kepentingan tertentu banyak juga terjadi di negara-negara demokrasi.
Pertanyaannya tinggal apakah ini juga akan terjadi pada Jokowi atau tidak. Yang jelas, publik bisa menilai bahwa konteks perombakan yang dilakukan oleh Erick Thohir punya relasi yang besar terhadap kekuasaan Jokowi sendiri.
Mungkin levelnya tidak sampai pada model hubungan yang terjadi antara Ibnu Sutowo dengan Soeharto seperti disinggung di awal tulisan, namun konteksnya tak akan jauh-jauh dari kekuasaan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.