Konflik Rusia dan Ukraina yang saat ini masih berlangsung, diyakini membuat Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mencoba “cari untung”. Analis melihat Erdogan akan meningkatkan posisi strategisnya dalam dunia internasional sebagai aktor kunci perdamaian keduanya. Lantas, apa dibalik motif Erdogan sebagai aktor kunci perdamaian Ukraina?
Pertemuan Kanselir Jerman Olaf Scholz dengan dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan di Ankara menjadi peristiwa menarik dalam melihat penanganan konflik antara Rusia dan Ukraina. Kedatangan Scholz ditafsirkan sebagai simbol bahwa Turki melalui Erdogan dapat menjadi harapan perdamaian di Ukraina.
Alasannya, Turki dianggap dapat membuat kedua negara berkonflik duduk bersama untuk bernegosiasi. Turki dapat menjadi mediator antara mereka yang berperang, dikarenakan hubungan Turki dengan Ukraina cukup baik. Begitu pula hubungan Turki dengan Rusia.
Sejauh ini, Turki terus melakukan upaya diplomatik untuk memulihkan perdamaian antara Rusia dan Ukraina, serta berharap agar gencatan senjata permanen tercapai sesegera mungkin. Turki telah memposisikan diri untuk menjadi perantara dengan Rusia dan Ukraina berdasarkan komunikasi antara Putin dan Erdogan.
Ibrahim Kalin, Juru bicara utama Erdogan, mengatakan bahwa tuntutan terpenting Rusia yaitu Ukraina harus menjadi negara yang netral dan tidak boleh mengajukan diri untuk bergabung dengan NATO. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sendiri mengakui telah menerima kenyataan tersebut.
Ukraina telah menyadari bahwa tidak ada gunanya berharap pada NATO dan Uni Eropa. Negara itu tetap dibiarkan sendiri dalam menghadapi konflik dengan Rusia. Akhirnya Ukraina mencoba mencari solusi untuk menyelamatkan negerinya.
Turki melalui Erdogan mengatakan perdamaian harus segera dilakukan. Turki mempunyai peran penengah yang strategis. Erdogan mengatakan berupaya untuk menyatukan para pemimpin Ukraina dan Rusia.
Keinginan Erdogan ini tidak hanya dapat dilihat dengan alasan yang sederhana bahwa penting mendamaikan negara yang secara geopolitik berdekatan dengan negaranya. Perlu tafsir lebih dalam melihat sikap erdogan yang begitu serius menjadi mediator konflik Rusia dan Ukraina.
Lantas, apa alasan Erdogan di balik inisiatif menjadi mediator konflik ini?
Meraba Kepentingan Erdogan
Kemunculan Turki beberapa tahun belakangan sebagai kekuatan regional baru, menandai berakhirnya julukan yang lekat dikaitkan kepadanya yaitu “orang sakit Eropa”. Julukan ini juga yang membuat Turki kesulitan untuk bergaul dengan negara-negara Eropa lain pada masanya.
Poltak Partogi Nainggolan dalam tulisannya Erdogan dan Turki Sebagai Kekuatan Baru di Timur Tengah, mengatakan, secara Geopolitik, Turki di persilangan Eropa dan Asia membuat eksistensinya begitu strategi di kawasan dua benua. Untuk itulah, ia harus menjadi negara yang kuat, agar disegani kehadirannya di salah satu bagian kawasan manapun saat ia tampil.
Dengan berakhirnya Imperium Ottoman, Turki tetap ingin menunjukkan peran besarnya dalam menentukan masa depan dunia dan kawasan, di bawah Erdogan. Sebagai konsekuensi logisnya, Turki harus memiliki pemimpin yang ekstra kuat, didukung secara luas, dan dapat berkuasa dalam tempo yang lebih lama daripada para pemimpin sebelumnya.
Pemimpin politik modern Turki ini naik ke panggung kekuasaan sejak tahun 2003 sampai tahun 2014 sebagai Perdana Menteri, dan tahun 2014 sebagai Presiden. Selama 15 tahun mendominasi pemerintahan Turki, Erdogan memiliki pencapaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Novi Christiastuti dalam tulisannya Pencapaian Erdogan Selama 15 Tahun Terakhir Berkuasa di Turki, menyebut, Erdogan bersama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang didirikannya tahun 2001, selalu memenangi pemilu sejak tahun 2002. Erdogan sendiri telah menjabat PM Turki selama tiga periode, mulai tahun 2003 dan berlanjut hingga tahun 2014.
Berawal dari menjabat Perdana Menteri Turki, Erdogan mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang mengesankan banyak pihak. Di bawah Erdogan, Turki menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-16 di dunia dan terbesar ke-6 di Eropa.
Namun, kesuksesan Erdogan saat ini sedang dihadapkan pada kenyataan yang berbeda, Ekonomi Turki mengalami penurunan. Penurunan lira membuat harga impor lebih mahal, mulai dari energi hingga banyak bahan baku yang diubah para produsen di Turki menjadi barang ekspor.
