Menteri BUMN, Erick Thohir tengah disorot karena geliatnya dalam melakukan perombakan pimpinan BUMN dan wacana berbagai holding BUMN yang akan dibuat. Geliat tersebut, tidak hanya menunjukkan Erick tengah bekerja keras, melainkan juga menunjukkan indikasi bahwa dirinya kemungkinan besar telah menyadari bahaya ancaman BUMN Zombie – kasus yang telah melanda Tiongkok.
PinterPolitik.com
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya patut diapresiasi terkait keberaniannya dalam mengambil risiko ekonomi dalam ambisi pembangunan infrastruktur yang begitu masif. Atas visi pembangunan infrastruktur itu pula, ia telah menerapkan sistem ekonomi yang disebut dengan state capitalism atau kapitalisme negara seperti yang berlaku di Tiongkok.
Secara sederhana, kapitalisme negara dapat dimaknai sebagai sistem ekonomi yang memberikan porsi besar kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam aktivitas ekonomi nasional. Porsi besar tersebut dapat berupa proyek yang diberikan ataupun terkait pemberian subsidi tahunan.
Namun, kapitalisme negara yang telah diterapkan nampaknya tidak memberikan senyum yang menggembirakan. Pasalnya, sampai saat ini, berbagai BUMN yang diandalkan tersebut, bukannya memberikan keuntungan ekonomi (profit), melainkan justru menambah beban utang negara.
Pada tahun 2018 misalnya, utang perusahaan pelat merah diketahui meroket hingga menembus Rp 5.271 triliun. Padahal, pada tahun 2016, kisaran utang hanya berada di angka Rp 2.263 triliun.
Dalam keterangan terbaru Menteri BUMN, Erick Thohir, disebutkan hanya 15 dari 142 BUMN yang memiliki kontribusi terhadap perekonomian saat ini. Dengan kata lain, 127 BUMN sisanya nampaknya justru menjadi semacam beban tanggungan negara, alih-alih ikut andil dalam menggerakkan roda perekonomian.
Kyunghoon Kim dalam tulisannya Who is Responsible for State-Owned Enterprises’ Debts?, pada tahun 2016 lalu sebenarnya telah memberikan peringatan kepada pemerintah Indonesia agar memperketat pengawasan terhadap manajemen utang BUMN agar kasus BUMN zombie seperti di Tiongkok tidak terjadi.
Lalu, apakah yang dimaksud Kim dengan menyebut BUMN zombie tersebut? Dan mengapa itu bisa terjadi?
BUMN Zombie di Tiongkok
Mendengar kata zombie, kita mungkin akan teringat pada mayat hidup yang banyak digambarkan dalam berbagai film, seperti Resident Evil, Warm Bodies, Dawn of Dead, ataupun The Walking Dead.
Zombie yang pada hakikatnya merupakan organisme yang telah mati adalah istilah yang kemudian diadopsi dalam menjelaskan BUMN yang sebenarnya telah bangkrut, namun tetap berjalan seperti perusahaan pada umumnya.
Tianlei Huang dalam tulisannya China Is Only Nibbling at the Problem of “Zombie” State-Owned Enterprises, menyebutkan BUMN zombie adalah BUMN yang pada dasarnya tidak dapat lagi dilanjutkan atau bangkrut, namun tetap hidup karena mendapatkan pinjaman dari bank ataupun subsidi dari pemerintah.
Atas maraknya BUMN zombie di Tiongkok, sejak tahun 2008 sampai tahun 2018 telah terjadi peningkatan utang sebesar empat kali lipat pada perusahaan non-keuangan dari berkisar $4,56 triliun (Rp 64.415 triliun) menjadi $20 triliun (Rp 273.750 triliun).
Peningkatan utang yang bukan main banyaknya ini kemudian membuat pemerintah Tiongkok gencar menyasar perusahaan zombie yang sebenarnya telah bangkrut. Sejak tahun 2015 sampai tahun 2018, terjadi peningkatan perusahaan yang diputuskan bangkrut sebesar hampir lima kali lipat dari 2.352 menjadi 11.669 perusahaan.
Chris Becker dalam tulisannya Chinese “Zombie” Growth at 6.5%, menyebutkan bahwa jumlah BUMN zombie lokal jumlahnya jauh melebihi BUMN zombie nasional. Artinya, ini menunjukkan bahwa anak perusahaan dan cucu perusahaan BUMN adalah yang paling potensial untuk menjadi BUMN zombie.
Xinfeng Jiang, Sihai Li, dan Xianzhong Song dalam tulisannya The Mystery of Zombie Enterprises – “Stiff but Deathless”, menyebutkan BUMN zombie ataupun perusahaan zombie sebenarnya tidak hanya identik dengan perusahaan bangkrut, melainkan juga merujuk pada perusahaan yang memiliki produksi dan efisiensi operasional yang rendah, namun dapat bertahan lama dari kebangkrutan.
Perusahaan semacam ini sebenarnya adalah benalu dalam ekonomi karena statusnya yang tidak kunjung bangkrut, namun terus mendapat suntikan dana dari pemerintah.
Menurut Jiang, Li, dan Song, maraknya BUMN ataupun perusahaan zombie terjadi karena transformasi Tiongkok yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, ini kemudian membuat berkembang dan semakin banyaknya perusahaan di negeri Tirai Bambu tersebut.
Tidak hanya membuat produksi Tiongkok bertambah, fenomena ini juga berdampak pada terjadinya over kapasitas yang justru disebut memiliki dampak ekonomi dan sosial yang cenderung destruktif.
Tentu pertanyaannya, kendati berbagai BUMN dan perusahaan zombie telah diidentifikasi bahkan disebut memiliki dampak negatif, lantas mengapa pemerintah Tiongkok tidak segera membangkrutkan semuanya?
