Layaknya empat penunggang kuda Reformasi, yaitu Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X bersinergi menghasilkan daya dorong dan daya hentak politik yang kuat menjelang pergantian rezim Orde Baru. Banyak yang menilai mereka merepresentasikan kolaborasi politik aliran. Lantas, seperti apa peran keempat tokoh dan politik aliran mereka?
Dua puluh tiga tahun reformasi telah dilewati, tidak terasa perjalanan panjang bangsa ini memasuki dunia baru, sebuah era yang diharapkan melahirkan kebebasan berpendapat, berekspresi dan menjunjung tinggi keadilan menjadi sesuatu yang lumrah untuk dilakukan.
Cerita tentang Reformasi menjadi bingkai sejarah romantik para tokoh politik, hal ini terlihat saat memperjuangkan keruntuhan Orde baru, tokoh-tokoh politik dari berbagai latar belakang mengikat diri untuk menjadi oposisi rezim saat itu. Empat yang paling berpengaruh saat itu adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, Megawati, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Keempatnya, jika diamati merupakan representasi dari politik aliran, sebuah tesis antropologis dari Clifford Geertz saat meneliti keragaman aliran dalam masyarakat jawa.
Jika demikian, lantas, bagaimana cara melihat representasi dari empat tokoh politik Reformasi ini dalam konteks politik aliran?
Meraba Politik Aliran
Tiga varian religius muncul sebagai kekuatan oposisi yang menentang rezim Orde Baru Soeharto. Seperti jamak diketahui, rezim ini pernah mengubur tradisi politik aliran, yang pernah hadir di era sebelumnya, Orde Lama, dengan alasan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.
Konsep tentang politik aliran bersandar pada penelitian lapangan yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Mojokuto (nama desa samaran) yang dilakukan mulai bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954. Geertz menyihir perhatian para akademisi dan intelektual dari hasil penelitiannya ini.
Konsep masyarakat Jawa dalam tesis Geertz dianggap cukup representatif dalam menggambarkan stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang dilihat dari sisi religiusitasnya, sehingga dapat dijadikan kerangka teori dalam melihat pola keberagamaan masyarakat Jawa.
Cliffort Geertz dalam bukunya The Religion of Java, menggambarkan tiga varian religius dalam masyarakat Jawa. Pertama, varian santri yang merupakan kalangan masyarakat Jawa yang dalam sikap perilaku sosial masyarakatnya menitikberatkan pada segi-segi Islam. Pada umumnya berhubungan dengan unsur santri yang belajar ajaran agama Islam di pondok pasantren, pedagang, dan juga sebagian petani.
Kedua, varian abangan yang diidentifikasikan sebagai kalangan masyarakat yang sikap dan perilakunya menitikberatkan pada segi-segi sinkritisme Jawa Sebagaian dari mereka juga beragama Islam, tetapi tidak melakukan ibadah seperti kalangan santri yang disinggung di atas, kebanyakan mereka secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk.
Ketiga, varian priyayi yang diidentifikasi sebagai masyarakat kelas atas. Sesuai dengan namanya, priyayi merupakan istilah dalam kebudayaan Jawa untuk kelas sosial dalam golongan bangsawan, suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Geertz melihat varian ini berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.
Bahtiar Effendy, dalam tulisannya Bersatunya Politik Santri dan Abangan, menegaskan, bahwa temuan Geertz memudahkan para pengamat politik dalam mengidentifikasi kecenderungan ideologis politik masyarakat Jawa. Berdasarkan temuan Geertz, para peneliti dan ilmuan politik dengan cukup nyaman sampai pada kesimpulan bahwa kalangan santri cenderung memberikan dukungan politik mereka kepada parpol Islam.
Di sisi lain, abangan dan priyayi cenderung menyalurkan suara mereka kepada PNI dan PKI, yaitu partai-partai dengan ideologi nasionalis sekuler. Tentu, sebagaimana dikatakan Herbert Feith, pandangan seperti ini tidak 100 persen tepat, tetapi garis besarnya kira-kira seperti itu. Hanya saja beberapa modifikasi terjadi karena terdapat perubahan sosial yang mengikuti perkembangan sejarah.
