HomeHeadlineErick Belum Pantas Pimpin PSSI?

Erick Belum Pantas Pimpin PSSI?

Menjelang Kongres PSSI pada 16 Februari nanti, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir memutuskan maju sebagai calon Ketua Umum (Ketum) PSSI. Menariknya, Erick maju saat federasi itu mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Lalu, mungkinkah Erick mampu benar-benar membawa perubahan bagi PSSI? Atau justru sama saja? 


PinterPolitik.com 

Nama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bukan sosok yang asing bagi industri dunia sepakbola nasional dan internasional. Erick pernah terlibat dalam manajemen hingga menjadi pemilik klub nasional dan klub luar negeri. 

Erick tercatat pernah menjadi presiden klub top Serie-A Italia, Inter Milan pada 2013-2019 lalu. Bahkan, sampai saat ini dia adalah pemilik mayoritas saham klub kasta ketiga liga Inggris, Oxford United. 

Selain klub luar negeri, Erick Thohir juga beberapa kali masuk kedalam manajemen dan kepemilikan saham klub Indonesia, seperti Persija Jakarta (2001) dan Persib Bandung (2014). 

Pada tahun 2020 lalu, Erick bersama putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep mengakusisi klub Persis Solo. Di klub kebanggaan masyarakat Solo tersebut Erick memiliki saham sebesar 20 persen. 

Latar belakang lekat dengan sepakbola inilah yang kemudian banyak orang menganggap Erick adalah sosok yang pantas untuk memperbaiki sepakbola nasional. Dia diharapkan bisa meningkatkan kualitas kompetisi nasional dan kemudian hilirnya adalah kualitas Tim Nasional (Timnas) sepakbola Indonesia. 

Dalam setiap klub sepakbola yang terdapat Erick didalamnya, klub tersebut bukan hanya memiliki prestasi. Dari segi bisnis, sumber pendanaan dan manajemen keuangan klub berjalan dengan baik. 

image 54

Masalah bisnis dan manajemen keuangan pun tampaknya adalah salah satu dari sekian banyak masalah dalam tubuh PSSI. Dalam sebuah industri, segi bisnis tidak dapat dipandang sebelah mata. Termasuk dalam industri sepakbola. 

Hal yang paling sering terjadi adalah federasi selalu sulit untuk mendapatkan sponsor utama untuk menjalankan kompetisi nasional di berbagai level. Ini membuat sering kali kompetisi sepakbola Indonesia tidak berjalan mulus. 

Selain itu, masalah sistem transparansi keuangan PSSI, sharing profit bagi setiap klub yang mengikuti kompetisi juga amburadul

Ini membuat banyak klub selalu bermasalah dalam hal pendanaan ketika kompetisi akan dimulai terutama bagi klub kasta kedua dan seterusnya. 

Erick yang juga sebagai pebisnis tampaknya paham apa yang harus dilakukan untuk membuat keuangan dan industri bisnis sepakbola Indonesia berjalan baik dengan banyaknya kepentingan yang ada di PSSI. 

Lantas, mungkinkah Erick mampu memenangkan suara sebagai Ketum PSSI nantinya? Lalu, adakah kepentingan lain dibalik pencalonan itu? 

PSSI Sarat Kepentingan? 

Sepakbola menjadi olahraga yang digemari hampir seluruh masyarakat Indonesia. Setiap pertandingan hampir selalu dipenuhi penonton. 

Animo yang begitu besar ini seharusnya menjadi modal berharga bagi industri sepakbola Indonesia. Namun yang terjadi adalah sepakbola sering sekali dijadikan “alat” bagi individu atau kelompok hanya demi kepentingan mereka, baik itu segi bisnis ataupun yang bersifat politis. 

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”
image 55

Dari segi bisnis, sepakbola adalah sesuatu yang menguntungkan. Meskipun sering terjadi ketidakpastian akan bergulir atau tidaknya kompetisi setiap tahun, perputaran uang di dunia sepakbola begitu menggiurkan. 

Menurut kajian PT Liga Indonesia Baru (PT LIB), nilai ekonomi kompetisi Liga 1 dapat mencapai Rp3 triliun. Nilai itu menggerakkan sektor akomodasi, transportasi, dan merchandise, serta dapat menyerap 112 ribu orang pekerja. 

Kemudian dari segi politis, sepakbola Indonesia sering kali menjadi “alat kampanye” politik yang efektif bagi seorang politisi atau partai politik (parpol). 

Federasi tak jarang diisi oleh orang-orang yang memiliki ambisi politik tertentu dan membutuhkan exposure yang tinggi. 

Contoh terbaru ketika Ketum PSSI saat ini, Mochamad Iriawan atau Iwan Bule sempat diisukan akan maju dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat (Jabar) dan memanfaatkan atensi terhadap sepakbola Indonesia yang sedang meningkat. 

Sebelumnya, Edi Rahmayadi juga seolah menjadikan posisi ketum PSSI sebagai batu loncatan sebelum naik kelas menjadi Gubernur Sumatera Utara (Sumut). 

Ini tidak hanya berlaku bagi tingkatan profesional, namun juga terjadi dari tingkatan amatir hingga turnamen antar kampung. 

Banyaknya kepentingan semacam itu yang disinyalir membuat industri sepakbola di Indonesia tidak berjalan seperti seharusnya. 

Industri sepakbola pada dasarnya adalah bagaimana sepakbola sebagai sebuah event yang bebas akan kepentingan politis dan dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat mulai dari pemain, panitia pelaksana, klub, hingga penggemar sebagai sebuah tontonan. 

