Pertemuan antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto dinilai dapat mengakhiri perseteruan dan polarisasi politik antara kelompok “cebong” dan “kampret.” Namun, beberapa pihak tampaknya masih ingin polarisasi tersebut bertahan.
PinterPolitik.com
“This is bigger than donkeys vs. elephants” – Lynzy Lab, penyanyi asal Amerika Serikat
Drama Pilpres 2019 seolah-olah telah berakhir dengan pertemuan yang dilakukan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto beberapa hari lalu. Keduanya telah sepakat untuk menghilangkan perseteruan lalu tersebut.
Begitu juga bagi khalayak umum, keduanya memberikan imbauan bahwa penggunaan istilah “cebong” dan “kampret” perlu berakhir usai pertemuan tersebut. Tentunya, pertemuan tersebut memang melambangkan happy ending yang banyak ditunggu oleh berbagai pihak.
Meski begitu, akhir drama tersebut tentunya tidak bisa menyenangkan semua pihak. Layaknya adegan pasca-kredit dalam film-film Avengers, konflik lanjutan akan selalu mengintai meskipun akhir bahagia telah didapatkan.
Yaaa begitu lah pic.twitter.com/DVFvWNa2e1
— Haikal Hassan Baras (@haikal_hassan) July 13, 2019
Kali ini, konflik lanjutan ini tampaknya datang dari beberapa eks-pendukung Prabowo-Sandiaga Uno yang menolak rekonsiliasi dan pertemuan Jokowi-Prabowo.
Persaudaraan Alumni (PA) 212 misalnya, menilai keputusan Prabowo untuk menemui Jokowi merupakan langkah unilateral sang Ketum Gerindra tersebut. Kelompok ini menganggap bahwa Prabowo belum ber-tabayyun terhadap para ulama.
Pertanyaan atas sikap Prabowo juga datang dari Amien Rais. Ketua Dewan Kehormatan PAN tersebut menganggap bahwa pertemuan Prabowo dan Jokowi dilakukan tanpa sepengetahuannya. Amien mempertanyakan sikap Mantan Danjen Kopassus tersebut yang dianggap telah nyelonong.
Kemunculan berbagai kritik terhadap sinyal rekonsiliasi Jokowi-Prabowo dalam pertemuannya di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta tentunya dapat menjadi proyeksi bagi masa depan perpolitikan Indonesia di masa mendatang. Apakah perseteruan ala cebong vs. kampret ini akan tetap berlanjut? Lantas, dampak apa yang dapat dihasilkan dari perseteruan yang tetap ada tersebut?
Kelanjutan Cebong vs Kampret?
Polarisasi yang terjadi antara cebong dan kampret ini sebenarnya merupakan hasil dari ulah para politisi sendiri. Buruknya, polarisasi ini akan memiliki dampak negatif terhadap demokrasi di Indonesia.
Seorang profesor dari Georgia State University, Jennifer Lynn McCoy, telah berusaha meraba penyebab dan dampak polarisasi politik dalam tulisannya di The Conversation. Berdasarkan proyek penelitian kolaboratifnya, McCoy menilai bahwa polarisasi memiliki latar belakang dan dampak tertentu terhadap jalannya demokrasi di berbagai negara.
Polarisasi politik dalam suatu negara dapat berkembang secara signifikan dengan penggunaan istilah-istilah kelompok “kita” lawan kelompok “mereka” di masyarakat, apalagi bila masing-masing pihak saling melihat satu sama lain sebagai ancaman bagi kehidupan masing-masing. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, penggunaan label hewan-hewan telah terjadi sejak abad ke-19 hingga kini.
Penggunaan istilah dan simbol keledai oleh Partai Demokrat AS misalnya, pada mulanya digunakan untuk mengkritik Andrew Jackson yang ingin memisahkan diri dari Partai Republik-Demokrat dan membentuk partainya sendiri. Ejekan “jackass” yang awalnya digunakan untuk menyerang Jackson pun diambil olehnya sebagai simbol Partai Demokrat.
Selain itu, McCoy menjelaskan bahwa polarisasi semakin terjadi dengan amplifikasi pesan-pesan politik yang memecah belah oleh media. Hal ini juga terbukti dengan istilah dan simbol gajah Partai Republik di AS yang berasal dari kartun politik milik Thomas Nast yang banyak digunakan oleh media.
Polarisasi memiliki latar belakang dan dampak tertentu terhadap jalannya demokrasi di berbagai negara. Share on XPolarisasi politik antara Partai Republik dan Partai Demokrat di AS ini turut diperparah dengan retorika-retorika para politisi yang menggunakan isu-isu yang memecah belah, seperti yang dilakukan oleh Presiden Donald Trump dalam Pemilu AS 2016 yang menyerang kelompok Muslim dan Latin terkait problematika sosial yang tengah terjadi.
