Viralnya video emak-emak yang melakukan kampanye hitam kepada Jokowi mendiskreditkan Prabowo. Strategi rumour-mongering itu juga dinilai merugikan paslon nomor urut 02 tersebut.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]risthopanes – seorang komedikus Yunani Kuno – membuat sebuah drama komedi dengan judul Lysistrata. Dalam karyanya itu, ia berkisah tentang kaum perempuan yang membawa semangat feminisme di tengah ancaman perang Athena dengan Sparta.
Lysistrata membujuk para perempuan Yunani untuk menahan hak seksual dari suami dan kekasih mereka sebagai sarana memaksa Athena dan Sparta untuk menegosiasikan perdamaian. Ini adalah bentuk protes kaum perempuan atas perang panjang yang tidak berkesudahan.
Di tengah kekacauan situasi politik dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat Athena, mereka masih diselimuti ketakutan akan perang yang kapan saja mengancam diri mereka. Hal itulah yang membuat Lysistrata tergerak hatinya untuk menghentikan perang yang sedang berlangsung.
Lysistrata sebagai tokoh feminis dan pimpinan kaum perempuan merasa bahwa perempuan selalu ditempatkan di dapur dan tidak pernah dilibatkan dalam perundingan dan perencanaan negara. Oleh karena itu, ia merasa jika perempuan harus terlibat aktif dalam setiap keputusan negara.
Cerita tersebut menggambarkan bagaimana sebetulnya perempuan memiliki peran dalam kontestasi politik maupun pengambilan kebijakan di sebuah negara. Dalam konteks yang berbeda, semangat Lysistrata – keterlibatan perempuan – turut terjadi dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Militansi Lysistrata itu tercermin dalam keterlibatan perempuan dalam kampanye politik dari kedua belah kubu, baik kubu Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Salah satu pihak yang menjadikan perempuan sebagai pilar kampanye adalah Prabowo-Sandi, bahkan sejak awal Sandi sebagai calon “pendatang” sudah menggunakan strategi ini untuk menggaet suara di akar rumput (grassroot).
Hal itu terbukti dari menjamurnya relawan-relawan perempuan yang mendukung pasangan nomor urut 02 tersebut, salah satunya adalah relawan Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (PEPES). Relawan ini salah satu yang militan dalam memperjuangkan Prabowo-Sandi baik melalui media sosial maupun langsung terjun ke lapangan.
Namun sayangnya, militansi mereka ternodai dengan aksi oknum anggota PEPES yang menyampaikan kampanye hitam atau black campaign terhadap rival Prabowo-Sandi tersebut. Hal itu terkonfirmasi dari video viral di jagat internet beberapa waktu belakangan ini.
Video fitnah yang ditujukan kepada Jokowi itu terjadi di Karawang, Jawa Barat. Nampak dua orang perempuan tengah melakukan sosialisasi atau kampanye kepada masyarakat. Dalam video tersebut, salah satu perempuan menyebut jika Joko Widodo (Jokowi) memenangkan kembali Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 maka azan – suara ajakan untuk salat dalam Islam – akan dilarang, wanita akan dilarang untuk berhijab, hingga pernikahan sesama jenis akan dibolehkan. Kini, tiga perempuan yang terkait dengan dugaan video tersebut kini berada di Polda Jawa Barat.
Persoalan kampanye hitam memang seperti telah menjadi sebuah keniscayaan dalam Pemilu. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hal rumor – dalam sisi yang ekstrim hoaks – rentan digunakan perempuan untuk berkampanye? Dan apakah hal tersebut merugikan Prabowo-Sandi atau malah sebaliknya?
Teh @enylove2 @JajangRidwan19 dkk
Mohon di terjemahkan nih
Biar masyarakat tau CARA CARA KOTOR KUBU PRBOHONG @prabowo DKK!JUALAN FITNAH,NEMBODOHI RAKYAT@FaGtng @RizmaWidiono @Ernijasin @erickthohir @kangdede78 @Ernijasin @P3nj3l4j4h @FirzaHusain @CH_chotimah @bangzul_1988 pic.twitter.com/LDyi78raMK
— Ary Prasetyo (@AryPrasetyo_85) February 23, 2019
Militansi Kebablasan
Perempuan dalam Pilpres kali ini memang cukup diperhatikan. Bagi kubu Prabowo-Sandi, perempuan atau dalam bahasa mereka emak-emak menjadi strategi tersendiri untuk menjadi vote getteruntuk mengerek suara. Beberapa pandangan menyebut jika emak-emak memiliki potensi untuk menarik suara, sebab kelompok ini dinilai bisa memiliki power di lingkungan keluarga atau masyarakat.
Ada banyak relawan emak-emak yang berkumpul di barisan Prabowo-Sandi, beberapa di antaranya adalah Barisan Emak-Emak Militan (BEM) yang sempat melakukan demonstrasi meminta Presiden Jokowi mundur dari jabatannya. Kemudian ada Perempuan Indonesia Raya (PIRA) dan ada Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (PEPES).
Semakin terhimpitnya waktu kampanye, relawan politik didorong untuk terjun langsung ke bawah. Waktu yang tidak sampai dua bulan ini, pasti dimanfaatkan dengan berusaha bergerak menyentuh akar rumput secara langsung. Misalnya dengan menemui para tokoh masyarakat atau bahkan langsung datang door to door, pada masyarakat di lingkungan sekitar.
Mengandalkan media sosial memang cepat, mudah, dan murah. Sayangnya, ia tidak betul-betul dapat menjangkau masyarakat yang tidak terbiasa menggunakan gadget. Strategi ini memang dinilai masih favorit untuk kandidat karena dinilai mampu membangun dukungan akar rumput.
