CEO SpaceX dan Tesla Motors, Elon Musk, beberapa waktu lalu bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang didampingi oleh sejumlah pengusaha Indonesia. Siapa sebenarnya Elon Musk dan bagaimana pengaruhnya terhadap pemerintah Indonesia?
Akhir-akhir ini, media sosial (medsos) – khususnya Twitter – dihebohkan oleh sosok pengusaha yang disebut-sebut menjadi orang terkaya di dunia saat ini. Siapa lagi jika bukan Elon Musk yang kini menjadi CEO di SpaceX dan Tesla Motors?
Bagaimana tidak? Musk baru-baru ini dikabarkan telah membeli keseluruhan perusahaan medsos Twitter setelah sebelumnya beberapa kali berbicara akan pentingnya kebebasan berekspresi di dunia maya – termasuk Twitter. Ini pun membuat Musk menjadi buah bibir.
Sampai-sampai, cameo Musk di film Iron Man 2 (2010) kembali menguak dan jadi perbincangan. Ada yang bilang CEO Tesla itu merupakan sosok di dunia nyata yang paling menyerupai figur Tony Stark alias Iron Man.
Namun, tampaknya, kehadiran Musk yang mendiskusikan soal kerja sama bisnis dan inovasi ini tidak hanya hadir di film, melainkan juga di dunia nyata ketika sosoknya muncul di laman feed Instagram milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. “Pertemuan ini memang pertama kalinya bagi saya dan Elon,” tulis sang Menko Marves dalam caption di unggahannya.
Rencana soal “cameo” Elon Musk di laman Instagram milik Luhut ini tampaknya sudah terjadi sejak lama. Sejak beberapa tahun lalu, sang Menko Marves beberapa kali menyebutkan nama-nama seperti “Elon Musk” dan “Tesla” terkait kemungkinan investasi dalam upaya hilirisasi nikel dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Reaksi para warganet Indonesia terhadap “cameo” ini pun bermacam-macam. Ada beberapa komentar yang mengapresiasi. Namun, ada pula sejumlah komentar di medsos yang mempertanyakan pakaian Musk yang hanya mengenakan kaos.
Terlepas dari berbagai komentar warganet, sosok Musk jelas bisa dibilang tengah ditunggu-tunggu oleh pemerintah Indonesia – mengingat wacana investasi dari SpaceX dan Tesla sudah digembar-gemborkan sejak beberapa tahun lalu – meskipun sejumlah kekhawatiran soal kerusakan lingkungan dan sosial komunitas lokal sempat membayangi di baliknya.
Tentu, “cameo” Musk di laman feed Instagram milik Luhut ini menimbulkan sejumlah pertanyaan di benak masyarakat Indonesia. Siapa sebenarnya sosok Elon Musk? Mengapa perannya bisa dianggap penting bagi pemerintah Indonesia – utamanya Luhut sebagai pejabat pemerintah yang kerap mengungkapkan wacana investasi Tesla?
Elon Musk, Si Pebisnis ‘Gila’?
Nama Elon Musk sebenarnya bukanlah nama asing dalam dunia bisnis. Dalam perjalanan kariernya, CEO SpaceX tersebut telah lama malang melintang di dunia bisnis – khususnya dalam industri teknologi.
Layaknya banyak kalimat-kalimat motivasi yang menyebutkan soal banyak kegagalan di balik kesuksesan, Musk pun melalui sejumlah kegagalan sebelum akhirnya kini dikenal sebagai orang terkaya di dunia. Karier bisnisnya ini dimulai dari sebuah perusahaan berbasis luring bernama Zip2 yang didirikan bersama saudaranya pada tahun 1995.
Meski akhirnya diberhentikan dari posisi CEO Zip2, Musk memulai bisnis lain yang bernama X.com pada tahun 1999. Pada tahun 2000, X.com bertransformasi menjadi salah satu pembayaran luring yang paling dikenal di dunia, yakni PayPal, setelah merger dengan Confinity.
Pada tahun 2002, Musk pun mendirikan sebuah bisnis yang sebelumnya belum ada – dengan visi penjelajahan antariksa dan kolonisasi Mars. Bisnis yang bernama SpaceX ini akhirnya bisa melepaskan National Aeronautics and Space Administration (NASA) milik pemerintah Amerika Serikat (AS) dari belenggu dan ketergantungan terhadap roket-roket buatan Rusia.
Dua tahun kemudian, Musk juga akhirnya mendirikan Tesla Motors. Seakan-akan telah melihat masa depan terkait kendaraan bertenaga listrik, Tesla menjadi salah satu perusahaan pertama (pioneer) dalam teknologi mobil listrik.
Namun, di balik ide-ide besarnya ini, Musk dikenal sebagai pengusaha yang ‘tidak dewasa’. Bagaimana tidak? Musk kerap berkonflik dengan para insan dunia bisnis dan keuangan yang telah lama eksis lebih dulu – seperti Securities and Exchange Commission (SEC) terkait kicau-kicauannya di Twitter.
Memang, bila dibandingkan dengan pebisnis-pebisnis besar lainnya seperti Jeff Bezos (pendiri Amazon), Musk memang dikenal dengan kicau-kicauan ‘gilanya’ di Twitter – bahkan sampai bisa mempengaruhi pasar modal dan mata uang kripto. Jeff Siegel dalam tulisannya Why Elon Musk Is Unstoppable menyebut Musk sebagai sosok yang penuh dengan ide-ide ‘gila’ tetapi dibutuhkan oleh dunia.
