Tidak sedikit pihak, termasuk Menko Polhukam Mahfud MD seperti meremehkan virus Corona (Covid-19) karena statistik korbannya lebih kecil, misalnya jika dibandingkan dengan kecelakaan lalu lintas. Lantas, mungkinkah prasangka tersebut adalah empirisme naif seperti yang dituduhkan Nassim Nicholas Taleb kepada Bill Gates?
PinterPolitik.com
“It is also naïve empiricism to provide, in support of some argument, series of eloquent confirmatory quote by dead authorities.” – Nassim Nicholas Taleb, penulis buku The Black Swan
Kita tentu masih ingat perihal getol dan konsistennya pemain drum Superman is Dead (SID) Jerinx dalam menekankan bahwa pendiri Microsoft Bill Gates merupakan dalang di balik pandemi virus Corona (Covid-19). Atas kerja keras tersebut, tidak sedikit kemudian pihak menyorot minor Gates, khususnya atas proyek vaksin Covid-19 yang digalakkannya.
Satu di antaranya tentu adalah mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari yang mewanti-wanti agar tidak menggunakan vaksin Gates karena mempertanyakan sejak kapan pendiri Microsoft tersebut mendapat bibit atau seed virus Covid-19.
Namun, tidak seperti kebanyakan pihak yang baru mengkritik Gates karena beredarnya berbagai teori konspirasi Covid-19, penulis buku The Black Swan Nassim Nicholas Taleb telah lama memiliki kritik yang begitu radikal dan filosofis terhadap Gates, khususnya terkait kampanye kesehatannya.
Dalam cuitannya pada 14 Juni 2019 lalu, Taleb memperingatkan bahwa laporan yang didanai Gates kemungkinan telah terjebak ke dalam empirisme naif atau naïve empiricism. Dalam laporan tersebut, ditegaskan mengenai keanehan terkait mengapa masyarakat Amerika Serikat (AS) lebih khawatir terhadap terorisme daripada penyakit seperti kanker yang jauh lebih banyak mengakibatkan kematian.
Dalam simpulannya, kekhawatiran tersebut disebut terjadi karena media massa lebih banyak memberitakan terkait terorisme sehingga ketakutan terhadapnya menjadi lebih besar daripada kanker.
Melihat rasionalisasinya, simpulan tersebut begitu mirip dengan rasionalisasi berbagai pihak, seperti Jerinx ataupun Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebutkan bahwa korban kematian Covid-19 sebenarnya jauh lebih sedikit dari penyakit lainnya. Pun begitu ketika dibandingkan dengan korban kecelakaan lalu lintas yang jumlahnya sampai sembilan kali lipat lebih banyak.
Lantas, jika mengacu pada Taleb, benarkah Mahfud ataupun pihak-pihak yang membandingkan korban Covid-19 telah terjebak ke dalam empirisme naif? Dan konsep apakah itu?
Kebebasan berekspresi belakangan ini emang memburuk. Duh. #pinterpolitik #antman #politik https://t.co/rCj4GKJ4cs pic.twitter.com/9HbMri9R8O
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 5, 2020
Apa itu Empirisme Naif?
Peter Juslin, Anders Winman, dan Henrik Olsson dalam tulisannya Naïve Empiricism and Dogmatism in Confidence Research: A Critical Examination of the Hard–Easy Effect menyebutkan bahwa empirisme naif merupakan penerimaan tidak kritis terhadap observasi empiris, yang mana pada level tertentu, hal tersebut dapat digolongkan sebagai suatu dogma.
Ciri khas dalam penganut empirisme naif adalah mereka terlalu percaya diri terhadap observasi empiris yang dilakukannya. Sehingga itu membuatnya menilai temuan empiris yang terkonfigurasi ke dalam statistik sebagai suatu kebenaran.
Prasangka tersebut kemudian yang dikritik hebat oleh Taleb, misalnya dalam bukunya The Black Swan. Menurut Taleb, ilmu pengetahuan tidak boleh dipahami sebagai kemutlakan karena basis simpulannya disandarkan pada statistik. Masalahnya adalah, setiap konfigurasi statistik mestilah berpangkal pada probabilitas.
Artinya, konfigurasi statistik tersebut pada dasarnya merupakan observasi masa lalu, bersifat partikular, atau tidak mencakup keseluruhan realitas. Oleh karenanya, harus tetap dan terus dibuka kemungkinan akan konfigurasi statistik yang dapat berubah karena data observasi masa depan akan selalu ada.
Getirnya adalah, para penganut empirisme naif kerap kali memahami bahwa konfigurasi statistik yang mereka dapatkan sebagai suatu cermin atas realitas. Inilah yang kemudian membuat banyak temuan empiris atau temuan ilmiah diberlakukan layaknya dogma, atau suatu hal yang dinilai pasti benar.
Dalam kritik Taleb terhadap laporan yang didanai Gates, terlihat jelas bahwa laporan tersebut menekankan pada kematian akibat kanker mestilah akan selalu lebih besar untuk seterusnya. Oleh karenanya, perhatian, ataupun langkah pencegahan sudah seharusnya diberikan porsi besar terhadap kanker, dan bukannya terorisme.
Di titik tersebut, Taleb menekankan bahwa konfigurasi statistik tersebut minus dalam hal “risiko” dan “probabilitas”. Maksudnya, laporan tersebut tidak memperhitungkan bahwa risiko atau probabilitas aksi terorisme seperti kasus 9/11 dapat saja terjadi di masa depan. Seperti yang diketahui, serangan terorisme semacam itu benar-benar memberikan dampak yang besar, baik dari segi korban jiwa, ekonomi, hingga politik.