Meskipun begitu, kampanye dengan metode canvassing atau door to door rentan terhadap pelanggaran. Sebab pemantauan dari penyelenggara Pemilu juga masih sangat minim, sehingga relawan lebih leluasa untuk mengkampanyekan calonnya dan menjatuhkan lawan politiknya.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Dewi Ratna yang menyebut kasus perempuan yang memfitnah Jokowi seperti yang beredar viral karena adanya keterbatasan pengawasan.
Rumour-Mongering
Dalam politik praktis, rumor adalah trik yang sering digunakan demi tujuan tertentu. Konsep rumor adalah wacana tak resmi dan tak bersumber, yang berkembang beberapa tahap dalam sistem komunikasi. Sebagai informasi yang diteruskan dalam setiap tahap, distorsi akan terus bermunculan.
Penerima informasi tidak akan waspada atas tidak akuratnya rumor, dan berusaha meneruskan suatu versi ke jalur berikutnya dalam jaringan sosial. Setelah sekian kali distorsi, produk rumor sudah tertandai cukup berbeda dari sumber aslinya. Meskipun begitu,
Menurut Matthew Dentith dalam The Political and Social Impact of Rumours menyebut jika rumour-mongering tidak sekedar menyebarluaskan berita yang belum terverifikasi secara sengaja, namun juga memiliki maksud untuk menjustifikasi ketakutan dan kepercayaan masyarakat.
Rumor yang salah biasanya akan dimaklumi apabila disampaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Dalam kadar tertentu, stategi rumour-mongering juga bisa mewujud pada strategi konspirasi.
Selain itu, Dentith juga menengarai jika rumour-mongering ini bisa mengarah pada perbuatan fitnah (slander).
Dalam konteks Prabowo, militansi yang kebablasan tersebut busa mengarah pada strategirumour-mogering. Tentu saja, jika informasi semacam yang dilakukan oleh emak-emaktersebut diceritakan kepada kelompok yang memegang teguh nilai-nilai agama, maka dengan mudahnya akan mengombang-ambingkan perasaan dan psikologis mereka. Membuat mereka marah dan lantas percaya begitu saja.
Pada titik ini, strategi rumor-mongering akan mengarah pada perilaku kampanye hitam atau black campaign. Strategi ini mungkin saja bukan berasal dari instruksi tim kampanye resmi atau bahkan calon itu sendiri, namun karena adanya perasaan militan kepercayaan taqlid terhadap salah satu kandidat menyebabkan kampanye yang kebablasan.
Rumour-mongering kepada Jokowi merugikan Prabowo? Share on XMerugikan Prabowo?
Jawa Barat merupakan lumbung suara Prabowo. Pada Pilpres 2014, ia menang telak dengan angka 59,78 persen atau setara dengan 14.167.381 suara berbanding dengan Jokowi yang meraih 40,22 persen atau sekitar 9.530.315 suara.
Salah satu penyebab kalahnya Jokowi adalah kampanye hitam yang menimpa dirinya. Misalnya saja tidak sedikit masyarakat Jawa Barat yang percaya bahwa Jokowi adalah keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau isu bahwa Jokowi beragama Kristen.
Namun hal itu nampaknya telah diantisipasi oleh kubu Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres kali ini. Jawa Barat sebagai salah satu lumbung suara terbesar menjadi salah satu prioritas paslon nomor urut 01 tersebut.
Salah satunya adalah dengan menarik tokoh-tokoh Jawa Barat sebagai pilar kampanye. Selain itu, mereka juga sudah mengkoordinasikan untuk menurunkan relawan-relawan ke akar rumput guna mensosialisasikan Jokowi-Ma’ruf serta menangkal kampanye-kampanye negatif atau bahkan kampanye hitam yang dilakukan pihak lawan.
Selain itu, dengan adanya keterbukaan kampanye menyebabkan pola kampanye hitam tidak mendapatkan tempat di masyarakat. Pandangan umum menyatakan bahwa kampanye hitam tidak efektif, kampanye model ini punya efek tidak diharapkan dan justru berakibat buruk pada sistem politik dan demokrasi.
Studi Richard R. Lau dalam How Voters Decide menemukan tak ada bukti kuat terhadap klaim bahwa kampanye hitam efektif sebagai sarana untuk memenangkan Pemilu. Sebaliknya, kampanye hitam adalah kampanye yang tidak cerdas dan manipulatif. Terhadap hal ini ada dua sikap yang mungkin diambil oleh pemilih.
Pertama, pemilih tidak akan begitu saja percaya atas informasi atau pesan yang disampaikan dalam kampanye. Apalagi jika informasi itu diterima oleh partisan atau pengikut partai tertentu, mereka cenderung menyaring pesan yang masuk.
Kedua, informasi ketika disampaikan untuk melawan salah satu partai atau calon, tentu akan mendapat tantangan. Dengan kata lain, ada kontestasi wacana di situ. Dalam hal ini, kampanye hitam yang dilakukan oleh pendukung Prabowo-Sandi akan mendapatkan perlawanan dari kubu Jokowi-Ma’ruf, dan hal itu akan dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang negatif dan akan merugikan Prabowo-Sandi.
Apalagi, kampanye hitam itu saat ini telah viral dan mendapatkan tanggapan negatif dari masyarakat. Sehingga bagi masyarakat terdampak akan melihat cara yang digunakan oleh Prabowo-Sandi merupakan sesuatu yang buruk.
Pada titik ini, mungkinkah viralnya video kampanye hitam itu menjadi momentum kejatuhan elektabilitas Prabowo-Sandi, apalagi kampanye Pilpres semakin mendakati penghujung waktu? Menarik untuk ditunggu. (A37)