Kehadiran perempuan khususnya emak-emak dalam politik, dirasa hanya sebagai tim pelengkap mobilisasi saat pemilu. Peran emak-emak seharusnya tidak lagi dijadikan objek politik. Harusnya emak-emak menjadi subjek dari politik itu sendiri. Lantas, mampukah emak-emak lepas dari anggapan selama ini, yaitu sebagai komoditas politik semata?
Ajakan untuk mendukung sekaligus mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi presiden terus bermunculan. Seolah terorganisir dengan rapi, sekelompok emak-emak di berbagai daerah, mulai dari Medan, Banjarmasin, Demak, dan terbaru di Bogor, membuat gerakan seruan untuk deklarasi Anies.
Terbaru, elemen pendukung relawan terdiri dari sejumlah ibu-ibu itu, menamakan kelompoknya dengan sebutan Manies (Mak Mak Anies), yang memiliki slogan bergerak dengan cinta untuk Indonesia raya dan jaya.
Ida Laomo Wakil Ketua Presidium Manies, mengatakan, bahwa Tim Manies yang dihuni ibu-ibu secara kodrat adalah pendidik utama anak-anak di rumah. Namun sebagai rakyat, pihaknya memiliki hak sama di Indonesia. Setiap perempuan di Indonesia memiliki kodrat sebagai seorang ibu yang juga punya hak dalam pendidikan politik.
Seperti yang kita ketahui, keterwakilan perempuan dalam politik masih jauh dari apa yang ingin kita lihat. Pendidikan politik merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan orientasi politik setiap individu dan kelompok.
Hal ini berkaca pada realitasnya, di mana masih terdapat kesenjangan antara peranan laki-laki dan perempuan, terutama pada peran-peran dalam kegiatan publik. Pemberian ruang bagi perempuan dalam politik akan memberikan pendidikan politik yang juga akan berdampak pada sikap partisipasi perempuan dalam politik.
Yang menarik, gerakan saling dukung kandidat yang dipelopori oleh emak-emak ini adalah salah satu bagian dari ruang politik perempuan. Mereka selalu muncul dalam kontestasi politik elektoral, bahkan akhir-akhir ini emak-emak sudah mulai bergerak dari ruang domestik menuju ke ruang publik secara masif.
Lantas, seperti apa perubahan gerakan politik emak-emak ini?
Baca juga: Titiek dan Emak-Emak Disentil Jokowi
Emak-emak sebagai Kekuatan Politik
Kita mulai membedah kekuatan emak-emak dari data yang bersandar pada Pilpres 2019, yaitu data KPU per Desember 2018. Jumlah pemilih perempuan mencapai 99.557.044 orang. Sementara pemilih laki-laki sebanyak 96.271.476 orang. Artinya selisih pemilih perempuan lebih unggul sekitar tiga juta orang, bisa dimaknai pula ini adalah potensi politik perempuan sebagai kelompok penekan.
Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik, percaya bahwa perempuan dapat menjadi kelompok penekan (pressure group) untuk meraih suara pemilih di pihak lawan. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan diyakini mampu menjadi agen perubahan suara pemilih.
Emak-emak dalam konteks psikologi masyarakat Indonesia, memiliki jaringan sosial yang kuat. Hal itu tumbuh dari kebiasaan emak-emak Indonesia yang kerap berbincang satu sama lain dan mengikuti perkumpulan, salah satunya pengajian.
Sebagai ibu rumah tangga, emak-emak memiliki pengaruh kuat untuk menggiring anggota keluarganya, terutama anak dalam menentukan sebuah pilihan. Seorang anak cenderung menuruti perintah ibu ketimbang bapak dalam konteks tertentu.
Emak-emak dianggap memiliki militansi yang lebih bagus ketimbang laki-laki ketika berkampanye. Emak-emak cenderung loyal terhadap pilihannya. Sementara relawan laki-laki atau bapak-bapak cenderung bermain dua kaki karena mengedepankan keuntungan.
Emak-emak punya kecenderungan peka terhadap aspek konkrit kebutuhan pokok rumah tangga, seperti harga sembako, pendidikan anak, stunting dan kekerasan yang marak terjadi pada perempuan. Dan semua ini merupakan potensi kekuatan emak-emak dalam narasi politik di Indonesia.
Dominasi perempuan secara kuantitas mengandaikan bahwa perempuan memiliki hak dan potensi untuk memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan politik. Namun fenomena peningkatan jumlah perempuan peserta pemilu di berbagai daerah masih memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga partisipasi perempuan selalu mengundang diskusi, perdebatan dan sering menyisakan keraguan.
Rahman Asri dalam tulisannya Pemaknaan The Power of Emak-Emak di Media Sosial, mengatakan pemaknaan emak-emak erat kaitannya dengan partisipasi politik perempuan. Partisipasi perempuan dengan istilah apapun haruslah diperlukan di tengah iklim politik karena belum begitu dirasakan maksimalnya peran perempuan.
