Polemik pengangkatan jabatan komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih terus terjadi. Terbaru Emir Moeis mantan terpidana korupsi kasus suap PLTU Tarahan Lampung diangkat menjadi komisaris PT Pupuk Iskandar Muda. Mengapa hal ini terus berulang?
Shocked, but not surprised. Frasa ini dirasa tepat untuk menggambarkan reaksi publik ketika mendengar berita Emir Moeis terpidana kasus korupsi senilai USD 357 ribu diangkat menjadi komisaris di salah satu anak perusahaan milik negara.
Masyarakat jelas kecewa namun kondisi ini bukanlah yang pertama. Dalam beberapa bulan terakhir saja, polemik yang berujung pada pro dan kontra publik terhadap penunjukan komisaris di BUMN telah berulang kali terjadi.
Dimulai dari pro dan kontra yang terjadi saat pengangkatan Abdi Negara Nurdin atau Abdee Slank sebagai Komisaris PT Telkom Indonesia sampai kasus rangkap jabatan komisaris yang dilakukan oleh Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia (UI).
Rangkaian polemik ini semakin dikuatkan oleh temuan Ombudsman RI yang memaparkan terdapat total 564 pelanggaran berupa rangkap jabatan yang dilakukan oleh para komisaris dan direksi BUMN.
Secara historis BUMN memang tak bisa lepas dari politik, keberadaannya seringkali menjadi instrumen untuk membangun jaringan patronase bagi penguasa.
Merujuk pada pengertian dari ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Martin Shefter, definisi patronase secara umum adalah pembagian keuntungan.
Pembagian keuntungan ini dilakukan antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, pegiat kampanye, agar mendapatkan dukungan politik
Pembagian jabatan strategis dalam tubuh BUMN, misalnya, dianggap sebagai instrumen paling mudah bagi pemegang kekuasaan di Indonesia untuk membangun, memperbesar, dan memelihara dukungan politik.
Selain itu Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan tantangan terbesar BUMN pada masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah berhadapan dengan pemburu rente atau rent-seeking activities.
Rent-seeking sendiri adalah suatu aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh setiap kelompok kepentingan yang berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya yang sekecil-kecilnya.
Baca Juga: Abdee, Kompetensi atau Balas Budi?
Hal tersebut dikuatkan oleh studi berjudul The State-Owned Enterprises (SOEs) Performances: The Case Of Indonesia Publiclty Listed SOEs yang membuktikan bahwa kolusi, rent-seeking dan korupsi di kalangan elite politik mengalami tren peningkatan dalam BUMN saat ini.
Temuan dari Kompas memprediksi ada ribuan posisi jabatan dalam BUMN yang merupakan “jatah” pemerintah. Dalam kesempatan lain, anggota DPR Adian Napitupulu menyebut secara pasti ada total 6.200 komisaris dan direksi titipan di BUMN.
Keberadaan UU No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan perundangan lain yang terkait sebagai dasar hukum pengelolaan BUMN beserta aturan turunan yang mengatur tentang ini pun dipertanyakan.
Masih banyaknya celah yang dapat ditembus dari dasar hukum tersebut hingga minimnya pengawasan dalam implementasinya diyakini menjadi faktor utama yang menyebabkan polemik ini terus berlarut.
Lalu, mengapa hal ini terus berulang?
Hukum Tidak Bekerja
Dari segi hukum pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi dalam pengangkatan jabatan komisaris ini berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada.
Di antaranya adalah UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Nyatanya keberadaan tiga peraturan perundang-undangan sekaligus yang diharapkan bisa menjadi benteng penegakan hukum pun tidak bekerja dengan baik.
Terkait hal ini Lawrence M. Friedman dalam teori sistem hukum memaparkan bahwa hukum seperti sebuah mesin, hukum membutuhkan berbagai komponen agar dapat bekerja.
Komponen dari sistem hukum tersebut terdiri atas, substansi hukum (perundang-undangan), perangkat struktur hukum (aparat penegak hukum), dan kultur hukum atau budaya hukum.
Pada pokoknya hukum sebagai sebuah sistem dapat bekerja hanya jika ketiga komponen tersebut bergerak simultan untuk membentuk sebuah keterpaduan.
Jika kasus pelanggaran dalam pengangkatan jabatan komisaris di BUMN ini kita analisis menggunakan teori sistem hukum Friedman, maka ada tiga kemungkinan yang menyebabkan pelanggaran ini terus berulang.
