Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Harapan investasi besar dari pebisnis Elon Musk tampak begitu tinggi saat disambut dan dijamu oleh pejabat sekaliber Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan hingga beberapa pejabat terpilih lain. Akan tetapi, sambutan semacam itu agaknya belum akan membuat CEO SpaceX hingga Tesla itu menanamkan investasi lebih di Indonesia. Mengapa demikian?
Setelah kedatangan CEO Apple Tim Cook dan CEO Microsoft Satya Nadella “dirayu” Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menanamkan investasinya, kali ini Indonesia kembali kedatangan sosok yang dinantikan.
Kini, Menko Marves Luhur Binsar Pandjaitan menjadi pejabat pertama yang menyambut CEO SpaceX, Tesla, hingga X, Elon Musk pada hari Minggu 19 Mei 2024 di Bali. Pada April 2022 lalu, Luhut pula yang memimpin delegasi Indonesia bertemu Elon Musk di tempat manufaktur Tesla di Texas, Amerika Serikat (AS).
Pada edisi kali ini, kedatangan Musk dalam rangka menghadiri World Water Forum ke-10 serta peluncuran Starlink (layanan internet) bersama Presiden Jokowi di salah satu Puskesmas di Denpasar.
Namun, investasi Musk di Indonesia masih “tipis-tipis” jika dibandingkan dengan potensi besar di bidang lain seperti, misalnya, yang terkait kendaraan listrik dan baterainya.
Belum termasuk untuk menyokong IKN Nusantara dengan berbagai platform perusahaan teknologi turunan di bawah komando Musk.
Akan tetapi, sambutan dan ekspektasi itu kiranya belum cukup untuk membuat Musk menanamkan investasinya secara maksimal di Indonesia. Mengapa demikian?
Frontman Illusion Landa Luhut-Jokowi?
Agaknya terdapat political miscomprehension atau kesalahpahaman tertentu mengenai euforia dan ekspektasi terhadap seseorang yang terlihat berpengaruh padahal sebenarnya tidak berpengaruh karena ada beberapa “sosok berpengaruh” tak kasat mata lain di belakang mereka. Dalam hal ini, case Musk di Indonesia.
Hal itu dapat dipahami melalui lensa frontman illusion, yakni sebuah konsep yang dapat diterapkan untuk memahami political miscomprehension seputar tokoh berpengaruh seperti Elon Musk.
Pada dasarnya, konsep tersebut menggabungkan unsur-unsur psikologi politik, studi media, dan pengaruh ekonomi untuk menjelaskan bagaimana persepsi publik, politisi, maupun para pejabat pemerintah sering kali dikaburkan oleh tokoh-tokoh yang tampak memiliki kekuasaan dan pengaruh yang signifikan.
Padahal, kekuasaan decision maker atau pengambilan keputusan yang sebenarnya terletak pada entitas yang kurang terlihat. Pada kenyataannya pula, ekspektasi itu kerap mengabaikan jejaring kompleks yang terdiri dari para pemangku kepentingan, investor lain, dan pendukung keuangan yang mempunyai pengaruh besar atas keputusan dan arahan perusahaan mereka.
Hal ini menciptakan ilusi bahwa kekuasaan yang dirasakan sosok tertentu tidak sebanding dengan otonomi pengambilan keputusan mereka yang sebenarnya.
Terdapat tiga elemen kunci yang kiranya memengaruhi ilusi tersebut. Pertama, euforia masyarakat dan pemerintah terhadap tokoh-tokoh berpengaruh dapat menyebabkan mereka melebih-lebihkan pengaruh individu.
Dalam hal ini, para pejabat di Indonesia mungkin memuji potensi investasi Musk karena reputasinya dan konstruksi kolektif kepadanya sebagai inovator dan pengusaha terkemuka.
Kedua, terkait amplifikasi media, yang mana dalam hal ini sering kali memperkuat kepribadian seseorang, dengan fokus pada pernyataan, penampilan, dan branding personal mereka.
Fokus media ini semakin memperkuat keyakinan bahwa individu-individu ini adalah penggerak utama di balik keputusan bisnis yang signifikan.
Ketiga dan yang kiranya patut dipahami bersama, di belakang tokoh-tokoh terkemuka seperti Musk, terdapat para pemangku kepentingan yang besar.
Dalam kasus Elon Musk mengakuisisi Twitter saja, misalnya, entitas seperti Morgan Stanley, Bank of America, Barclays, Sequoia Capital, Binance, dan The Qatar Investment Authority memainkan peran krusial.
Para investor ini memberikan pendanaan penting, arahan strategis, dan manajemen risiko, yang sering kali lebih membentuk strategi jangka panjang bisnis dan keputusan investasi.
Di titik ini, “reality check” atau peninjauan realitas yang komprehensif mengenai derajat euforia maupun ekspektasi harus diselaraskan dengan perubahan ekosistem investasi di dalam negeri yang masih jauh dari kata “nyaman” bagi para investor.
Logika Cuan di Indonesia Belum Masuk?
“Peninjauan realitas” tampaknya telah eksis di benak para pemangku kebijakan Indonesia saat Luhut sendiri mengungkapkan bahwa Musk masih menunggu beberapa waktu untuk berpikir mengenai investasi.
Faktor yang melatarbelakangi frontman illusion dalam case Musk, tak menutup kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi penunjang investasi dalam negeri yang masih belum memenuhi logika keuntungan bagi para stakeholder.
Berkaca pada Apple, misalnya, investasi bak langit dan bumi dengan Vietnam dinilai berkat regulasi dan situasi sosiopolitik Indonesia yang tak ideal.
Regulasi seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan lain lain yang kerap berubah, serta faktor add-cost seperti pungutan liar (pungli) dari oknum organisasi kemasyarakatan (ormas) dan biaya-biaya tambahan lain agaknya menjadi variabel yang membuat para penentu keputusan investasi para taipan dunia terhambat di Indonesia.
Deretan hambatan itu kemungkinan besar telah dipahami oleh para pemangku kebijakan tanah air. Political will dan keberanian yang seolah masih belum terlihat untuk memudahkan regulasi, menumpas oknum ormas yang membebani, hingga mengesampingkan kepentingan pribiadi.
Jika ekosistem investasi Indonesia tak mengalami perubahan signfikan, boleh jadi euforia sambutan dan ekspektasi kepada para investor kelas kakap dunia akan terus bertepuk sebelah tangan. (J61)