Site icon PinterPolitik.com

Epilog Bamsoet-PDIP vs Airlangga-Jokowi?

Epilog Bamsoet-PDIP vs Airlangga-Jokowi?

Ketua MPR, Bambang Soesatyo dan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto (Foto: Katadata)

Drama perseteruan Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar resmi berakhir setelah nama terakhir mengundurkan diri sebagai calon ketua menjelang dimulainya Musyawarah Nasional (Munas) partai beringin tersebut. Keputusan mundur ini sendiri diambil Bamsoet setelah bertemu dengan sejumlah tokoh senior Golkar seperti Luhut Binsar Pandjaitan dan Aburizal Bakrie. Selentingan kabar menyebut mundurnya Bamsoet ditengarai karena adanya intervensi Istana. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Mereka yang pernah menghirup udara politik di era Orde Baru mungkin memahami betul bagaimana kuatnya Partai Golkar kala itu. Bagaimana tidak, partai yang ide dasarnya digagas oleh Bung Karno ini kemudian dimanfaatkan oleh Soeharto untuk menjadi kendaraan politiknya.

Seperti apa yang dikemukakan oleh Akbar Tanjung dalam buku The Golkar Way, disebutkan bahwa Golkar menjadi mesin politik untuk mengamankan dan memperlancar agenda politik dan program pembangunan Orde Baru kala itu.

Selepas Soeharto tumbang, banyak pihak kemudian memprediksi partai berlogo pohon beringin ini akan mengikuti jejak sang jenderal. Namun, nyatanya partai ini tetap menjadi salah satu kekuatan politik besar sampai saat ini.

Menariknya, bertahannya Golkar menjadi salah satu kekuatan politik nasional disebut bertabrakan dengan “logika umum” yang menyebutkan bahwa langgengnya suatu organisasi selaras dengan kemampuannya untuk meminimalisir konflik internal. Pasalnya, sejak partai ini masih berbentuk embrio, konflik internal kerap menghantui partai yang sekarang diketuai oleh Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto ini.

Yang terbaru, konflik internal ini terjadi antara Airlangga dengan Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) setelah keduanya sama-sama ngotot untuk maju sebagai Ketua Umum (Ketum) Golkar selanjutnya. Konflik ini sendiri menjadi tidak terhindarkan mengingat keduanya adalah tokoh partai yang sama-sama memiliki pengaruh, massa, kekayaan, dan jaringan yang luas.

Terbukti, berbagai konflik seperti saling serang opini, klaim, dan tuduhan antara pendukung kedua kubu terjadi.  Konflik ini bahkan disebut berujung kekerasaan setelah adanya insiden pelemparan bom molotov ke kantor DPP Partai Golkar pada Agustus 2019 lalu.

Di tengah panasnya situasi tersebut, keduanya dikabarkan sempat menurunkan tensi atau melakukan rekonsiliasi setelah Airlangga menerima syarat untuk bergerilya menggalang dukungan agar Bamsoet mulus terpilih sebagai Ketua MPR. Namun, kendati telah terpilih sebagai Ketua MPR, nyatanya Bamsoet kembali menaikkan tensi karena tetap memilih maju sebagai calon Ketua Golkar.

Menariknya, selepas bertemu dengan berbagai tokoh senior Golkar seperti Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Aburizal Bakrie (Ical), secara mengejutkan Bamsoet memutuskan untuk mundur dari bursa calon ketua. Tandasnya, ini dilakukan demi solidaritas dan keutuhan Golkar, serta terciptanya kondusivitas politik nasional.

Konteks mundurnya Bamsoet ini menjadi lebih menarik karena adanya isu bahwa terdapat intervensi dari Istana untuk mendukung Airlangga sebagai ketua. Hal ini diungkapkan oleh fungsionaris DPP Partai Golkar, Syamsul Rizal bahwa terdapat tiga menteri yang menekan pengurus DPD I, DPD II, dan kepala daerah untuk memilih Airlangga. Namun, isu ini telah dibantah dengan keras oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Airlangga, ataupun dari Bamsoet sendiri.