Dalam komponen yang pertama, yaitu substansi hukum, dalam kasus ini keberadaan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menaungi tidak bisa bekerja dengan maksimal karena diketahui saling tumpang tindih satu sama lain.
Dalam kasus rangkap jabatan komisaris, misalnya, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN secara tegas melarang hal tersebut.
Meskipun demikian, rangkap jabatan sebagai komisaris pada perusahaan BUMN masih dimungkinkan dengan sejumlah ketentuan yang mengacu pada peraturan perundang-undangan sektoral.
Komponen kedua, yaitu perangkat hukum, dalam kasus ini institusi-institusi terkait yang mempunyai peranan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan BUMN seakan-akan membiarkan pelanggaran ini terjadi.
Baca Juga: Ari Kuncoro Harus Mundur sebagai Rektor?
Terkait hal ini penelitian yang dilakukan University of Agder, Norwegia terkait BUMN di Indonesia memaparkan bahwa, pasca-reformasi lembaga seperti DPR yang dipilih secara demokratis bahkan KPK yang dirancang khusus untuk memberikan pengawasan, terbukti tidak mampu menghalangi praktik perburuan rente dan bisnis politik gelap di BUMN.
Dalam penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa mereka sering kali justru terperangkap dalam lingkaran pelanggaran di BUMN itu sendiri.
Tercatat hingga kasus terakhir hanya Ombudsman yang secara “aktif” melaksanakan fungsi pengawasan terhadap BUMN. Itu pun dalam pelaksanaannya, hanya sekadar laporan karena lembaga tersebut tidak mempunyai fungsi penindakan lanjut.
Ketiga, kultur hukum merujuk pada sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.
Terkait hal ini beberapa pihak menyebutkan praktik pelanggaran yang terjadi di BUMN merupakan hal yang sudah berlangsung sejak lama, bahkan telah “membudaya” sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan.
Dari ketiga indikator tersebut jelas keberadaan beberapa peraturan perundangan yang menaungi BUMN memenuhi unsur suatu undang-undang yang implementasinya tidak dapat berjalan dengan baik.
Hukum Responsif
Merujuk pada pendapat beberapa ahli hukum, dalam kasus hukum yang tidak dapat berjalan dengan baik dibutuhkan suatu hukum responsif untuk mengatasinya.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam bukunya yang berjudul Law and Society in Transition, Toward Responsive Law memaparkan bahwa teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis.
Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Di sini hukum responsif berperan sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.
Dalam kasus ini pemerintah seharusnya menggunakan hukum responsif berdasarkan kondisi dan kebutuhan terkait tumpang tindihnya peraturan perundangan tentang BUMN untuk menerbitkan Peraturan Presiden (PP) tentang petunjuk pelaksanaan (jutlak) tentang ketiga peraturan perundangan terkait BUMN tersebut.
Peraturan Presiden mengenai jutlak tersebut menjadi penting sebagai dasar pelaksanaan teknis dari ketiga peraturan perundangan yang terjadi.
Secara hukum fungsi dari PP tersebut adalah sebagai petunjuk pelaksanaan teknis bagi ketiga peraturan perundangan yang ada, sehingga masing-masing dasar hukum tersebut memiliki instruksi petunjuk pelaksanaan tugas dan fungsi yang jelas, sehingga meminimalisir adanya celah hukum seperti yang terjadi saat ini.
Dalam PP juga harus diatur terkait sanksi yang tegas jika dasar hukum tersebut tidak dijalankan, sehingga semua dasar hukum mempunyai sifat yang clear dan mengikat.
Baca Juga: Menyoal TNI-Polri di BUMN
Sampai saat ini upaya memperbaiki kinerja dari BUMN harus terus bergulir apalagi dalam era Presiden Jokowi karena BUMN terbukti memegang peranan sentral dalam berbagai kebijakan ekonomi dan pembangunan.
Upaya pemerintah saat ini dengan menyusun program Good Corporate Governance (GCG), bahkan membentuk tim Satuan Pengawas Internal (SPI) dalam mewujudkan reformasi tata kelola BUMN dianggap tidak akan berhasil selama masih ada permasalahan di hulu, yaitu pada peraturan hukum yang menaungi.
Oleh karena itu, pembenahan dari segi hukum ini dirasa penting untuk menghentikan pelangggaran-pelanggaran yang terus terjadi dalam proses pengangkatan jabatan di BUMN.
Tentunya kita semua berharap agar BUMN dapat dikelola dengan penuh integritas dan tumbuh menjadi perseroan yang berkualitas demi kemajuan negara dan bangsa. (A72)