Mengacu pada tulisan McCoy, polarisasi yang menguat ini terbukti dengan persepsi antar-pihak yang semakin negatif. Sepertiga dari pihak Partai Republik memiliki pandangan negatif terhadap Partai Demokrat AS, sedangkan 70 persen dari pihak Demokrat memiliki pandangan serupa terhadap Partai Republik.
McCoy menilai angka ini meningkat signifikan bila dibandingkan dengan periode tahun 1990-an, ketika hanya sekitar 20 persen dari masing-masing pihak menilai negatif satu sama lain.
Lalu, bagaimana dengan polarisasi politik antara cebong dan kampret di Indonesia?
Perseteruan cebong-kampret di Indonesia diharapkan akan berakhir dengan pertemuan Jokowi-Prabowo beberapa waktu lalu. Namun, pihak-pihak oposisi yang menolak untuk mendukung Prabowo dalam upaya rekonsiliasi tersebut bisa jadi menjadi pihak yang mendorong kelanjutan perseteruan.
Faksi PA 212 yang sebelumnya merupakan pendukung Prabowo misalnya, memandang buruk manuver politik Ketum Gerindra tersebut. Perpecahan kelompok ini dari kubu Prabowo bisa jadi merupakan sinyal bahwa klausul pemulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) boleh jadi gagal menjadi bagian dalam negosiasi rekonsiliasi, apalagi bila klausul tersebut tidak bersifat resiprokal bagi upaya pembagian kekuasaan (power-sharing) Jokowi-Prabowo.
Keinginan PA 212 untuk tetap menjadi oposisi bagi pemerintahan Jokowi ini juga memungkinkan terjaganya perseteruan cebong-kampret di masyarakat bila isu-isu yang memecah belah tetap digunakan. Tidak menutup kemungkinan bila pesan-pesan tersebut turut teramplifikasi melalui media sosial – mendorong terjadinya anomie dan isolasi oleh kelompok-kelompok tertentu dan dapat melebarkan demarkasi sosial yang ada.
Dampak terhadap Demokrasi
Kemungkinan berlanjutnya polarisasi politik antara kelompok cebong dan kampret ini tentunya membawa konsekuensi tertentu bagi jalannya demokrasi di Indonesia. Belum lagi, persaingan politik antar-kelompok diprediksi akan tetap berlanjut hingga Pemilu 2024 nanti.
Mengacu pada tulisan McCoy, polarisasi politik menjadi motivasi bagi masing-masing pihak yang berlawanan untuk melakukan tindakan-tindakan politik tertentu. Tindakan-tindakan tersebutlah yang dapat mencederai jalannya demokrasi.
Salah satu tren yang terbaca oleh McCoy adalah penggunaan cara-cara iliberal dan otoritarian oleh pihak petahana agar dapat menjaga kekuasaannya. Penggunaan cara-cara iliberal ini kerap dituduhkan telah dilakukan oleh Jokowi semenjak sebelum Pilpres 2019.
Thomas Power dari Australian National University dalam tulisannya di New Mandala menjelaskan bahwa pemerintahan Jokowi tengah berusaha menggembosi oposisi dengan kasus-kasus hukum, seperti investigasi yang dilakukan terhadap grup WhatsApp gerakan #2019GantiPresiden dengan dalih UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Uniknya, para pendukung pemerintah akan mentolerir cara-cara tersebut seiring dengan kebencian yang besar terhadap musuh politiknya. Hal ini bisa jadi terbukti dengan munculnya petisi yang mendorong pemerintah agar tidak melanjutkan izin ormas FPI yang kini telah ditandatangani oleh sekitar 400 ribu orang.
Di sisi lain, McCoy menjelaskan bahwa pihak oposisi juga akan menggunakan cara-cara yang keluar dari koridor demokratis guna mengguncang kekuasaan petahana. Penjelasan McCoy kali ini juga sejalan dengan penjelasan Verena Beittinger-Lee dalam bukunya yang berjudul (Un)Civil Society and Political Change in Indonesia yang menjelaskan bahwa kelompok-kelompok akar-rumput – seperti FPI yang juga dikenal akan militansinya – akan menggunakan cara-cara non-demokratis untuk meningkatkan pengaruh politiknya.
Pada akhirnya, happy ending di MRT lalu belum tentu menjadi akhir yang diinginkan oleh beberapa pihak. Kritik terhadap pertemuan tersebut bisa jadi merupakan teaser bagi episode lanjutan cebong vs. kampret. Kelanjutan kisah ini pun bisa jadi membawa dampak besar lain.
Bila begitu, lirik Lynzy Lab di awal tulisan kurang lebih dapat menggambarkan situasi di Indonesia ke depannya. Persoalan yang muncul akibat polarisasi politik tidak hanya sebatas perseteruan antara cebong dan kampret, melainkan juga menyangkut masa depan demokrasi Indonesia. (A43)