Di luar benar tidaknya intervensi Istana atas Munas Golkar, nyatanya isu tersebut membuat banyak pihak menghubungkannya dengan hasil pertemuan Bamsoet dengan para senior Golkar yang membuatnya mundur sebagai calon ketua.

Artinya, apakah itu mengindikasikan bahwa Airlangga lebih diinginkan sebagai Ketum Golkar? Lalu, jika benar demikian, adakah pihak lain sebenarnya yang ikut mempengaruhi tarung internal Golkar ini?

Golkar, Konflik dan Kekuasaan

Konflik internal karena adanya persaingan perebutan ketua nyatanya bukan hal baru dan telah berulang kali menerpa Golkar.

Pada 2004, persaingan Akbar Tanjung dengan Jusuf Kalla (JK) sebagai Ketum Golkar dan perbedaan dukungan keduanya terhadap pasangan calon presiden kala itu membuat partai ini didera konflik internal hebat.

Akbar yang saat itu menjabat sebagai ketua partai mendukung Wiranto, sementara JK justru maju berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhono (SBY). Imbasnya JK sempat diberhentikan dari posisinya sebagai penasihat partai.

Akan tetapi, kemenangan JK dan SBY di Pilpres 2004 mengubah seketika konstelasi Golkar yang kemudian memenangkan JK sebagai Ketua Umum. Peristiwa ini juga menandai kembalinya Golkar di jalur kekuasaan.

Sepuluh tahun berselang, atau pada 2014, konflik serupa kembali terjadi karena persaingan Ical dan Agung Laksono. Konflik keduanya yang telah berlangsung 1,5 tahun bahkan membuat Presiden Jokowi turun langsung dengan memanggil keduanya ke Istana pada Januari 2016. Hal tersebut dilakukan karena Presiden Jokowi percaya jika Golkar tidak akur, pemerintahan akan sulit berjalan secara maksimal.

Menariknya, dari kasus Akbar-JK, Ical-Agung, dan Airlangga-Bamsoet, ketiganya menunjukkan pola serupa, yakni dalam penyelesaian konflik tersebut terdapat peran dari pemerintah yang berkuasa. Kendati pada kasus yang terbaru, peran ini masih menjadi semacam “obrolan di warung kopi”, akan tetapi, adanya dugaan intervensi Istana boleh jadi mengafirmasi bahwa pola tersebut memang terulang kembali.

Apalagi, adanya pernyataan Presiden Jokowi dalam acara HUT ke-55 yang memuji Airlangga dengan sebutan “ketua top”, dibaca oleh berbagai kalangan, khususnya kubu Bamsoet sebagai bentuk dukungan kepada Airlangga.

Dugaan ini sendiri diperkuat karena sebelumnya, Airlangga disebut membawa 34 DPD bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor pada Juli 2019 lalu.

Suka tidak suka, kejadian ini tentu melahirkan berbagai tafsiran, misalnya dari beberapa pihak yang menganggap hal tersebut sebagai manuver Airlangga untuk mendulang dukungan.

Di luar benar tidaknya adanya peran Istana, intervensi ataupun relasi erat pemerintah yang berkuasa – atau dapat kita sebut negara – dengan partai politik sebenarnya adalah fenomena yang lumrah di negara demokrasi kontempoter.

Hal ini setidaknya ditulis oleh Ingrid van Biezen dan Petr Kopecky dalam The State and the Parties, bahwa partai politik dan negara hidup bersama dalam simbiosis erat dalam demokrasi kontemporer karena adanya transformasi partai dari agen perwakilan masyarakat sipil menjadi bagian dari negara itu sendiri.

Mengafirmasi pernyataan Presiden Jokowi ketika mengundang Ical dan Agung, konflik yang melanda partai besar – seperti Golkar – memang dapat berimplikasi pada politik nasional (negara).

Kenapa Bamsoet Harus Mundur?