Berkaitan dengan harapan bahwa hak dan partisipasi politik perempuan di Indonesia pada masa depan haruslah semakin membaik, mengandaikan bahwa partisipasi politik perempuan di Indonesia sudah tidak sebatas wacana, melainkan diharapkan terwujud dalam bentuk peran aktif dan kesempatan harus dibuka seluas-luasnya, baik dalam mengisi jabatan politik maupun berkiprah di bidang-bidang profesional lainnya.
Well, mungkinkah harapan bergesernya peran perempuan dalam politik itu dapat terwujud?
Baca juga: Prabowo Nyoblos, Ketemu Emak-emak Nangis
Perempuan Jadi Subjek Politik
Dalam kontestasi Pilpres 2019, istilah emak-emak populer ketika pasangan calon presiden nomor urut dua, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, menyebutnya sebagai salah satu instrumen baru pendulang suara. Mereka menilai emak-emak punya kekuatan tersendiri.
Gerakan emak-emak bukan hanya menghegemoni Prabowo-Sandi. Di lingkaran paslon Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, mereka memang tak banyak mengkapitalisasi isu maupun gerakan emak-emak. Namun, Jokowi lewat berbagai kebijakannya selaku petahana menjanjikan sejumlah program untuk emak-emak.
Kendati kerap disinggung, berbagai pihak menilai, sering kali gerakan emak-emak hanya menjadi objek atau alat politik elektoral. Jika benar demikian, peristiwa ini tentu sangat disayangkan. Gerakan emak-emak dikesankan sebagai pendukung yang punya loyalitas tinggi dan emosional.
Jika belajar dari masa lalu, kisah perempuan khususnya emak-emak dalam politik sebenarnya dapat kita lacak jauh sebelum kontestasi pilpres belakangan ini. Peran perempuan telah memulai gerakan dalam politik di masa akhir keruntuhan Orde Baru. Kisah emak-emak dalam bentang sejarah Reformasi sungguh tak bisa dilewatkan begitu saja. Ia bergerak sebelum mahasiswa menduduki Gedung Parlemen di Senayan.
Aktivis perempuan, Gadis Arivia dalam sebuah tulisannya Politik Representasi Suara Ibu Peduli, menggambarkan bagaimana peran gerakan perempuan, termasuk para ibu dalam upaya untuk menurunkan rezim Orde Baru pada masa itu.
Pada masa pergolakan tersebut, poros perempuan aktif terlibat mengorganisasi massa. Beberapa di antaranya adalah Tim Relawan Divisi Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP), Suara Ibu Peduli (SIP), dan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPIKD). Mereka memperoleh momentum setelah sekian lama didomestikasi oleh rezim Orde Baru.
Kelompok aktivis perempuan kemudian mematangkan langkah, mereka mencari cara yang taktis namun berani. Kamuflase dan permainan narasi mereka pikirkan matang-matang. Salah satunya ide untuk membuat demonstrasi dengan menggunakan narasi gerakan susu murah dari ibu peduli.
Gerakan emak-emak di masa itu, memberikan pesan di balik keluhan susu mahal, terdapat kebosanan terhadap praktik korupsi kolusi nepotisme, dan represi aparat terhadap demokrasi dan kebebasan. Di sini terlihat gerakan perempuan telah menempati posisi yang pas, mereka bukanlah objek politik, sebaliknya mereka adalah subjek yang vital dalam politik.
Baca juga: Sandi Dibopong Emak-emak
Gerakan perempuan sebagai subjek politik juga dapat kita lihat dari gerakan lainnya yang sudah lahir lama di Amerika Serikat (AS). Gerakan politik perempuan di AS ini bernama League of Women Voter (LWV). LWV menjadi gerakan perempuan tertua di dunia, yaitu telah berusia 102 tahun.
Di AS gerakan ini telah banyak menuai prestasi dalam bidang politik. Mereka mampu menggerakkan lebih dari dua puluh juta perempuan AS untuk dapat memenuhi hak suara mereka pada pemilu. Bahkan dalam beberapa debat kandidat presiden AS, LWV adalah organisasi yang mampu menjadi fasilitator dari debat kandidat tersebut.
Seluruh perjuangan LWV sejatinya beranjak dari sebuah kepercayaan yang luhur akan kekuatan perempuan dalam menciptakan demokrasi di AS. Sebagai organisasi akar rumput yang telah banyak dipercayai oleh publik, LWV mempromosikan bagaimana peran penting perempuan harus diperlihatkan dalam politik. Bagi mereka, itu adalah bahasa lain dari arti kebebasan manusia.
Setidaknya nilai-nilai perempuan atau emak-emak yang dihadirkan dalam politik haruslah menjadi subjek atau penggerak dari politik itu sendiri. Janganlah kemudian gerakan emak-emak hanya dijadikan komoditas politik. (I76)
Baca juga: Cinta Jokowi Untuk Emak-emak