Jika menarik varian-varian politik aliran Geertz yang disinggung di atas, tokoh santri dapat diatribusikan kepada dua orang yang merepresentasikan dua sub kultur santri sekaligus, yaitu Gus Dur representasi santri tradisional dan Amien Rais yang merepresentasikan tokoh santri modernis.
Jamak diketahui, Gus Dur adalah mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), seorang tokoh yang juga merupakan cucu Kyai Hasyim Asy’ari dan anak Kyai Wahid Hasyim. Amien Rais di sisi lain merupakan kader Muhammadiyah yang merupakan kelompok Islam modernis di Indonesia.
Sedangkan Megawati dan Sri Sultan Hamengkubuwono X merupakan representasi dari kelompok abangan dan priyai. Atribusi Megawati dengan kelompok abangan bukan tanpa alasan, seperti yang dijelaskan oleh Bahtiar Effendi yang di singgung di atas, bahwa kelompok abangan cenderung menyalurkan suara mereka kepada PNI, yang kita tahu PDIP adalah metomorfosis dari partai yang menjadikan nasionalisme menjadi ide perjuangannya. Begitupula untuk Sri Sultan, atribusi priyayi pasti melekat kepadanya karena menjadi pemimpin Kesultanan Yogyakarta.
Well, seperti apa peran empat tokoh ini dalam proses Reformasi?
Peran Empat Tokoh
Empat tokoh yang merupakan representaasi dari politik aliran yang disinggung di atas, mengandalkan kekuatan identitas kelompok yang sifatnya masif dalam mendorong terjadinya Reformasi. Dan juga kepemimpinan kharismatik yang dimiliki oleh masing masing tokoh-tokoh tersebut.
Jika kembali ke masa dimulainya gerakan Reformasi, tak bisa dipungkiri salah satu tokoh yang paling vokal menyuarakan pergantian kekuasaan adalah Amien Rais, yang juga menjadi idola para mahasiswa saat itu. Setidak-tidaknya Amien Rais sudah bicara tentang suksesi pergantian Soeharto sejak 1993.
Sementara Megawati yang menjadi pemimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kala itu menjadi oposan pemerintah. Satu hal yang tak bisa dinafikan, Megawati dan Amien Rais telah mempunyai pendukung setia. Sedikit konteks, tidak seperti Megawati yang cenderung pendiam, Amien Rais lebih aktif. Sejak awal Januari 1998, Amien Rais sudah mengeluarkan pernyataan-pernyataan untuk mendekat pada Megawati dan Gus Dur.
Menurut Amien Rais, dirinya dan Gus Dur serta Megawati memiliki kesamaan cita-cita, yaitu ingin menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Jika kerja sama itu berhasil akan menghasilkan daya dorong dan daya hentak politik yang kuat.
Peran Gus Dur saat Reformasi mulai tampak ketika terjadi larangan oleh rezim untuk membuat dialog-dialog akbar di pesantren-pesantren Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini diterangkan oleh Abdul Hamid, yang merupakan peneliti senior LP3ES dan juga merupakan anak KH. Abdul Fattah pendiri Pondok Pesantren Al Fatah Lamongan, menceritakan kedatangan Gus Dur untuk mengisi dialog akbar di pesanteren Al Fatah dihalang-halangi oleh pihak keamanan setempat. Tindakan persekusi Gus Dur memicu kemarahan warga NU yang akhirnya menjadi salah satu kekuatan pendorong Reformasi kala itu.
Peran Sri Sultan di Jogja tidak kalah pentingnya, seperti yang kita tahu protes mahasiswa menjelang Reformasi berawal dari kota pelajar ini. Sri Sultan yang merupakan pemimpin keraton Yogyakarta memberikan ruang-ruang protes mahasiswa di daerahnya. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya di Jogja tersulut hingga ke ibu kota Jakarta.
Melihat pada ketokohan, karisma, serta kemampuan menghimpun kekuatan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh di atas saat perjuangan meruntuhkan rezim Orde Baru dan melahirkan era Reformasi, tidak berlebihan jika mengatakan mereka adalah empat penunggang kuda Reformasi. (I76)