Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan keinginannya agar Jusuf Kalla (JK) tetap membantu dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Apa yang membuat Jokowi enggan berpisah dengan JK?
PinterPolitik.com
“Higher powers taking a hold on me” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
Bulan Oktober nanti juga akan menjadi akhir bagi ikatan kerja Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Jokowi masih akan melanjutkan posisinya untuk periode kedua. Sementara itu, posisi wapres milik JK nantinya akan diisi oleh Ma’ruf Amin.
Mungkin, seperti pasangan Barack Obama dan Joe Biden di AS, pasangan Jokowi-JK merupakan sepasang bromance yang tak terpisahkan. Lima tahun memang bukan waktu yang singkat dalam bekerja bersama.
Senang sekali menerima Pak Jusuf Kalla siang ini di istana. Selain berdiskusi tentang pekerjaan, Pak JK berbagi cerita tentang Lebaran kemarin: apa yang beliau lakukan, makanan favorit, juga tentang cucu-cucunya.
Inilah cerita Lebaran Pak JK. pic.twitter.com/jHNHc7LuZr
— Joko Widodo (@jokowi) June 11, 2019
Baru saja kemarin pada Forum Pemred, mantan Wali Kota Solo tersebut mengungkapkan harapannya agar JK tetap membantunya di pemerintahan. Tidak hanya sekali, Jokowi juga pernah meminta JK untuk tetap mendampinginya di pemerintahan pada akhir tahun lalu.
Keinginan tersebut tentu menghadapi beberapa tantangan. Secara konstitusional, JK tidak lagi bisa menjadi wapres Jokowi. Belum lagi, Jokowi kini telah memiliki cawapres terpilih sebagai pengganti JK.
Meski tidak bisa lagi menjadi wapres, Jokowi memiliki gagasan lain bagi masa depan JK. Sang presiden mengusulkan bahwa – dilansir dari surat kabar Rakyat Merdeka – JK bisa saja mengisi posisi ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Harapan Jokowi terhadap JK tersebut pun menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa sang presiden berharap agar JK tetap membantunya? Apa signifikansi peran Wantimpres?
Penasihat Presiden
Wantimpres merupakan sebuah lembaga yang bertugas untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam melaksanakan pemerintahan. Dengan tugas tersebut, lembaga ini memiliki kedudukan dan tanggung jawab langsung kepada presiden.
Mengacu pada Pasal 16 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, presiden memiliki wewenang untuk membentuk Wantimpres. Peran dan tata cara pembentukan ini diatur lebih lanjut dalam UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
Di negara lain, dewan penasihat biasanya juga diperlukan oleh pemimpinnya. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, Presiden Donald J. Trump memilih beberapa orang yang dipercayainya sebagai penasihat Gedung Putih, seperti Ivanka Trump, Jared Kushner, Peter Navarro di bidang ekonomi, dan John Bolton di bidang pertahanan dan keamanan.
Tentunya, sesuai bidang masing-masing, figur-figur penasihat tersebut memiliki pengalaman dan pengetahuan yang bisa diperhitungkan. Navarro misalnya, merupakan seorang profesor ekonomi di Univeristy of California, Irvine. Di sisi lain, Bolton juga memiliki pengalaman panjang di bidang pemerintahan – pernah bekerja untuk presiden-presiden sebelumnya, seperti Ronald Reagan, George H.W. Bush, dan George Bush.
Pengetahuan dan pengalaman tersebut mungkin memang penting guna mengisi posisi-posisi penasihat tersebut. Pasalnya, kemampuan-kemampuan tersebut turut menjadi modal politik bagi perkembangan karier politik.
Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital menjelaskan bahwa modal politik merupakan konsep yang dapat ditarik dari gagasan dan teori inkonvertibilitas milik filsuf Pierre Bourdieu. Bourdieu menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga jenis modal, yakni modal ekonomi (kekayaan dan properti), modal kultural (budaya dan pendidikan), modal sosial (relasi dan jaringan), dan modal simbolis (legitimasi) – dapat dikombinasikan menjadi modal politik.
Modal simbolis dapat menjadi legitimasi bagi upaya untuk mewujudkan dominasi sosial dan menjalankan fungsi politik. Share on XCasey melihat bahwa modal-modal tersebut dapat saling dipertukarkan dalam membangun modal politik. Modal politik ini didefinisikan olehnya sebagai jumlah dari kombinasi jenis-jenis modal bagi tujuan-tujuan politik.
Bila kita tilik kembali, pengalaman dan kualidikasi penasihat-penasihat Trump memiliki beberapa modal serupa, yakni modal kultural dan modal sosial. Lalu, bagaimana dengan JK? Apa modal yang dimilikinya agar dapat menjadi penasihat Jokowi?