Dengan SpaceX dan Tesla saja, misalnya, Musk disebut bisa meraih keuntungan yang besar. Kini, SpaceX memiliki kontrak dengan NASA senilai USD3,5 miliar (sekitar Rp50,6 triliun).
Kesuksesannya di dunia bisnis ini bukan tidak mungkin juga bakal berpengaruh pada dinamika politik AS – dan sejumlah negara lain. Bagaimanakah pengaruhnya dalam dimensi politik – baik secara praktis maupun gagasan? Apakah mungkin ada sosok yang berperan di balik Musk?
Elon Musk Ternyata Sahabat Tiongkok?
Menariknya, kesuksesan Musk tidak hanya berhenti di dunia bisnis, melainkan juga di dunia politik. Sebagai pebisnis yang berpengaruh, Musk ternyata juga melakukan kegiatan lobi-melobi di lembaga-lembaga pemerintahan AS.
Lobi-lobi Musk ini pun terjadi di dua kubu partisan AS, yakni Partai Demokrat AS dan Partai Republik. Ini membuat Musk memiliki pengaruh yang cukup luas – terlepas dari partai dan kubu mana yang berkuasa sebagai pemerintah.
Bukan hanya di AS, Musk juga memiliki pengaruh yang cukup besar di negara adidaya lainnya yang kerap disebut sebagai rival negara Paman Sam, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Bagaimana tidak? Bak selebriti, nama Musk dikenal dan, bahkan, diperebutkan untuk jadi nama merek di negeri Tirai Bambu tersebut.
Tidak hanya soal popularitasnya, Musk juga menjalin hubungan yang dekat dengan pemerintah Tiongkok. Pada tahun 2017 silam, misalnya, Musk melakukan pertemuan one-on-one dengan Wang Yang yang kala itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (PM) Tiongkok.
Kedekatan Musk dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) juga mengantarkan Tesla mendapatkan keuntungan bisnis di negara tersebut. Tesla menjadi perusahaan mobil pertama yang bisa mendirikan pabrik di Tiongkok tanpa harus menjalin kerja sama (joint venture) dengan perusahaan lokal.
Saking dekatnya dengan Tiongkok, Bezos pun sampai mempertanyakan nasib Twitter di bawah Musk. Ada kecemasan bahwa Tiongkok akan menggunakan Twitter untuk membungkam kritik kepada rezim Xi Jinping.
Pengaruh Musk yang besar di banyak negara ini seakan-akan mengamini penjelasan Samah Abdelsabour Abdelhaey dalam tulisannya Bringing the Individual Back In yang memaparkan bahwa, dalam perkembangan perusahaan-perusahaan teknologi yang pesat, banyak individu yang tidak memiliki posisi formal di pemerintahan akhirnya bisa mempengaruhi dinamika politik internasional.
Bukan tidak mungkin, pengaruh besar Musk ini juga berdampak pada hubungannya dengan pemerintah Indonesia – khususnya terhadap Menko Marves Luhut. Ini juga berkaitan dengan ambisi Luhut untuk menempatkan Indonesia dalam rantai global pembuatan kendaraan bertenaga listrik – di mana Tesla menjadi salah satu produsen mobil listrik yang menjanjikan.
Namun, ambisi Luhut untuk menggandeng Musk juga memiliki hambatan dan tantangan. Pasalnya, Musk sendiri bukanlah penentu utama dalam aktivitas-aktivistas bisnis perusahaannya seperti Tesla dan SpaceX.
Adalah perusahaan investasi asal AS yang bernama BlackRock yang memiliki saham Tesla sebesar 3,35 persen. Perusahaan investasi yang menjadi salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia ini didirikan oleh Larry Fink.
Fink sendiri memiliki kebijakan unik bagi para CEO di perusahaan di mana BlackRock investasi – seperti suratnya kepada para CEO agar mempertimbangkan dampak perusahaan mereka terhadap masyarakat dan lingkungan. Prinsip ini disebut sebagai ESG (environmental, social, dan governmental) yang terdiri dari tiga faktor, yakni lingkungan, sosial, dan pemerintahan.
Menariknya, pengaruh BlackRock ini juga cukup besar dan mendunia – bahkan termasuk di Eropa dan Tiongkok. Laporan Investigate Europe sampai menyebut BlackRock sebagai leviathan (raksasa) dalam politik Eropa.
Bukan tidak mungkin, pertemuannya dengan Elon Musk bukanlah negosiasi final yang harus dilalui Luhut agar bisa menawarkan nikel Indonesia sebagai proyek investasi. Bisa jadi, Luhut pun harus menghadapi si raksasa BlackRock agar Tesla bisa masuk ke Indonesia.
Pasalnya, meski Indonesia memiliki produksi nikel yang melimpah agar bisa dijadikan bahan mentah dalam pembuatan mobil listrik Tesla, nikel Indonesia disebut belum bisa memenuhi syarat ESG yang diberlakukan BlackRock.
Pada akhirnya, bila demikian, kemunculan Elon Musk di laman feed Instagram milik Luhut nantinya bisa saja hanya menjadi cameo semata. Ini menandakan adanya kesulitan pemerintah Indonesia dalam menjadikan Musk sebagai “pemeran utama” dalam skenario ambisi hilirisasi nikel Indonesia. (A43)