Tingkat inflasi tahunan Turki melonjak ke level tertinggi dalam 19 tahun, yang kian menggambarkan gejolak keuangan negara itu, sekaligus menimbulkan peringatan atas kebijakan presidennya. Disinilah peran Erdogan di uji dalam konteks politik domestiknya.
Thea Fathanah Arbar dalam tulisannya Erdogan Disebut “Cari Untung” Konflik Rusia-Ukraina, Kenapa?, mengutip berbagai analis geopolitik yang percaya konflik Rusia-Ukraina akan menjungkirbalikkan ekonomi Turki yang kini sedang krisis, dengan nilai Lira yang terus menurun terhadap dolar AS dan tingginya inflasi.
Oleh karena itu secara politik, hal ini pun akan membahayakan peluang Erdogan untuk memperpanjang kepemimpinannya, menjadi tiga periode, dalam pemilu di 2023. Erdogan membutuhkan strategi untuk menguraikan permasalahan politik domestik.
Asli Aydintasbas dalam tulisannya War in Ukraine: Erdogan’s Greatest Challenge Yet, mengatakan, bahwa ketika momok perang di Ukraina membayangi Eropa, maka Erdogan tidak akan melewatkan kesempatan tersebut untuk kepentingan tantangan politik domestik yang sedang dihadapinya.
Di sini lag secara jelas terlihat bahwa Erdogan akan menggunakan isu internasional seperti konflik yang terjadi di Ukraina, menjadi modal politik untuk menyelesaikan kepentingan politik dalam negeri. Lantas, seperti apa penjelasan strategi Erdogan yang menggunakan isu konflik rusia untuk kepentingan dirinya?
Two-Level Game ala Erdogan
Putnam dalam bukunya Diplomacy and Domestic Politics: the logic of Two-Level Games, mengatakan, bahwa two-level games merupakan sebuah proses dimana politik internasional dan domestik tidak bisa berdiri sendiri karena keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.
Seperti yang dipaparkan oleh Putnam bahwa konsep ini sebenarnya ingin menggambarkan metamorfosis yang terjadi pada dua ranah yaitu internasional pada level pertama dan domestik pada level kedua.
Jika melihat konteks posisi Erdogan, kepentingan Perdamaian di Ukraina yang dipelopori oleh Turki melalui Erdogan akan berimbas pada politik domestik yang sedang dihadapinya.
Glorifikasi kejayaan Islam dan nilai-nilai Islam modern yang dikampanyekan sebagai pemikiran politiknya, akan diuji saat Turki dihadapkan dengan kondisi perang di Ukraina.
Keberhasilan Erdogan merebut hati rakyat Turki adalah bukan program ekonomi atau sekulernya semata, tapi terutama karena program pro-Islam yang mengesankan. Pesan Islam dari kebijakan- kebijakan politiknya yang dibawa damai oleh Erdogan menyebabkan ia dikagumi masyarakat Islam Turki.
Masyarakat Islam yang menjadi penyokong kekuasaan Erdogan terbesar, setidaknya mengajukan dua tuntutan yang mungkin saja bisa terjadi. Pertama, pengejawantahan nilai-nilai perdamaian yang dibawa oleh nilai-nilai Islam itu sendiri. Pada kasus Ukraina, Turki dituntut jadi juru damai.
Kedua, sikap romantisme terhadap kejayaan masa lalu Turki yang di selalu dikampanyekan Erdogan. Dengan menjadi juru kunci perdamaian, Turki akan menjadi negara yang diperhitungkan setidaknya dalam geopolitik kawasan.
Putnam menjelaskan pada level domestik terdapat kelompok-kelompok yang akan menekan pemerintah dengan kepentingannya sehingga membuat pemerintah mengadopsi kebijakan yang menguntungkan kelompok domestik.
Tentunya kesinambungan kepentingan politik domestik Erdogan saat ini yang akan menghadapi pemilu 2023, mendapatkan momentumnya ketika dia mampu pertahankan kampanye besarnya tentang kebangkitan Turki dibawah kepemimpinan.
Zafer Fatih Beyaz dalam tulisannya Erdogan Janjikan Turki yang Lebih Kuat Pada Usia 100 Tahun, mengatakan, bahwa kekuatan Turki telah diakui di kawasan. Menggarisbawahi bahwa kekuatan Turki di wilayahnya telah diakui, Erdogan mencatat bahwa pemerintahnya tetap bersikeras untuk mencapai tujuan yang ditetapkan untuk seratus tahun negara pada 2023.
Glorifikasi kejayaan turki menjadi salah satu strategi yang membuat Erdogan dapat bertahan pada pucuk kekuasaan Turki sampai saat ini. Pada akhirnya glorifikasi ini akan mendapatkan klimaksnya jika Erdogan benar-benar berhasil menjadi juru kunci dari konflik antara Rusia dan Ukraina. (I76)