Utilisasi Modal
JK bisa jadi memiliki modal sosial dan kultural dari pengalaman panjangnya di politik pemerintahan – berupa relasi politik dan kualifikasinya. Selain itu, JK bisa juga memiliki modal ekonomi dengan bisnis keluarganya di Kalla Group.
Mengacu pada definisi yang dijelaskan oleh Casey, kombinasi modal tersebut ditujukan untuk manfaat dan tujuan politik. Lalu, apa manfaat politik dari keinginan Jokowi atas posisi baru JK tersebut?
Modal politik JK tersebut mungkin tersalurkan menjadi modal simbolis – merupakan utilisasi dari modal-modal lainnya. Bagi Bourdieu, modal simbolis dapat menjadi legitimasi bagi upaya untuk mewujudkan dominasi sosial dan menjalankan fungsi politik.
Utilisasi modal-modal ini juga sejalan dengan konsep referent power milik John R. P. French Jr. dan Bertram Raven – di mana seorang pemimpin memiliki kemampuan interpersonal yang berujung pada terciptanya pengaruh personal terhadap orang lain.
Pengaruh personal ini terlihat pada Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (LKY) yang menjabat pada tahun 1959-1990. Setelah turun jabatan, LKY menjabat sebagai menteri senior (1990-2004) dan menteri mentor (2004-2011) – memiliki peran yang mirip dengan penasihat.
Ketika menjabat sebagai menteri senior, LKY kerap mengadakan sesi mentoring dengan jajaran eksekutif pemerintah lainnya, seperti PM Goh Chok Tong. Melalui sesi-sesi tersebut, LKY dinilai tetap memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan meski tidak lagi menjabat sebagai pemimpin eksekutif.
Berkaca pada kasus LKY di Singapura, JK bisa saja juga melakukan utilisasi atas modal-modal yang dimilikinya menjadi modal simbolis atau referent power bila benar menjadi ketua Wantimpres. Dengan utilisasi tersebut, bukan tidak mungkin juga bahwa JK dapat memengaruhi pengambilan kebijakan Jokowi.
Namun, pertanyaan lain pun timbul. Apa tujuan politik di balik utilisasi modal JK sebagai ketua Wantimpres nanti?
Penyeimbang Kekuatan
Pemerintahan kedua Jokowi dikabarkan akan menjadi produk bagi politik “kumpul kebo” (kumbo) yang tengah dilakukan bersama Megawati dan Prabowo Subianto. Keinginan Jokowi untuk memberikan posisi ketua Wantimpres kepada JK bisa jadi berkaitan dengan upaya tersebut.
Pasalnya, upaya kumbo tersebut berpotensi semakin memperbesar pengaruh Megawati terhadap Jokowi. Kemungkinan ini bisa saja benar dengan adanya retorika Megawati dan PDIP – seperti permintaan jatah menteri dan wacana amendemen UUD 1945 – yang berpotensi semakin memperkecil ruang gerak sang presiden.
Dengan membesarnya peran Megawati – dan Prabowo – tersebut, Jokowi boleh jadi memang membutuhkan penyeimbang lain guna menghalau pengaruh elite dan oligark politik tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Jeffrey A. Winters dalam tulisannya yang berjudul Oligarchy and Democracy in Indonesia, kejatuhan Soeharto meniadakan pusat kekuatan oligarki sehingga oligark dan elite politik di Indonesia menjadi berkompetisi satu sama lain tanpa oligark sentral tersebut.
Dalam hal ini, Jokowi bisa jadi mengundang JK sebagai salah satu elite di Indonesia guna menandingi pengaruh politik Megawati-Prabowo. Upaya balancing (pengimbangan) inilah yang mungkin tengah dilakukan oleh sang presiden melalui posisi baru JK.
Secara formal, kemungkinan posisi baru JK tersebut belum tentu benar-benar dapat mengimbangi pengaruh Megawati-Prabowo. Pasalnya, mengacu pada UU No. 19/2006, Wantimpres tidak memiliki pengaruh seluas posisi-posisi menteri yang diminta oleh PDIP. Lembaga tersebut hanya memiliki fungsi sebagai pemberi pertimbangan – tidak memiliki kuasa untuk memberlakukan dan menerapkan kebijakan.
Meski demikian, JK telah memiliki modal-modal yang dapat diutilisasi menjadi modal simbolis yang dapat berpengaruh pada kebijakan Jokowi di masa mendatang.
Mungkin, lirik rapper Drake di awal tulisan dapat menggambarkan situasi tersebut. Dengan utilisasi modal dan kekuatan yang dimilikinya, si pengambil kebijakan pun dapat terpengaruhi, entah pihak mana yang lebih berpengaruh nanti. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.