Permasalahan sepakbola Indonesia sendiri sangat kompleks. Seorang ketum PSSI akan selalu dibayangi tarik menarik vested interest atau aktor eksternal dengan kepentingan tertentu dalam melakukan reformasi sistem sepakbola nasional. 

Menurut Merriam Webster Dictionary, dijelaskan bahwa vested interest itu sendiri merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok, mereka akan berusaha mengontrol sistem hanya untuk keuntungan sendiri. 

Dengan sikap “suka mengontrol” inilah, kelompok tersebut sulit melepaskan posisi atau kedudukan yang sudah di dapatkan. 

Erick sebagai calon ketum PSSI, tampaknya akan sulit lepas dari persepsi negatif sebuah kepentingan utamanya politik di sepakbola. 

Persepsi tersebut dilandasi dengan posisi Erick sebagai salah satu kandidat kuat calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Ihwal yang kemungkinan akan membuat sepakbola Indonesia tidak lepas dari kesan instrumen politik. 

Di titik ini, Erick kiranya harus membuktikan janji yang dia sampaikan pada saat pendaftaran calon Ketum PSSI periode 2023-2027, yakni fokus membuat level sepakbola Indonesia naik kelas jika terpilih nanti. Termasuk menghindari predikat rangkap jabatan yang rentan akan konflik kepentingan. 

Dengan realita banyaknya kepentingan di tubuh PSSI, apakah Erick Thohir mampu untuk membenahi sistem sepakbola Indonesia yang kerap disebut sudah telanjur kusut? 

image 56

Erick Sama Saja? 

Erick Thohir adalah sosok yang diharapkan mampu merubah wajah PSSI berjanji akan membawa level sepakbola Indonesia akan naik kelas dengan segala pengalaman dan latar belakangnya. 

Latar belakang sebagai sosok yang sudah lama berkecimpung dalam dunia sepakbola, seorang pebisnis, dan seorang menteri dalam pemerintahan saat ini, agaknya sudah menjadi modal yang cukup untuk Erick menjadi ketum PSSI. 

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Seperti yang diketahui, Presiden Jokowi merupakan pemimpin yang menggemari sepakbola. Jokowi menaruh atensi penuh terhadap sepakbola nasional. 

Ini diperlihatkan Presiden Jokowi saat menaruh perhatian lebih dengan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) pasca tragedi Kanjuruhan. 

Jokowi juga mengundang secara resmi Presiden FIFA Gianni Infantino untuk datang ke Istana untuk membicarakan pembenahan sepakbola Indonesia. 

RI-1 yang seolah lelah dengan perilaku pimpinan PSSI yang tak kunjung membuat sepakbola Indonesia lebih baik, mengutus seseorang yang mempunyai pengalaman dan koneksi untuk berhubungan langsung dengan FIFA. Tak lain, orang tersebut adalah Erick Thohir. 

Erick secara khusus diutus Jokowi untuk melobi FIFA agar tidak menjatuhkan sanksi setelah tragedi Kanjuruhan dan mengundang FIFA untuk berpartisipasi dalam perbaikan sepakbola Indonesia. 

Ketika sampai pada variabel itu, kepercayaan kepala negara tampak menjadi “sesuatu yang berharga” bagi Erick jika ditelaah dari konsep modal sosial yang dikemukakan oleh Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu dalam publikasinya yang berjudul The Forms of Capital

Dalam pemikirannya, Bourdieu menyebut modal sosial merupakan properti individual, bukan kolektif, yang bersumber dari status sosial seseorang. Menariknya, secara alamiah modal ini dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang. 

Jika Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital menyebut bahwa modal sosial dapat dikonversi menjadi modal politik. 

Support Jokowi yang mempercayakan Erick untuk berkomunikasi dengan FIFA pasca tragedi Kanjuruhan bisa saja sudah menjadi salah satu “gelagat sosial, politik, dan praktikal” atas probabilitas predikat kandidat ketum PSSI yang kemungkinan mengarah pada Erick. 

Selain itu, Erick yang dalam pencalonannya didukung oleh sejumlah pihak seperti Raffi Ahmad (RANS Nusantara FC), Atta Halilintar (FC Bekasi City), hingga Kaesang (Persis Solo) kiranya juga menjadi modal menjanjikan lain bagi Erick. 

Walaupun gelagat restu Presiden Jokowi dan dukungan dari sosok prominen seperti Kaesang, Raffi Ahmad, hingga Raffi Ahmad bukan menjadi faktor tunggal terpilihnya Erick sebagai PSSI-1, Erick dapat memanfaatkan koneksi dengan insan sepakbola nasional dan internasional semasa dia aktif dalam dunia sepakbola. 

Atas serangkaian faktor pendukung yang telah disebutkan tadi, Erick Thohir tampaknya merupakan sosok yang tepat untuk menjadi pengganti Iwan Bule sebagai pemimpin federasi sepakbola Indonesia. 

Meskipun begitu, tantangan yang dihadapi Erick jika terpilih nanti sangat berat. Dia harus membenahi tata kelola kompetisi PSSI yang jamak dianggap masih belum baik. Itu belum termasuk isu pengaturan skor yang masih belum bisa lepas dari sepakbola Indonesia.

Akan tetapi, penjelasan diatas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, semua faktor yang dijelaskan diatas masih harus dibuktikan Erick Thohir jika terpilih menjadi pucuk pimpinan PSSI nantinya. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?