Ternyata faktor kunci yang menjelaskan hal ini adalah masalah ketenagakerjaan atau pengangguran, sentralisasi politik, serta desentralisasi fiskal yang terjadi di Tiongkok. Menyambung pernyataan Becker terkait BUMN zombie lokal lebih banyak dari BUMN zombie nasional, itu sebenarnya adalah imbas dari ketiga variabel tersebut.
Karena terjadi sentralisasi politik di Tiongkok, promosi pejabat daerah sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Atas dasar ini, para pejabat lokal harus berlomba untuk menunjukkan kinerja yang menjawab masalah nasional tersebut, yaitu pengangguran.
Di sini poin pentingnya, bahwa untuk menjawab persoalan pengangguran karena tingginya populasi di Tiongkok, para pejabat lokal ini memanfaatkan BUMN-BUMN lokal yang tersebar di daerah.
Artinya, meski BUMN tersebut sebenarnya berstatus zombie, perannya sangat penting secara politik, ekonomi, dan sosial untuk menyerap tenaga kerja. Hal ini juga membuat kita paham mengapa BUMN zombie terus mendapatkan suntikan dana karena hal tersebut ditujukan untuk membayar para pekerja.
Melihat kompleksnya persoalan BUMN zombie di Tiongkok, lalu bagaimana dengan Indonesia? Dapatkah pemerintah Indonesia menjawab tantangan BUMN zombie tersebut jika terjadi? Atau justru masalah di Tiongkok tersebut telah menghinggapi Indonesia?
Menakar Masalah BUMN Indonesia
Terkait dampak negatif dari kapitalisme negara atau diandalkannya BUMN dalam aktivitas ekonomi, hal ini sepertinya telah lama disadari oleh pemerintah. Persoalan mengenai rendahnya efisiensi kerja BUMN misalnya, disadari dengan wacana pembentukan berbagai holding BUMN oleh pemerintah.
Kyunghoon Kim dalam tulisannya Time to Scrutinize Indonesia State-Owned Enterprise Merger Synergies, menuliskan bahwa sejak tahun 2015, pemerintah telah mewacanakan pembentukan 16 holding BUMN.
Tujuannya jelas, untuk meningkatkan sinergi antar BUMN dan efisiensi kerja atau operasional. Ini tentu menjadi angin segar agar over kapasitas atau tumpang tindih kerja antar BUMN tidak terjadi seperti di Tiongkok.
Tidak hanya itu, menurut Kim, holding BUMN juga dapat meningkatkan nilai aset perusahaan. Hal ini misalnya terlihat dari holding BUMN pertambangan yang nilainya meningkat dari Rp 65,6 triliun menjadi Rp 182 triliun.
Kendati memiliki manfaat yang besar, nyatanya wacana holding BUMN tersebut berjalan sangat lambat. Akan tetapi, di bawah Menteri BUMN yang baru, Erick Thohir, wacana holding BUMN tersebut sepertinya tengah dipercepat.
Menariknya, pembentukan holding BUMN tersebut tidak didasari semata-mata karena persoalan yang telah disebutkan sebelumnya, melainkan juga karena hebohnya kasus BUMN asuransi, Jiwasraya yang gagal membayar polis nasabah.
Merujuk pada pernyataan Erick, di mana hanya 15 BUMN yang memberikan manfaat ekonomi, itu sebenarnya adalah indikasi kuat bahwa BUMN zombie telah terjadi di Indonesia. Ini juga terlihat dari peningkatan utang BUMN yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, membandingkan dengan Tiongkok, sepertinya terdapat perbedaan terkait faktor apa yang membuat BUMN zombie ini terjadi.
Perbedaan utama tentunya adalah status Indonesia yang bukan sebagai aktor besar dalam ekonomi dunia seperti Tiongkok. Artinya, tidak terjadi penambahan BUMN atau perusahaan yang signifikan.
Pun begitu dengan persoalan pengangguran yang digunakan oleh pejabat lokal di Tiongkok untuk mendapatkan promosi. Ini tidak terjadi di Indonesia karena BUMN tidak di bawah pemerintah daerah, melainkan langsung di bawah Kementerian BUMN yang langsung ada di bawah Presiden tentunya.
Tereliminasinya kedua hal tersebut, membuat satu faktor yang tersisa, yakni terjadinya BUMN zombie adalah risiko ambisi Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur. Ini misalnya terlihat dari peningkatnya utang yang dialami oleh BUMN sektor karya yang memang menjadi tonggak bagi pembangunan infrastruktur.
Pada tahun 2015 hingga tahun 2018, sebagian besar BUMN sektor karya terlihat mengalami pertumbuhan utang lebih dari dua kali lipat. Dari semuanya, total utang paling tinggi dimiliki oleh Waskita Karya yang mencapai Rp 95,5 triliun.
Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi Erick selaku penanggung jawab BUMN adalah, bagaimana mantan pemilik Inter Milan ini mampu menjawab persoalan semakin tingginya utang akibat visi pembangunan infrastruktur tersebut? Terlebih lagi, Presiden Jokowi menyebutkan akan meneruskan visi pembangunan infrastruktur di periode kedua kepemimpinannya.
Untuk saat ini, setidaknya dua hal yang dapat dilakukan oleh Erick.
Pertama, mempercepat pembentukan berbagai holding BUMN, terutama yang bersinggungan langsung dengan pembangunan infrastruktur.
Kedua, Erick dapat meniru pemerintah Tiongkok dengan mulai menyisir BUMN zombie untuk kemudian diputuskan bangkrut agar tidak lagi membebani keuangan negara.
Lalu, apakah Erick akan menerapkan kedua hal tersebut? Tentu hanya waktu yang dapat menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.