Kepuasan publik terhadap Pak @jokowi disebut menurun. Gara-gara para menteri suka nggak sejalan kebijakannya atau gara-gara buzzer nih? Uppps. #infografis #politik #indonesiahttps://t.co/VnMIQ6EbWk pic.twitter.com/LPvn9Ik8QW
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 10, 2020
Perlu digarisbawahi, kritik atas empirisme naif, ataupun penekanan Taleb terkait probabilitas tidak bertujuan untuk mengatakan bahwa temuan empiris, seperti statistik tidak boleh dipercaya. Melainkan menekankan bahwa temuan tersebut tidak boleh diberlakukan seperti halnya dogma ataupun cermin terhadap realitas.
Konteks pentingnya penekanan yang dikemukakan oleh Taleb misalnya terlihat pada krisis moneter 2008. Krisis tersebut disebut Taleb sebagai black swan atau angsa hitam, yakni merupakan peristiwa yang luput dari prediksi karena berbagai pihak, termasuk pakar ekonomi menilai krisis tidak akan terjadi.
Itu misalnya terlihat dari laporan International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook pada April 2007 yang menyimpulkan bahwa risiko krisis ekonomi global telah menjadi sangat rendah, sehingga tidak ada kekhawatiran besar akan terjadinya hal tersebut.
Mengacu pada krisis moneter 2008 yang menjadi pukulan hebat dalam aktivitas ekonomi global, Taleb menekankan bahwa begitu penting untuk memperhitungkan adanya kemungkinan data, bukti, ataupun fenomena lain yang mungkin saja luput dari setiap pengamatan ataupun kalkulasi.
Mahfud Seorang Empirisme Naif?
Pada titik ini, mungkin telah jelas mengapa kemudian pernyataan Jerinx ataupun Mahfud yang kerap membandingkan korban Covid-19 dengan kasus lainnya dapat dikategorikan sebagai empirisme naif. Mereka berdua, ataupun pihak-pihak lainnya, memahami konfigurasi statistik seperti halnya dogma karena menilai temuan data tersebut dinilai mestilah akan terjadi di masa depan.
Kesalahan fatal seperti itu misalnya kita lihat pada pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal Maret lalu yang menyebutkan bahwa risiko kematian Covid-19 yang sebesar 2-5 persen tidak setinggi pandemi lainnya seperti SARS yang mencapai 9,5 persen.
Namun, sebagaimana diketahui, kini jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia sudah mencapai 7.339.470 kasus, dengan 414.060 kematian. Di Indonesia, kasusnya telah mencapai 33.076 kasus, dengan 1.923 kematian. Tidak hanya itu, beberapa kali dicatatkan bahwa tingkat kematian Covid-19 di Indonesia sampai mencapai 10 persen.
Konteksnya menjadi semakin pelik karena adanya kemungkinan atau probabilitas angka kasus dan kematian yang sebenarnya jauh lebih besar. Hal ini karena berbagai negara termasuk Indonesia tidak menerapkan tes masif seperti halnya di AS.
Kendalanya? Tentu saja karena tes masif memerlukan anggaran yang begitu besar. Tentu sulit dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk memberikan tes kepada penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai 200 juta jiwa lebih.
Wih, strategi komunikasi gaya baru dari pemerintah nih. Bakal efektif nggak sih menurunkan tensi kritik?🙃#infografis #politik #pinterpolitik #reisabrotoasmoro #reisa https://t.co/kqgfe8eCCH pic.twitter.com/3YFSRo0Z5S
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 10, 2020
Jika hal tersebut dikonfigurasi ke dalam bentuk logika simbolik, maka akan dihasilkan silogisme seperti ini:
Jika banyak tes (P), maka banyak kasus (Q) atau P → Q
Menariknya, terdapat kesalahan logis atau penarikan simpulan yang tidak valid yang terjadi ketika ditemukan bahwa kasus Covid-19 di suatu tempat atau daerah tidak banyak. Masalahnya, hal tersebut dimaknai sebagai daerah yang aman dari Covid-19.
Padahal, apabila mengacu pada modus tollens atau modus tollendo tollens, simpulan yang seharusnya didapatkan dari temuan tersebut adalah tidak banyak tes yang dilakukan.
Bentuk silogisme kelirunya seperti ini:
Jika banyak tes (P), maka banyak kasus (Q) atau P → Q
Tidak banyak kasus (~Q)
Kesimpulan, daerah aman (X)
Bentuk silogisme yang seharusnya terjadi jika mengacu pada modus tollens seperti ini:
Jika banyak tes (P), maka banyak kasus (Q) atau P → Q
Tidak banyak kasus (~Q)
Kesimpulan, tidak banyak tes (~P)
Bertolak dari hal tersebut, Mahfud tidak hanya telah terjebak ke dalam empirisme naif, melainkan juga telah terjebak ke dalam penarikan simpulan yang tidak valid atau tidak logis karena tidak mengikuti modus tollens. Sebagai pejabat publik, sudah seharusnya ia sadar bahwa Indonesia masih kurang dalam hal tes Covid-19, sehingga konfigurasi statistik yang ada saat ini begitu rentan berubah.
Seperti halnya pernyataan Taleb di awal tulisan, empirisme naif telah membuktikan argumentasinya menggunakan otoritas yang telah mati. Maksudnya, itu menunjukkan pembuktian argumentasi yang bertolak dari konfigurasi statistik yang mungkin saja sudah tidak relevan. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.