Menganalisa secara menyeluruh adanya intervensi Istana – atau katakanlah Presiden Jokowi – yang membuat Bamsoet mundur sebenarnya merupakan spektrum permasalahan yang tidak hanya melibatkan Golkar, melainkan juga partai yang saat ini berkuasa, yakni PDIP.

Leo Suryadinata dalam Golkar’s Leadership and the Indonesian President, menyebutkan bahwa pada Pilpres 2014, berbagai petinggi PDIP sebenarnya tidak begitu menyukai Presiden Jokowi. Namun, karena elektabilitasnya tinggi, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri terpaksa memilihnya sebagai calon presiden.

Lanjutnya, Presiden Jokowi telah memainkan permainan dengan cerdas. Di satu sisi mantan Gubernur DKI Jakarta ini memberikan penghormatan kepada Megawati dengan tidak secara terbuka menantangnya.

Namun, secara diam-diam Presiden Jokowi sadar bahwa mengandalkan PDIP saja tidaklah cukup. Oleh karenanya, ia mengandeng Golkar yang memang bersedia mendukungnya.

Tidak hanya itu, kabarnya Presiden Jokowi juga melakukan strategi dengan menempatkan Luhut Binsar Pandjaitan di lingkaran Istana yang merupakan tokoh berpengaruh di Golkar untuk mengimbangi dominasi Megawati.

Menariknya, Airlangga disebut mendapatkan dukungan Presiden Jokowi, menimbang dirinya adalah salah satu menteri yang paling diandalkan dalam kabinet. Ini juga terkait dukungan terbukanya kepada sang presiden ketika isu Poros Tengku Umar sempat santer terdengar usai Megawati bertemu dengan Ketum Gerindra, Prabowo Subianto.

Sementara Bamsoet justru dikabarkan mendapatkan dukungan dari PDIP. Indikasi tersebut misalnya terlihat dari Angkatan Muda Partai Golkar kubu Bamsoet yang mengadu ke DPR dan diterima oleh Masinton Pasaribu dari Fraksi PDIP karena mereka tidak dapat masuk ke DPP Golkar selepas kejadian pelemparan bom molotov. Pun begitu dengan dukungan Bamseot terhadap Megawati terkait permintaan PDIP yang meminta jatah menteri terbanyak.

Relasi Bamsoet dengan PDIP ini sendiri kabarnya adalah buah syarat perjanjian dukungan PDIP, yakni Bamsoet harus mendukung amendemen UUD 1945 jika ingin dimuluskan menjadi Ketua MPR.

Karena kedekatannya dengan PDIP dan dukungan atas amendemen, hal ini disebut sebagai alasan Presiden Jokowi semakin mendukung Airlangga. Seperti yang diketahui, mantan Wali Kota Solo tersebut menunjukkan gelagat penolakan amendemen UUD 1945, misalnya ketika menyebutnya sebagai wacana yang akan membuka “kotak Pandora”.

Yang terbaru, Presiden Jokowi bahkan memberikan pernyataan yang tegas agar amendemen tidak dilakukan setelah wacana penambahan periode jabatan presiden mencuat ke publik.

Seperti yang diketahui, PDIP adalah partai yang paling ngotot dalam melakukan amendemen UUD 1945. Dengan kata lain, ini tentu adalah indikasi kuat bahwa Presiden Jokowi dan PDIP tengah mengalami konflik kepentingan, termasuk yang pada akhirnya mempengaruhi perebutan kekuasaan di Golkar.

Pada akhirnya, apa yang terjadi dalam Munas Golkar, ataupun mengapa Bamsoet memilih mundur sebagai calon ketua tentu hanya diketahui oleh pihak-pihak terkait.

Akan tetapi, selaku makhluk yang didefinisikan oleh filsuf Jerman, Ernst Cassirer sebagai animal symbolicum atau makhluk yang senantiasa membuat simbol atau pemaknaan, berbagai variabel bertebaran yang menyelimuti peristiwa mundurnya Bamsoet tentu menghasilkan berbagai penafsiran di tengah masyarakat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version